webnovel

TINDAKAN RASIONAL DI ATAS DUA KEMUNGKINAN BURUK

TAKSI yang kutumpangi dari dermaga yacht masih setia menunggu."Kita ngebut lagi, Pak?" sopir taksi bertanya, menyeringai.Belum hilang anggukanku, belum genap menyebut tujuan berikutnya, mobil sudah melesat meninggalkan pelataran parkir

gedung Bank Semesta. Hari Minggu, jalanan protokol lengang.Telepon genggamku berbunyi saat aku merebahkan punggung, berusaha rileks sejenak. Nama Erik terpampang di layar telepon genggam. Aku menggerutu, sejak tadi aku menunggu nomor

kontak yang akan dikirimkan Erik.

Aku mengangkat telepon, setengah berseru. "Kau butuh berapa lama lagi untuk mengirimkan business card putra mahkota, Erik?"

"Sabar, Thomas," Erik berkata santai.

"Astaga, waktuku terbatas." Aku mulai jengkel.

"Aku harus melewati beberapa prosedur sebelum memberikan nomor kontaknya, Thom. Kau tahu, ini tidak seperti memberikan nomor telepon artis idola atau pengarang kesayangan, atau nomor telepon terapis langgananmu. Lagi pula, kabar buruknya,

dia tidak otomatis mengangkat setiap telepon yang masuk. Nomormu tidak dikenali, mau kau telepon belasan kali, jangan harap dia angkat, dilirik pun tidak," Erik menjawab dengan logika.Aku terdiam sejenak. Benar juga.

"Nah, kabar baiknya, aku baru saja menelepon dia lima menit lalu, memberitahukan ada teman klub petarung yang ingin menghubungi, membicarakan sesuatu yang amat penting. Dia bersedia kauhubungi, tapi tidak lewat telepon, Kawan. Riskan sekali melakukan pembicaraan sensitif lewat telepon. Dia menyediakan waktu untuk pertemuan langsung. Kabar baik, bukan?" Erik tertawa.Aku mengepalkan tinju, senang mendengarnya. "Ini jelas lebih baik, Erik. Terima kasih banyak. Kau memang teman yang baik."

"Berterima kasih saja tidak cukup, Thom. Kau harus mencium kakiku." Erik masih tertawa. "Meminta jadwal pertemuan dengan putra mahkota tidak pernah mudah. Aku harus meyakinkannya berkali-kali bahwa kau akan membicarakan sesuatu yang sangat penting."

"Di mana pertemuannya?" Aku mengabaikan kalimat Erik dan tawanya, bergegas memastikan.

"Nanti sore pukul empat di Denpasar. Dia dan petinggi partai politiknya sedang di sana, urusan partai, membuka munas, musda, atau apalah."

Aku mengembuskan napas. "Tidak bisakah dia ke Jakarta? Jadwalku ketat sekali sebelum besok pagi kantor buka."Erik tertawa menyebalkan.

"Kau gila, Thom. Kau pikir dia klien, teman kantor, atau siapalah yang bisa kau suruh-suruh selama ini. Esok lusa boleh jadi kau melihatnya di televisi sedang pidato kenegaraan, dan kita tidak bisa lagi memanggil namanya langsung tanpa sebutan 'Bapak'."Aku menelan ludah. "Aku hanya bergurau, Erik. Kau tidak pernah mengerti sarkasme, entah itu di rapat-rapat atau bahkan dalam percakapan telepon sekalipun. Aku bisa ke Denpasar nanti sore pukul empat, itu hanya perjalanan dua jam. Terima

kasih sudah membantuku."

"Simpan saja terima kasihmu sekarang, Thom. Aku akan menagihnya di waktu yang tepat, permintaan yang tepat, dan harga yang mahal." Erik terkekeh.

"Aku akan membayarnya. Pegang janjiku."

"Great. Adios, Kawan."

"Sebentar, Erik," aku mencegah Erik menutup telepon, teringat sesuatu. "Tadi kau bilang tidak mudah bertemu dengannya, lantas bagaimana kau hanya butuh waktu lima menit untuk meyakinkan dia?"

"Itu gampang, Thom. Aku tiru mentah-mentah trikmu selama ini. Kubilang, orang ini, yang meminta jadwal bertemu, hendak menyumbang sepuluh miliar untuk dana partai. Brilian, bukan?

Dia bahkan lupa untuk bertanya siapa namamu. Nah, selamat berlibur. Jangan lupa bawa sunblock atau papan selancar. Selamat bertemu dengannya, Thom. Ingat, kau harus sopan. Dia amat

sensitif. Maklumlah, anak muda yang tiba-tiba kejatuhan bulan, kekuasaan besar di tangan,banyak sekali penjilat di sekitarnya. Salah-salah kata, moodnya bisa rusak, dan kau kehilangan kesempatan. Kalau dia siapalah, paling juga sedang keringatan mengepit map lamaran kerja, atau gugup mengerjakan lembar ujian psikotes." Erik tertawa, menutup telepon.Aku mendengus pelan, lelucon yang buruk. Taksi terus membelah jalanan lengang. Telepon genggamku berbunyi lagi saat aku baru saja rileks meluruskan kaki.

"Kau di mana, Thomas?" Suara Julia, sedikit terdengar panik.

"Aku di taksi, menuju kantor, hendak mengambil berkas. Lantas baru ke tempatmu. Ada apa?"

"Tidak ada waktu lagi, Thomas. Kau harus segera ke sini. Jadwal pertemuan kita dimajukan satu jam. Ajudan menteri baru memberitahuku beberapa detik lalu."

"Kau yakin?" Aku melirik jam di dasbor taksi. Itu berarti tiga puluh menit lagi.

"Bergegas, Thomas!" Julia menjawab jengkel. "Atau hanya aku yang akan menemuinya, melakukan wawancara basa-basi sesuai skedul."

"Tetapi berkas itu penting, Julia. Itu akan membuat perbedaan."

"Peduli amat dengan berkas itu. Kau suruh siapa saja mengantarnya. Aku tidak bisa meneleponmu lama-lama. Lobi gedung ini semakin ramai, sepertinya semua wartawan berebut ingin tahu apa yang sedang terjadi. Ada staf khusus istana yang datang. Mobilnya baru merapat. Dia sepertinya juga akan bertemu menteri. Teman wartawan lain sudah berlari-lari mengerubungi. Aku juga harus mendengar apa yang dia katakan." Percakapan telepon diputus.

Baiklah. Kepalaku melongok ke depan, menyebut tujuan baru pada sopir taksi."Lebih ngebut, Pak?" sopir taksi bertanya polos."Terserah kau saja," aku menjawab pendek."Siap, Pak." Taksi dengan cepat meliuk, menyalip dua mobil sekaligus.Aku menekan nomor telepon genggam Maggie. Aku harus me­minta Maggie mengantarkan dokumen itu. Tanpa salinan dokumen yang disiapkan Maggie, aku tidak bisa membujuk Ibu Menteri. Kalian tidak akan pernah bisa membujuk wanita berhati baja itu. Aku mengenalnya bahkan sejak kuliah. Satu-satunya cara meruntuhkan sebuah keteguhan sikap atas kejujuran dan integritas hidup hanyalah dengan mengurung dia dengan dua pilihan. Hanya dua pilihan, tidak lebih, tidak kurang. Dua pilihan yang sama-sama sulit. Maka ketika skenario itu terjadi, konteksnya menjadi berubah: pilihan paling rasional atas dua kemungkinan terburuk. Salinan dokumen yang dipegang Maggie adalah kuncinya.

Next chapter