"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selama Membaca ^-^
@ @ @ @ @
SEDANG apa aku ini? Menjadi murid teladan bukanlah gayaku. Padahal ini baru pukul 6.40 dan tubuhku dijejal paksa oleh otak kriminalku untuk tetap melangkah maju ke depan.
Tapi jika ada yang ingin menganggapku sebagai murid teladan juga tidak apa-apa, sih. Aku akan menerima kalimat ironi itu dengan lapang dada.
Murid teladan adalah seperti ini : Mereka berpenampilan rapi dari ujung rambut sampai ujung kaki, mereka rajin belajar, mereka patuh pada aturan dan guru, mereka rutin mendapatkan nilai bagus, mereka gemar menjaga kebersihan dan tak lupa piket pagi atau sore, mereka tak suka merundung orang lain, mereka selalu terlihat antusias, mereka sering mencetak prestasi, mereka tidak lupa membayar jajanan mereka saat di kantin, mereka tidak lupa menyiram kotoran mereka saat di toilet dan tentunya ilustrasi yang baik-baik lainnya. Tentunya embel-embel barusan terlalu rumit, bukan? Murid teladan versiku sangatlah sederhana, adalah mereka yang rajin datang pagi ke sekolah padahal tidak ada yang ingin mereka lakukan. Dengan begini motifnya sudah jelas, mengapa aku menganggap diriku sendiri sebagai murid teladan—tak perlu menghiraukan embel-embel lain, datang pagi ke sekolah sudah menjadi siswa teladan menurut ku. Hmph.
Tentu ada sedikit alasan untuk keteladananku.
Semalam, kira-kira pukul 10, guru spesial ku yang bernama Echa itu tiba-tiba menelpon dan membuat ponsel ku berdering pelan saat aku membaca komik online. Kata spesial itu tentu bukan spesial 'itu' yang ku maksud. Tapi spesial yang benar-benar spesial. Seperti nasi gorang spesial yang rasanya spesial, pedasnya spesial, harganya spesial dan diikat oleh karet yang spesial pula. Ada keinginan untuk mengabaikan panggilan telepon itu dengan sengaja—tapi rasa kemanusiaanku akhirnya membuat ku tak enak hati, dan seketika jari telunjuk kanan ku menggeser menerima panggilan dari beliau.
Percakapan itu cukup singkat, isi dari pembicaraan itu kurang lebih begini : ["Mikki. Aku lupa mencetak surat undangannya. Aku juga besok harus ke suatu tempat karena ada urusan penting dan tidak bisa mengajar. Aku sudah membuat surat undangan tambahannya, aku akan mengirimnya lewat e-mail. Aku minta tolong cetak semua undangannya ya, Mikki. Lagipula itu cuma 5 undangan baru, anggap saja itu bonus untukmu atas rasa sayangku padamu. Hehe."]
Dengan improvisasi sedikit, percakapan itu menjadi sedikit panjang. Dari banyak kalimat yang beliau ucapakan, aku hanya membalas dengan 3 kata saja : 'Iya', 'Hmm', dan 'Baiklah'.
Percakapan itu pun berakhir singkat, kami saling mengakhiri panggilan. Setelah beliau memberi perintah, sekejap aku langsung bangun dari sofa ruang tamu sembari terkesiap khawatir karena aku baru ingat printer di rumahku dalam keadaan tidak bisa dipakai—dan aku lupa mengabari beliau tentang ini. Ketika semalam mengecek mesin cetaknya, kondisinya memang ternyata tidak berubah. Bak nasi yang sudah menjadi bubur, aku tidak bisa menelponnya balik lalu membatalkan semuanya. Dan akhirnya…. jadilah aku seorang siswa teladan seperti sekarang.
Ngomong-ngomong, aku biasa berangkat pukul 6.50 pagi. Tapi khusus hari ini aku berangkat pukul 6.15, memang hanya lebih cepat 35 menit, tapi entah kenapa otakku menginterpertasikannya sebagai kerugian yang sangat-sangat besar yang kulakukan dalam hidupku. Dan kalau ku ingat lagi, ini kedua kalinya aku berangkat sepagi ini.
Selepas pamit dari rumah, aku langsung bergegas mendatangi sebuah warnet. Baru beberapa meter aku meninggalkan warnet itu yang jam bukanya menyaingi UGD rumah sakit. Pernah sekali aku melewatinya diatas jam 2, dan warnet itu benar-benar menepati janjinya seperti yang tertera di bannernya, 'Buka 24 Jam'. Tanpa pikir panjang, aku langsung teringat warnet itu tadi malam dan mendatanginya pagi ini. Datang—cetak—bayar—pergi. Masalah pun selesai. Untung saja warnet itu banyak pelanggannya bahkan sampai keesokan paginya, mungkin itulah yang membuatnya buka nonstop—membantu masalahku—kalau ku pikir lagi, bagaimana jika warnet tadi ternyata tidak buka pagi ini? Yang jelas aku akan menyalahkan diriku sendiri tadi malam yang menyepelekan hal ini dengan menganggap semua akan baik-baik saja besok. Rasa sedikit cemas itulah yang membuatku bergegas berangkat pagi hari ini. Padahal bu Echa sendiri tidak memberikan tenggat waktu kapan aku harus mencetak surat undangannya lalu membagikannya. Tapi mandat itu terasa memberi beban tersendiri dan rasanya ingin cepat-cepat ku selesaikan segera—pasti rasa beban itu muncul karena aku terngiang wajah beliau dengan segala ocehannya jika aku mengulur waktu.
Pasti karena itu.
Ini kesan yang cukup menjengkelkan. Saat pertama kali masuk ke dalam warnet itu, hawa-hawa intimidasi langsung menyerang. Raut wajah lesu para client yang seperti zombie serta celotehan kasar mereka yang membumbung lantang ke seluruh ruangan, ditambah operator yang sedang tertidur pulas di lantai seperti orang yang sedang pingsan karena keracunan—dan saat kubangunkan, ia memicing tajam seakan ia tidak sudi dengan kehadiranku di sana. Ia menjawab ketus saat kutanyakan berapa harga yang harus ku bayar—lalu kembali pingsan keracunan setelah menaruh uang yang ku bayarkan ke dalam laci—dan aku hanya tersenyum bangga karena berhasil mengusik hidup seseorang sembari berderap keluar ruangan. Pelajarilah satu hal, bahwa rasa kantuk dapat mempengaruhi emosi seseorang dan membuatnya benar-benar terlihat seperti zombie—kusam dan frustasi.
Meski kata bu Echa sendiri aku pun terlihat demikian.
Selepas mencetak di warnet itu aku langsung berangkat ke tujuan akhir. Warnet itu tidak begitu jauh jaraknya dari rumahku—kira-kira 10 menit jika berjalan kaki—dan arahnya searah dengan jalur ke sekolah.
Dan aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi sekarang.
Ini akan terdengar seperti ideologi yang keren atas pola pikir yang positif.
'Apa yang sudah diperintahkan padaku, maka akan aku kerjakan.'
Tidak-tidak—tunggu sebentar. Sisipan kata 'Kerja' di sana terdengar sangat aneh. Maknanya tidak seperti menggambarkan aku yang sebenarnya. Berbanding terbalik, aku lebih menyukai jika kata 'Kerja' diganti menjadi 'Memaksakan Diri'. Jadi kalimat yang pas adalah begini : Apa yang sudah diperintahkan padaku, maka aku akan memaksakan diri untuk menyelesaikannya.
Tentu kalimat itu terdengar lebih indah menurutku.
Dan siapa yang peduli dengan ideologi yang terdengar keren tadi!
Lalu ada 2 pekerjaan tambahan yang harus aku lakukan hari ini—dan salah satunya telah aku selesaikan barusan. Karena aku sudah mencetak surat undangannya, jadi aku hanya perlu membagikannya nanti sebagai sisanya. Dan tidak lupa di mana aku juga harus melakukan 2 hal kewajiban hari ini—belajar Fisika dan Seni Budaya—serta melakukan sebuah eksperimen bagi keduanya.
Ngomong-ngomong soal Fisika, Fisika yang ku ketahui adalah tentang mempelajari hukum alam—ini hanya pendapatku saja yang bukan siapa-siapa. Bagaimana suatu kondisi tertentu di sekitar kita ditelaah sehingga mendapat sebuah kesimpulan yang pada akhirnya berguna bagi kehidupan dan perkembangan zaman. Sejujurnya aku sangat takjub dengan ilmu ini. Hanya dengan senjata angka dan sistematika perhitungan yang berlandaskan pemahaman yang apik, orang-orang hebat itu mampu memprediksi apa yang akan terjadi. Ilmu ini memang hebat—tapi—kebetulan aku membenci sistem perhitungan—jadi tentu aku akan mengenyampingkan hukum alam yang berkenaan dengan angka-angka serta rumus-rumus yang terlihat bagai pagar rumah yang saling bertumpuk itu jika dijabarkan. Aku lebih senang mempelajari hukum alam yang berkenaan dengan, 'Semakin baik seseorang, semakin banyak cobaan yang akan membuat hatinya lelah untuk tetap menjadi baik.' atau 'Saat kau bukan siapa-siapa, semua petuahmu adalah omong kosong. Tapi saat kau sudah menjadi orang hebat, mau kau membual sekalipun, mereka akan menganggap omong kosongmu adalah petuah kebenaran sembari bertepuk tangan.'—Ya, aku minta maaf. Aku tahu kata-kata ini hanyalah kata pengantarku saja—aku hanya ingin mengutarakan bahwa aku tidak menyukai Fisika. Itu saja.
Kalian pasti tahu tentang 3 bersaudara ini bukan?
Fisika-Matematika-Kimia.
Mereka adalah saudara kembar 3. Dan 3 bersaudara ini adalah musuh alami bagiku. Seingatku, mereka bertiga memang tidak pernah menyakitiku dengan memukul atau mencemooh. Tapi yang pasti, walaupun tanpa alasan yang jelas, aku membenci mereka. Rasanya seperti ingin memisahkan mereka bertiga sampai salah satunya—atau bahkan ketiganya menangis dan merengek untuk dipersatukan kembali. Alih-alih berbuat baik, aku justru akan menjewernya sampai telinga mereka lepas—kurasa ini adalah gambaran atas tingkat ketidaksukaanku pada mereka bertiga—aku mengidap Fi-Ma-Ki phobia. Jadi maaf teruntuk kalian wahai pemikir-pemikir hebat di luar sana yang telah bersinergi untuk menjaga, merawat dan membersarkan 3 bersaudara ini sampai sekarang. Aku tidak bermaksud untuk membenci mereka. Hanya saja keberadaan mereka di kepalaku merupakan sebuah kesalahan server semata.
"KYAAAA~,"
*Wuush*
Angin kencang barusan menerjangku bersamaan dengan teriakan yang penuh semangat itu.
"BERHENTILAH MENGEJARKU!!!"
Angin kencang yang sedikit berbau harum ini sepertinya lahir dari kecepatan lari seorang gadis yang sedang bertaruh nyawa. Dengan celana rok panjang, apa yang membuatnya bisa lari secepat pelari pemenang medali olimpiade?
"Guk…Guk…Guk…" oh, tentu saja bakal begini.
"MENYERAHLAH KAU DASAR ANJING—"
[Pffft.]
Luar biasa.
Aku memang merasa sedikit miris pada takdir gadis itu hari ini. Perbuatan apa yang telah dilakukannya sehingga bisa sampai dikejar-kejar oleh si musuh kucing tersebut? Meski sebenarnya kasihan, tapi aku merasa sedikit terhibur pada tingkahnya—oh, tidak-tidak. Apa jangan-jangan XP kebusukan dan amoralku meningkat lagi hari ini? Jika memang demikian, lalu kapan aku bisa menjadi manusia yang baik? Berhentilah tersenyum wahai diriku yang bobrok—tobatlah kau wahai diriku, tobatlah.
[Hhhhh.]
Tapi itu memang kejadian tak biasa. Aku cukup kaget saat merasa ada langkah kaki yang berpijak cepat bersamaan dengan teriakannya yang melengking—dan yang dibelakangnya ternyata mengekor seekor anjing rumahan berwarna putih. Sempat membuatku kaget, hanya dalam beberapa detik saja keberadaan mereka kini sudah hilang di ujung persimpangan jalan—dimana aku justru terdiam berhenti melangkahkan kaki tertegun melihat pemandangan barusan—ya, andai aku adalah seorang pahlawan berjuluk 'Catman', aku pasti sedang berkelahi dengan anjing itu saat ini.
Perempuan adalah makhluk lemah? Lihatlah gadis barusan. Dia pasti akan mempertaruhkan nyawanya sampai tetes darah terakhir.
Tapi jika dilihat dari pakaiannya, bukankah gadis SMA tadi dari sekolahku?
@ @ @ @ @
Ini masih terlalu pagi. Pemandangan yang saat ini ku lihat ketika sampai di depan gerbang bukanlah hal lumrah yang biasa ku lihat. Sepi dan tidak adanya sosok guru yang bersikap tegas untuk meneriaki murid dalam radius ±100 meter dari gerbang agar mempercepat jalan mereka untuk sesegera mungkin masuk. Sebelum akhirnya sosok guru itu akan menggiring dan memerintah kepada murid-murid yang terlambat untuk membentuk sebuah barisan lalu siap mengeksekusi mereka—aku tahu ini semua karena setiap harinya aku datang 5 menit sebelum bel masuk berbunyi—dan setidaknya aku sudah datang terlambat sebanyak 2 kali.
Berdasarkan pengalamanku, aku dan yang lainnya akan dilatih menjadi seorang atlet profesional saat kami datang terlambat. Push Up, lari bahkan beberapa gerakan senam kami terapkan dalam pelatihan nasional dadakan itu, yang pada akhirnya membuat kebugaran tubuh serta mental kami meningkat drastis. Walau terkadang beberapa dari kami justru dilatih untuk menjadi penyanyi profesional meski tidak memiliki bakat sama sekali.
Ini sedikit mengherankan. Saat murid datang terlambat mereka akan terkena sanksi. Akan tetapi saat murid datang terlalu cepat mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Aku hanya berandai, kenapa tidak ada sebuah sistem dimana murid akan mendapatkan sebuah reward ketika mereka datang terlalu cepat? Walau sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang perlu dipertanyakan. Tapi jika benar, itu adalah sebuah keberuntungan untukku, karena aku yakin aku sudah mendapatkannya saat ini juga jika sistem itu diberlakukan.
"Hei nak, bisa kesini sebentar," seorang guru perempuan di depan meja piket sana yang tidak ku kenali memanggil saat aku baru saja memasuki aula. Aku hanya seperti orang latah yang menghampiri untuk mengikuti perkataannya. Apa gerangan yang membuatnya memanggil ku? "Bisakah aku meminta tolong untuk mengembalikan buku-buku ini ke ruang guru?"
Oh, jadi cuma itu. Sejauh mataku memandang, memang ada lumayan banyak buku di atas meja itu. "Ya."
"Nanti taruh saja di atas meja di depan rak buku yang di dekat pintu."
"Baik." tentu ini adalah tugas yang mudah.
Dengan sedikit bantuan dari beliau, kedua tanganku yang sedang menangkup ini mulai dipenuhi buku-buku paket.
"Terima Kasih. Hati-hati saat membawanya, ya."
"Uh." dengan semua kesiapan aku mulai meluyur pergi dengan menangkup buku-buku paket ini.
'Satu Hari Satu Kebaikan'. Mungkin terlihat begitu, tapi sebenarnya tidak juga. Andai saat beliau memanggil tadi dan di saat yang sama banyak murid yang berjalan beriringan denganku, tentu aku akan menganggap beliau tidak sedang memanggilku melainkan murid lain—ku pastikan aku akan berpura-pura tidak mendengarnya lalu berjalan meluyur begitu saja—dan menyerahkan pekerjaan ekstra tersebut kepada orang yang lebih kompeten ketimbang diriku ini. Aku tidak sedang mengeluh atau semacamnya karena ini, justru ini adalah hal yang bagus untukku sebagai pemanasan sebelum aku terjun langsung sebagai relawan dalam waktu dekat—mungkin agak berlebihan, tapi kurasa tidak ada yang salah dengan itu.
Kalau tadi ku bilang aku datang terlalu pagi, sebenarnya ada beberapa murid yang ternyata ku lihat sudah ada di dalam kelas saat aku berjalan di lorong sembari melewati kelas mereka. Melihat kehadiran mereka membuatku merasa bahwa aku tidak cukup teladan dibandingkan mereka—walau terlintas dibenakku kalau mereka bukan datang terlalu pagi—mungkin mereka terkunci dan terpaksa menginap disana.
Jika dipikirkan dengan baik, murid yang bertugas untuk piket juga akan datang pagi untuk mempertanggung jawabkan loyalitas mereka kepada kelas mereka masing-masing—kecuali memang murid tersebut memiliki hobi mangkir. Untuk ku sendiri yang datang sepagi ini jelas itu bukan tujuanku. Aku tidak memiliki motif tersebut. Bahkan kurasa 'orang-orang' di kelasku juga mencapku sebagai 'pekerja' yang hobi mangkir dan tidak memiliki loyalitas sama sekali, karena aku selalu datang 5 menit sebelum bel berbunyi sehingga tak pernah terlihat oleh mata mereka kalau aku pernah piket—walau sebenarnya aku selalu mengambil piket shift sore setelah pulang untuk bertugas. Aku akan merasa baik-baik saja selama aku melakukan tugas yang menjadi tanggung jawabku—meski aku melakukannya dengan caraku sendiri.
Dan aku sudah melakukannya di awal pekan ini.
Secara garis besar denah sekolah ini adalah dimana ruang guru berada setelah toilet laki-laki jika berdasarkan arahku yang dari meja piket di aula. Jadi sudah ku bulatkan tekad untuk membawa buku paket yang sedang ku bawa saat ini ke toilet terlebih dahulu—karena memang sudah waktunya untuk diriku membasahi bumi tercintaku ini—aku hanya kebelet buang air kecil. Itu saja.
Hanya tinggal beberapa meter lagi untuk sampai ke toilet.
Setelah membawa buku ini cukup jauh, sejujurnya buku-buku ini mulai cukup terasa berat juga untukku. Atau mungkin aku saja yang terlalu lemah? Ya, aku hanya penasaran saja, apa yang akan terjadi jika aku memaksakan diri membawa buku-buku ini sejauh 5 km jauhnya? Apakah mungkin aku akan menjadi seperti Ade Ray sang binaragawan? Terdengar mengada-ada mema—
*Bruaak*
Ah. Buku-buku yang sedang ku pegang jatuh semua.
Saat aku ingin berbelok memasuki lorong toilet, sepertinya aku menabrak seseorang.
"Ah, maafkan aku. Maafkan aku, kak. Aku tidak sengaja."
Aku melihat sekilas, "Ah, tidak apa-apa." secara cepat aku menyadari kalau yang ku tabrak adalah seorang siswi. Tanpa mempermasalahkannya, aku langsung merunduk untuk mengambil kembali buku-buku paket itu.
"Sini kak, biar ku bantu." ia menawarkan dengan nada ramahnya, lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil buku-buku yang berserakan ini bersamaku.
'Teruntuk kamu,
Maaf sebelumnya jika aku lancang. Mungkin kamu juga akan merasa aneh ketika membaca surat ini. Tapi aku hanya ingin bilang kalau selama ini aku memperhatikanmu. Mungkin bisa di bilang aku pengagum rahas—'
Aku sedikit lancang. Tanpa meminta izin terlebih dahulu atau semacamnya, secara spontan aku langsung membaca kalimat di dalam kertas itu yang sepertinya ikut terjatuh ketika kami bertabrakan. Kalimat itu mengisyaratkan sesuatu, sebelum akhirnya siswi di depan ku ini mengambilnya kembali, lalu melipatnya setelah mengambil buku paket terakhir yang terjatuh. Ya, kurasa kertas itu memang miliknya.
Kami pun mulai berdiri perlahan bersamaan. Ia yang sedang menggenggam selembar kertas itu dan aku yang sedang menangkup buku-buku ini. Situasi sempat hening sekejap, hingga kemudian ia mengatakan sesuatu untuk mengakhiri skenario kecil ini. "Baiklah aku duluan ya, kak. Maaf sudah menabrakmu." ia mengatakannya dengan sangat jelas.
Dengan saling berdiri berhadapan, aku mulai menyadari sesuatu yang agak samar saat melihat wajahnya—namun aku cukup yakin bahwa ia memang sosok perempuan yang dikejar seekor anjing tadi. "Bukan masalah. Makasih juga sudah membantu."
Kami pun mulai melangkahkan kaki, hingga kami saling bahu membelakangi. Namun dalam beberapa langakahanku, "Aw…fuuuuh." aku mendengar suara rintihan. Aku menoleh ke belakang, aku melihatnya meringis kesakitan sembari memegang bagian bawah kaki kanannya. Pandangan kami pun bersitatap sekilas, "Aku terkena sedikit luka gores. Hehe."
[Kenapa malah tersenyum?]
Sikapnya seakan menjadi imbauan bagiku untuk fokus pada apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Sepengamatanku, terlihat jelas bahwa rok panjang itu sobek pada bagian betis kaki kanannya—dan tampak cairan rembes dari dalam. Kalau dilihat dengan jelas, kurasa itu memanglah sebuah darah yang keluar dari betisnya yang terluka. Akhirnya aku menyadari, mungkin saja ia sudah menahan rasa sakit itu dari tadi dan aku tidak memperhatikan itu sama sekali.
Terakhir aku melihatnya ketika ia beradu lari dengan seekor anjing pagi ini dan menghilang begitu saja di persimpangan jalan. Jadi untuk luka itu sendiri ada kemungkinan timbul sebelum aku berpapasan dengannya saat kejadian itu, dan tanpa memikirkan rasa sakitnya ia terus berlari melaju cepat. Atau luka itu timbul setelah ia menghilang di persimpangan jalan, namun entah apa yang terjadi, tapi yang pasti ada satu hal yang membuatnya terluka. Mungkin saja ia terjatuh. Atau mungkin karena ia digigit oleh anjing tersebut—tapi kalau dilihat dari sobekannya, kurasa tidak ada satupun yang benar. Tapi mau manapun yang benar, hari ini tentu menjadi hari yang tidak baik untukknya sampai cukup pantas ia menuliskannya sebagai hari yang menyebalkan di buku hariannya nanti.
"Ini," aku tidak tahu tindakan apa yang akan dilakukan oleh tim medis profesional dalam keadaan seperti ini. "Kau bisa membalutnya dengan ini agar darahnya berhenti." jadi aku hanya berinisiatif memberikannya segumpal kain untuk membalut luka tersebut agar pendarahannya berhenti—atau setidaknya agar bisa menampung darahnya—persis seperti apa yang ku lihat di dalam adegan film/anime saat salah satu karakternya terluka.
Mungkin terlihat seperti sulap bagi siswi ini saat aku mengeluarkan segumpal kain dari dalam tas lalu memberikan itu padanya. Aku cukup berhati-hati dalam berpikir, karena jujur saja syal putih tersebut ku bawa bukan tanpa sebab, melainkan aku membawa syal itu untuk ku gunakan sebagai media praktik Seni Budaya hari ini. Dimana sang guru menyuruh kami untuk membawa sebuah kain putih polos bebas apapun itu bentuknya. Aku tidak tahu untuk apa nantinya, mungkin saja kami akan disuruh menyablon logo 'Slank' di kain itu, atau entahlah.
Tapi aku putuskan untuk memberikan syal itu kepadanya—karena aku juga kekurangan informasi tentang bentuk kain yang harus ku bawa dari sang guru yang menjadi sumber. Aku tidak tahu setebal apa kain yang harus ku bawa atau panjang juga lebarnya. Jadi jika syal itu tidak cocok kalau dijadikan media nantinya, aku akan melancarkan rencana B, dimana aku akan mengorbankan kaos dalam putih baruku yang berbentuk full baju yang ku bawa saat ini sebagai medianya.
Dan sekarang ku pastikan aku akan benar-benar melancarkan rencana B tersebut.
Tangan kananku masih dalam keadaan menyodorkan gumpalan kain ini, dimana ia justru hanya memperhatikannya seksama. "Apa tidak apa-apa kalau aku gunakan ini?" mungkin ia hanya ingin memastikan kembali apa yang sedang ku tawarkan.
"Uh."
Kemudian tangannya merangkah meraih kain yang ku sodorkan. "Terima kasih banyak, kak." lalu memberikan seulas senyum di ujung kalimat itu.
Ia mulai melipat kain itu sedemikian rupa. Aku tahu ia sedang memikirkan bagaimana cara agar luka itu dapat tertutupi dengan baik oleh kain tersebut. Namun sebelum ia membalut lukanya, aku mengingat sesuatu.
"Tunggu sebentar," interupsiku barusan membuatnya mematung sejenak. Ini terasa seperti kebetulan yang sangat kebetulan. Aku ingat kalau aku juga membawa sebotol obat luka hari ini—barang itu ku bawa tentu karena sebuah alasan, alasan yang sangat sederhana, karena hari ini aku akan melakukan praktik Fisika dan kelasku diwajibkan untuk membawa itu masing-masing. Aku tidak tahu persisnya untuk apa obat luka itu digunakan nanti, mungkin saja akan dikumpulkan untuk dijual lagi dengan harga miring nantinya. "Ini," sodorku setelah mengacak-acak barang-barang di dalam tas. "Pakai ini juga untuk mengobatinya." aku merasa seperti seorang dokter profesional saat menyuruhnya ini-itu.
Ia memasukan kertas yang sedang dipegang oleh tangan kanannya itu ke dalam saku baju dan menaruh kain itu di lantai, lalu mengambil obat yang ku sodorkan setelah memperhatikannya dengan seksama. Kemudian yang ia lakukan selanjutnya adalah meneteskan obat itu ke lukanya. Selintas, ku pikir memang luka itu cukup wah baginya yang seorang perempuan. Dalam tindakan medis dadakan yang sedang ia lakukan, aku penasaran dengan satu hal. "Kau… "
"Hmm?"
Apa tidak apa-apa aku menanyakan ini? "Kau yang tadi balapan lari dengan seekor anjing, bukan?"
"Eh?" oh, tentu saja. Tentu itu bukanlah kalimat yang bagus untuk diungkapkan kepada seorang perempuan, bukan? Tapi sayangnya aku tidak cukup pintar untuk memainkan kata-kata dan me-rem keingintahuanku, sehingga perkataanku barusan membuatnya cukup salah tingkah—sampai ia shock dan terhenti pada fokusnya mengobati luka. "Oh, tentang itu? Ya…." dia kelihatan sedang mencoba mengendalikan dirinya. "Soal yang tadi pagi itu kakak melihatnya, ya?" oh, beginikah jawabannya? Ku kira ia akan mengatakan sesuatu yang keji sebagai balasannya atas ketidak-sopananku.
"Maaf-maaf saja kalau pertanyaan ku kurang sopan sebelu—"
"Ah, tidak apa-apa. Kakak tidak perlu meminta maaf." baik hati sekali anak ini. Senyum simpulnya pun menyeruak setelah ia mengatakan kalimat itu dan aku hanya mengangguk mendengar sanggahannya.
Ia melanjutkan mengobati lukanya. "Ketika tadi pagi saat aku berangkat ke sekolah, aku tak sengaja mendengar suara kucing kecil seperti meminta tolong." tetes demi tetes obat itu terus ia basuh ratakan ke lukanya sembari sedikit menahan rasa perih. "Aku mencari darimana suara kucing kecil itu berasal. Dan ternyata dia terjebak di sebuah pohon pinggiran jalan di samping rumah itu. Rumah berwarna ungu yang berpagar tembok cukup rendah." aku memang bertanya satu hal padanya. Meski sudah menjawab pertanyaanku, ku pikir anak ini cukup bermurah hati karena mau bercerita apa yang sebenarnya terjadi. "Aku mencoba memanjat pagar tembok rumah itu memanfaatkan pola dindingnya yang bolong. Aku berhasil. Tapi saat aku ingin turun, tiba-tiba seekor anjing menggonggong dari dalam. Aku ceroboh, rokku malah tersangkut di ujung besi rucing tembok itu saat terburu-buru untuk turun. Mungkin aku tergores karena itu." ternyata seperti itu kejadiannya.
Dengan kebaikan hatinya, ia menyelamatkan seekor anak kucing. Tapi dengan menyelamatkannya, ia harus mengorbankan kakinya untuk terluka. Ia seperti siap dengan konsekuensinya, bahkan walau menahan nyeri, ia malah bercerita dengan intonasi mengayun yang ceria, seolah-olah kejadian ini bukanlah menjadi masalah yang besar baginya—meski aku cukup heran ketika ia justru berani memanjat tembok rumah itu—karena cukup tabu bagiku mendengar seorang gadis remaja memanjat tembok.
Aku mengapresiasi tindakannya.
Walau bisa saja situasinya lebih buruk dari pada yang dipikirkan.
Ia sudah selesai meneteskan obat luka itu sesaat setelah mengatakan kalimat terakhirnya. Kemudian gumpalan kain itu pun ia gulungkan ke pergelangan betis kaki kanannya secara perlahan. "Setelah aku berhasil turun dengan melompat, aku langsung lari secepat yang ku bisa sambil menggendong kucing itu, dan aku belum sadar kalau aku terluka. Tapi aku beruntung akhirnya anjing itu berhenti mengejar ku." ia pun meneruskan ceritanya. "Untuk kucing itu sendiri aku menaruhnya asal saja lalu pergi—hmm, sejujurnya aku sedikit bermain-main dengannya, sih. Dia kucing kecil berwarna oranye yang sangat menggemaskan soalnya, hehe. Kakak juga pasti mengerti, bukan? Lalu aku mulai merasa perih di kaki. Saat aku merabanya, tanganku dipenuhi oleh darah."
"Tapi kenapa kau tidak datang ke UKS saja?" aku menemuinya dalam keadaan yang menahan nyeri dan belum adanya tindakan medis. Jadi aku hanya asal ceplos sesuai apa yang terlintas di benakku.
LANJUT KE BAB 6-B.