webnovel

Prologue

Pada akhirnya tak bisa masuk ke SMA yang kuinginkan.

Ayah memaksaku masuk ke Wissenschaft High School.

Nama sekolah itu aneh, kan?

Tepatnya, semenjak orang tuaku mendapatkan surat dari seseorang yang misterius. Padahal aku ingin masuk ke sekolah negeri, akan tetapi didaftarkan ke swasta. Meskipun rata-rata nilaiku di setiap pelajaran sungguh standar, bukankah masih ada hak untukku masuk ke sekolah negeri?

Sekarang, aku hanya bisa berdiri memandangi papan nama sekolah ini dengan penuh rasa emosi. Hari ini bukanlah hari dimana aku akan mendaftar. Aku tak tahu kapan mereka mendaftarkanku. Saat aku terbangun dari tidur, kamarku sudah kosong dan di hadapanku terdapat sebuah boks berisikan seragam, buku, dan peralatan sekolah lainnya.

Wissenschaft High School, aku tak mengerti arti dari nama sekolah ini. Kudengar sekolah ini berisikan orang-orang jenius, berprestasi dan pastinya orang-orang ber-uang. Selain itu, konon katanya mereka yang mengurus dan mendirikan sekolah ini sangatlah tidak peduli dengan uang dan kekayaan. Kedengarannya aneh untuk kepengurusan sekolah swasta.

Hal lain yang membuat sekolah ini terkenal adalah sistem kelasnya yang mungkin saja terdengar sudah biasa bagi beberapa sekolah. Yaa ... siapa sangka yang akan terjadi di dalamnya. Aku bisa menarik kesimpulan bahwa undangan yang kudapatkan pasti ada maksud tertentu.

Kuharap tidak ada kaitannya sama sekali.

Selain itu, kelihatannya sekolah ini benar-benar mementingkan mutu pendidikan dibandingkan pendanaan. Kalau begitu jadinya, apalah daya diriku yang memiliki kepintaran rata-rata.

Apakah diriku akan mampu bertahan di sekolah ini?

Kurasa iya, ini kan sekolah swasta dimana para murid sebagai sumber pemasukan. Mana mungkin mereka seenaknya bisa mengeluarkan murid bodoh.

Meskipun begitu ... aku sangat-sangat tidak ingin masuk ke sekolah ini karena paksaan.

Halaman sekolah ini cukup luas. Desain gedung yang sesuai dengan label sekolah swasta. Aku suka patung itu, seseorang yang nampaknya sedang duduk di singgasana sambil memegang sesuatu.

"Sebuah tongkat?"

Sebaiknya aku tak mempedulikan hal itu. Nampaknya di sana ada papan pengumuman. Kucoba menghampirinya.

Sepertinya aku tertipu. Ini hanyalah papan denah sekolah. Memangnya seberapa luas sekolah ini? Hingga dibuatkan denah.

Aku juga mendengar beberapa informasi dari teman-teman lamaku. Wissenschaft High School mendapatkan nominasi sebagai sekolah dengan fasilitas terlengkap dan terbanyak.

Tunggu dulu, terbanyak? Berapa banyak fasilitas di sekolah ini? Aku sebenarnya tak berniat menghitung hal tersebut. Itu karena di bagian bawah denah sudah tertera jumlah gedung serta ruangan yang ada.

"15 Ruang kelas, 15 Lab biologi, 15 Lab Komputer, 15 Lab ... tunggu dulu, kenapa semua ruangan berjumlah 15? Eh gak juga sih, kecuali kantor guru, gedung staf pegawai, dan asrama. Mungkin asrama bisa dijadikan alasan barang-barangku sudah tidak ada tadi pagi."

Aku mencium aroma parfum mendekat.

"Permisi, bisakah kamu bergeser? Dirimu menutupi empat puluh persen dari denah sekolah ini," tegas seorang gadis.

"Empat puluh persen? Maksudmu? Badanku tak sebesar itu," ujarku sembari berbalik badan ingin melihatnya.

Aku sedikit terkejut. Penampilannya cukup manis, berkulit putih, rambutnya panjang bergelombang hingga pinggang serta berwarna hitam kecoklatan di tiap ujung helai rambutnya. Bisa kutebak tingginya sepundakku. Dia adalah seseorang yang pernah menjuarai olimpiade akuntansi tingkat regional.

Untuk memastikan, "Hmm ... kamu Dorothy ya?"

"Tolong jangan panggil aku dengan nama itu," balasnya tak memperhatikanku dan hanya menaruh fokus pada papan itu.

"Lalu harus kupanggil-"

"Bukan urusanmu, lagipula kita tidak saling kenal, lebih baik kau minggir!" potong Gadis itu masih tak melihat ke arahku.

Aku sendiri tidak tau nama lengkapnya, jadi harus kupanggil apa? Sekarang aku harus kemana? Mungkin inilah akibatnya jika tak mendengarkan ucapan Ayah kemarin malam.

"Hei kamu! Kenapa masih diam aja?" Sepetinya gadis itu memanggilku.

"Aku?"

"Iya! Lalu siapa lagi?" Baru sekarang yaa dia melihat ke arahku. Namun, mendengar perkataannya, membuatku sadar jika situasi di sekitar kami sangatlah sepi. Aku sedikit mencoba memancingnya.

"Kamu sendiri kenapa masih di sini?" tanyaku.

"Aku sedang mencari lokasi aula," jawabnya ketus.

Oh aula, padahal sangat mudah untuk menemukan Lokasi tersebut. Daripada dia semakin emosi mengetahui keberadaanku, lebih baik aku segera bergegas pergi. Lagipula diriku tidak mungkin bisa akrab dengan gadis berprestasi seperti dirinya.

Seseorang menarik lengan bajuku. Aku menghentikan langkah, tanpa memandang siapa dan langsung bertanya dengan nada datar. "Ada apa?"

"Aku tidak paham dengan denah sekolah ini dan aku juga tidak menemukan lokasi aula." Ternyata gadis yang tadi.

"Jadi, bisakah kamu melepaskan tanganmu dari lengan bajuku?" tanyaku masih tak melihat ke arahnya.

Dia tidak merespon. Aku mulai heran dan menatap wajahnya.

"Buta peta? Buta arah?" tanyaku heran.

"Eng ... gaaak ...," ucapnya membuang raut muka demi menyembunyikan rasa malunya.

Ayolah, ini pertama kalinya kita bertemu. Semudah itu kah dirimu yang tadi memarahiku sekarang ingin meminta bantuanku. Kurasa waktu terus berjalan dan sebentar lagi acara itu akan dimulai. Aku sendiri sebenarnya tak dapat membiarkan seorang gadis sendirian.

Setelah melalui beberapa menit canggungnya suasana, pada akhirnya harus aku yang menawarkan bantuan.

"Kalau begitu, ayo kita ke aula sekarang."

Gadis itu hanya menganggukkan kepala dan mengikutiku begitu saja.

Jarak dari papan denah menuju aula ternyata lumayan jauh. Suasana di antara kami berdua sangatlah canggung. Aku hanya bisa melihat ke depan dan diam seribu kata. Aku tak tau apa yang dia perbuat selain mengekor sambil menggenggam lengan bajuku. Sempat terlintas beberapa pertanyaan di kepalaku.

Apakah dia tidak punya teman? Mungkin punya, hanya saja tidak masuk ke sekolah ini. Kucoba untuk mematahkan suasana meskipun belum sempat saling memperkenalkan diri.

"Bukankah kita tidak saling kenal? Kenapa kamu berani meminta bantuan kepada orang asing?" tanyaku masih melihat ke depan.

"Itu bukan urusanmu ...," jawab gadis itu.

Sembari melangkah, aku pun melepas paksa genggamannya. "Kalau begitu mengajakmu ke aula bukanlah urusanku juga."

Meskipun mendengar balasannya tak membuatku emosi. Tanpa belas kasih langsung kutinggalkan. Kurasa dia hanya bisa diam setelah diperlakukan seperti itu. Niatku yang awalnya mematahkan suasana malah berakhir dengan mematahkan suatu hubungan.

>===÷===<

Akhirnya sampai. Hal pertama yang kukagumi adalah betapa luasnya tempat ini. Bagiku, aula ini terlalu luas untuk lima ratus murid. Mungkin perkiraanku saja, dapat menampung hingga sekitar seribu orang. Ya ... kurasa perkiraanku yang terlalu jauh, mengingat kepintaranku sungguh standar.

Tanpa kusadari seorang gadis telah melewatiku. Kurasa gadis tadi. Aku sudah tak peduli dengannya. Mana mungkin aku bisa bersanding dengan gadis pintar sepertinya.

Di hadapanku saat ini ada banyak sekali murid yang sedang duduk sembari menunggu acara dimulai. Aku langsung menempati tempat duduk di dekatku. Kupikir diriku tak layak untuk duduk di kursi paling depan. Barisan tersebut hanya untuk orang-orang jenius, contoh saja gadis yang melewatiku tadi secara langsung mengambil kursi depan.

Sesuai pandanganku tadi, aula ini terlalu luas untuk jumlah murid yang hadir. Bahkan mereka menyisakan banyak baris kursi. Aku juga melihat ada beberapa papan huruf yang mungkin saja sebagai penanda.

Di depan sebelah kanan sana ada empat baris kursi yang tiap dua barisnya diberi papan. Papan pertama B dan berikutnya C. Di depan sebelah kiri sana juga begitu. Papan D dan E.

Satu hal yang tak kutemukan. Dimanakah barisan tempat duduk untuk A? Aku tau huruf-huruf itu tak sekedar penanda, melainkan sebagai urutan kelas. Hanya saja, ah lupakan ... aku sendiri tidak mungkin dimasukkan ke sana. Ujung-ujungnya juga kelas terbawah.

Kurasa acara akan segera dimulai. Karena kulihat para OSIS mulai melakukan beberapa hal dengan cekatan. Penglihatanku yang salah atau memang benar mereka sedang diperintah oleh seseorang yang nampaknya tidak memakai seragam OSIS. Dia hanya memakai seragam murid biasa namun ada sebuah lencana di dada kanannya.

"M ... P ... hmm, gelar? Atau hanya lencana? Bodo amat lah."

Awalnya aku sempat berpikir, jika orang itu mungkin saja guru. Akan tetapi, pemikiranku terpatahkan ketika melihat seorang guru sedang berjaga-jaga di belakang. Sudah dipastikan juga, pakaiannya berbeda. Pada akhirnya aku merasa tidak peduli dengan orang itu. Tugasku sekarang adalah duduk di tempat ini dan mendengarkan informasi penempatan diriku.

Kuharap aku tidak ditempatkan di kelas yang tinggi.

"Nomor 5! Kelas A! Clarissa Dorothy."

Kenapa aku baru mendengar suara mic?

Tunggu dulu sejak kapan acaranya dimulai? Astaga, sepertinya aku tak menyadari itu. Aku juga tidak mengetahui keberadaan Kepala Sekolah yang nampaknya sedang membacakan daftar absensi kelas.

Tapi tunggu dulu ....

Sepertinya aku mendengar namanya. Nama depannya Clarissa, kan? Nama yang cantik. Namun, aku tak bisa lagi mendekatinya. Kelasnya terlalu jauh dari ekspetasiku.

"Nomor 12! Kelas A! Ivan Megantara."

Nama yang cukup sangar untuk berada di kelas itu. Aku menyebutnya sangar karena prestasi yang dia miliki. Ternyata benar, tempat duduk kelas A berada paling depan. Aku tau itu karena sedari tadi yang mengangkat tangan hanyalah murid-murid yang berada di barisan tersebut. Selain itu, mereka tidak disuruh untuk pindah tempat.

Mungkin saja barisan tempat duduk kelas A sangatlah VIP. Namun, aku mendapati satu kursi kosong di depan sana. Kenapa kursi itu kosong ya?

"Nomor 14! Kelas A! Nadia Askiara."

Kalau tidak salah gadis itu juga termasuk pemenang dalam suatu olimpiade.

Wah-wah ....

Kelas A benar-benar diisi oleh murid-murid berprestasi. Kurasa kelas itu akan memiliki segala hal mengenai apa yang membuat mereka sangat pantas untuk diposisikan di peringkat teratas. Hanya saja ada satu hal yang membuatku risih. Sebuah kursi kosong yang berada di deretan kelas A. Jika kuhitung, kursi itu ada di urutan 16.

"Nomor 15! Kelas A! Rio Astra."

Kenapa hingga saat ini masih kosong? Seharusnya murid yang pintar dan berprestasi memiliki kedisiplinan serta ketepatan waktu yang baik! Akan tetapi, kenyataannya murid yang menempati tempat tersebut belum muncul sampai saat ini. Mungkinkah dia terlambat atau tersesat seperti Clarissa?

"Nomor 16 ..."

Mari kita lihat siapakah orang yang lalai telah mengosongkan kursi tersebut.

"... kelas A!"

Entah kenapa, di saat begini aku merasa senang melihat orang yang di tempatkan di posisi tertinggi pun dapat melakukan kesalahan.

"Rafael ...."

Gak salah dengar kan?

Mungkin pendengaranku bermasalah.

"... Tendranatha."

Namaku? Ah gak mungkin lah.

Aku yang cuma lulusan murid biasa dimasukkan ke kelas itu.

"Sekali lagi ... Nomor 16! Kelas A! Rafael Tendranatha."

Serius? Beneran? Kurasa mereka tidak bercanda.

Tunggu dulu! Kenapa aku mengacungkan tangan? Aku tak berniat melakukan hal ini!

"Silakan Rafael ... mengisi kursi yang telah disediakan di depan."

Aku mulai mengepalkan tangan dan merasa naik pitam dengan situasi ini. Sebenarnya, aku menolak hal ini. Aku tak menerima penempatan di kelas itu dengan alasan beruntung atau sebagai pelengkap saja. Inginku melawan, akan tetapi badanku tetap menuruti instruksi yang ada.

Astaga ... hampir seluruh perhatian mulai tertuju padaku. Pemikiran dan tindakanku juga tak sejalan.

"Apakah ada masalah nak Rafael?"

Aku tak bisa membalas ucapannya. Seluruh perhatian ini membungkam mulutku. Hingga akhirnya aku hanya bisa melangkah ke depan.

Perasaanku campur aduk tak dapat berkata apapun lagi. Aku sendiri tidak tahu seperti apa ekspresiku sekarang. Mulai terdengar beberapa celotehan dari mereka-mereka yang tampaknya menganggapku aneh.

"Emangnya dia siapa? Kenapa bisa ditempatkan di kelas A?"

"Aku belum pernah mendengar namanya ...."

"Prestasi macam apa yang dia miliki?"

"Cih ... lihatlah sikap dan penampilannya, orang seperti dia di kelas A?"

Mereka semua tidak suka jika aku berada di kelas A. Begitu pula denganku! Aku saja tidak menerima penempatan seperti ini.

Saat sudah sampai di barisan paling depan, aku melirik ke tempat duduk kosong itu.

"Aku nomor urut 16 ya ...."

Tak kusangka, murid yang sengaja mengosongkan tempat duduk ini adalah diriku sendiri. Aku langsung duduk dengan situasi kepala dipenuhi oleh kalimat-kalimat pertanyaan.

Aku mulai memegang kepalaku sendiri dan bergumam.

"Prestasi macam apa yang kumiliki? Yang kudapatkan di masa lalu bukanlah sebuah prestasi."

>===o===<

Cerita ini adalah Fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Next chapter