Semua berkumpul di ruangan milik Joe Orlando. Mereka yang didominasi dengan pakaian hitam, terlihat berbaris rapi. Mengelilingi tiga buah kursi dengan meja bundar di tengahnya.
Arthur, Darren dan Joe Orlando duduk di tiga kursi itu. Ketiganya saling tatap. Lalu beralih pada susunan foto yang terletak di atas meja. Di antaranya adalah foto Daryo, Trisna dan Mira. Lalu di bawahnya, terdapat potret dari keluarga Indra Wijaya dan beberapa pria berjas lainnya.
Joe Orlando mengambil foto pria tua yang sudah tewas itu, menatapnya lekat-lekat. Tangan satunya meraih foto Trisna, dan langsung meremas foto itu sampai kusut. Melemparnya kembali ke atas meja.
"Trisna benar-benar mengacaukan semuanya." Joe Orlando bergumam. Penuh penekanan.
Darren hanya menunduk mendengar penuturan ayahnya itu. Sama sekali belum berminat untuk memberi respons. Bosan, itulah ekspresi wajahnya sekarang.
Dia tidak terlalu suka pertemuan seperti ini. Meski penting atau menyangkut masa depan kelompok. Dia tidak begitu peduli. Dia lebih suka beraksi langsung. Membuat onar.
Dan lagi, baginya terlalu dini untuk mengatakan jika Trisna mengacaukan semuanya. Mereka masih punya target lain. Target yang lebih besar dari mantan pengusaha yang telah bangkrut. Tidak ada hal mewah yang akan mereka dapat dari orang itu. Maka, dia mati pun tidak memberi dampak yang luar biasa bagi kelompok mereka.
Pandangan Arthur tertuju pada foto-foto di depannya. Raut muka pria itu tampak datar. Sulit ditebak. Selalu seperti itu. Namun yang jelas, matanya fokus pada satu lembar foto di sana. Menatap dengan penuh rasa benci.
"Terlalu dini untuk mengincarnya, Arthur."
Joe Orlando mengalihkan fokus Arthur. Meski begitu, dia hanya menatapnya sekilas. Lalu memalingkan wajah. Seolah ingin menghindari tatapan orang yang sudah merawatnya sejak kecil itu.
"Darren, selain merusak mobil Damian, apa saja yang kalian lakukan hari ini?"
Atensi Joe beralih pada anaknya. Dia tidak akan bisa meluluhkan hati Arthur. Pemuda itu sudah menetapkan targetnya. Akan sulit untuk dicegah atau dihentikan.
"Menemui dan memberi misi pada Daryo. Ayah yang menyuruh kami. Tidak ingat?" Darren mendengus.
"Bagaimana? Apa dia setuju?"
"Tidak setuju sama dengan mati. Kita lihat saja tiga hari ke depan. Aku sudah memberinya alamat pertemuan kita. Jika dia tidak datang, berarti dia sudah tidak mau hidup." Darren berucap dengan senyuman. Mempermainkan hidup orang lain, dia menyukai itu. Sangat.
"Lalu, tentang istri Trisna?"
Joe mengambil foto wanita yang tengah memeluk anaknya itu. Menatapnya dengan saksama.
Paras Mira masih terlihat cantik di usia yang sudah tidak lagi muda. Senyum dengan lesung pipi di sebelah kiri pipinya, menambah kesan betapa manisnya dia.
"Dia pulang ke kampung halamannya di Bogor. Setelah menyelesaikan misi dari kita, aku meminta Daryo untuk mencari wanita itu," ucap Darren.
"Apa rencanamu?" tanya Joe Orlando. Tautan di alisnya muncul. Tidak biasanya Darren memiliki sebuah rencana.
"Itu rencana Arthur."
Sudah diduga. Darren tidak mungkin mau repot-repot memberi sebuah rencana yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri. Sorot mata Joe Orlando beralih pada Arthur. Meminta penjelasan dari pria yang berusia dua puluh lima tahun itu.
Joe memang ketua di kelompok ini, tapi hampir semua rencana berasal dari otak Arthur. Bahkan jika diingat-ingat, kelompok ini dibentuk atas usul Arthur sendiri. Dia ingin menyaingi kelompok Black Alpha. Sebuah kelompok kejahatan nomor satu di kalangannya.
Semuanya berawal karena Black Alpha telah merenggut segalanya dari Arthur. Keluarganya dibantai dalam satu malam. Harta pun tidak luput dari keserakahan kelompok itu. Kebahagiaannya berganti dengan penderitaan dalam satu kedipan mata. Jika Joe Orlando tidak menyelamatkannya malam itu, Arthur pasti tidak akan hidup sampai usianya sekarang.
Sempat dia berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Menyusul keluarganya yang sudah berbeda alam. Akan tetapi Darren berhasil mencegahnya. Tanpa sadar pria yang lebih tua satu tahun darinya itu, mengusulkan sesuatu yang gila pada Arthur.
Balas dendam dan mengambil takhta Black Alpha. Sebuah pemikiran yang muncul dari otak anak berusia 13 tahun kala itu, nyatanya berdampak besar sampai sekarang.
Darren mengusulkan itu karena dia tahu ayahnya akan balas dendam pada Black Alpha juga. Hal ini dikarenakan ayah Arthur adalah bos Joe Orlando. Dan Joe Orlando bisa dibilang sebagai tangan kanannya. Tidak heran jika dia pun bertekad untuk melakukan balas dendam.
Dengan semua latar belakang itu, terciptalah kelompok Domino dengan segala kebencian yang mereka miliki. Meski sama-sama kelompok pembuat onar, tapi tujuan utama terbentuknya Domino hanya satu. Joe ingin menghancurkan Black Alpha dan menggantinya dengan wajah baru. Hal ini sejalan dengan Arthur yang ingin menjadi ketua di kelompok besar itu.
Joe Orlando sangat berhasrat untuk menjebloskan para petinggi di kelompok itu ke balik jeruji besi. Dia ingin mereka menebus dosa-dosanya sampai membusuk di sana. Rencana pun sudah disusun dengan matang.
Awalnya, semua akan dimulai dari Indra Wijaya. Pria tua itu. Meski dia sudah bangkrut, tapi dulunya merupakan salah satu petinggi di kelompok Black Alpha. Semua tuduhan bahwa dia terlibat pasar gelap, adalah benar adanya.
Oleh karena itu, kematiannya membuat Joe frustrasi. Rencana yang sudah tersusun rapi, hancur berkeping-keping. Mereka tidak bisa menyatukan kepingan itu kembali, dan memilih untuk beralih pada rencana lain.
"Aku akan meminta Daryo untuk mencari Mira ke kampung halamannya. Jika Daryo membawanya hidup-hidup, aku akan menjadikannya sebagai mata-mata di Black Alpha." Arthur berucap dengan tenang. Dia tahu apa yang harus dilakukan.
"Tapi jika Daryo membawanya dalam keadaan tak bernyawa?" Darren bertanya.
Dia selalu tertarik dengan isi kepala Arthur. Apa yang pria itu pikirkan? Apa yang tengah dia rasakan di balik ekspresi dinginnya? Selalu membuat Darren penasaran.
"Kau dan aku akan bergabung dengan kelompok itu secara langsung." Arthur menyeringai.
"Uhuk ...." Joe Orlando yang tengah meminum segelas air putih, seketika tersedak mendengar penuturan Arthur.
"Aku tidak mau!" Darren berucap dengan ekspresi panik. Benar. Apa yang Arthur pikirkan memang selalu membuatnya tertarik ... dan terkejut. Bisa-bisanya dia memiliki rencana seperti itu.
"Aku tidak mengizinkan rencana yang satu ini. Terlalu berbahaya." Joe berucap dengan tegas.
Gila. Obsesi Arthur untuk balas dendam benar-benar tidak bisa dianggap remeh. Memasuki kelompok Black Alpha secara langsung memang bukan hal sulit.
Mereka tidak menetapkan standar khusus untuk bergabung. Hanya saja, untuk memata-matai mereka sangatlah sulit. Desas-desus mengatakan jika pernah ada beberapa mata-mata dari BIN yang meregang nyawa di tangan kelompok itu.
Dibunuh dengan keji, dan mayatnya dibuang di sembarang tempat. Satu ciri khas yang membedakan korban pembunuhan Black Alpha dan yang lainnya adalah, kondisi tubuh korban yang tidak utuh lagi. Mereka mengambil beberapa organ penting untuk diperjualbelikan.
Nah jika anggota BIN saja mereka lenyapkan dengan mudah, anggota kelompok kriminal lain sudah pasti dibantai beserta kelompoknya langsung. Sangat berani dan kejam, bukan?
"Lalu, apa paman memiliki rencana lain?" Arthur tersenyum meremehkan. Bukan Arthur Verano namanya jika tidak kurang ajar.
Joe tampak berpikir untuk beberapa saat. Tidak! Dia tidak akan membiarkan putra satu-satunya dan Arthur yang sudah dia anggap anak sendiri, melakukan hal menantang maut seperti itu.
Meski Arthur pintar, tapi bukan berarti semua akan berjalan dengan lancar. Bisa saja terjadi kesalahan, lalu berakhir dibunuh. Jika hal itu sampai terjadi, keinginannya untuk balas dendam akan berakhir sia-sia. Dan lagi ....
"Keberadaanmu masih harus dirahasiakan, Arthur."
Benar. Keberadaan Arthur tidak sepantasnya diketahui oleh Black Alpha. Jika mereka tahu anak ini masih hidup, bisa berbeda lagi urusannya. Hidup Arthur tidak akan setenang seperti sekarang. Bisa saja dia hidup dalam pelarian tanpa akhir.
"Begini saja." Darren menginterupsi. Dia bangkit dan menatap beberapa anggota yang mengelilingi mereka.
Semua anggota yang ada di sana menatap Darren dengan was-was. Sama halnya dengan Arthur, isi kepala Darren pun sulit untuk ditebak dan tidak terduga.
"Kita suruh saja dua dari mereka untuk masuk ke kelompok itu," ucapnya tanpa beban. Dia menunjuk dua orang pria yang tadi datang paling terlambat.
Kedua pria itu seketika menggelengkan kepala dengan cepat. Wajahnya mendadak pucat. Khawatir sang ketua kelompok akan menyetujui usulnya itu.
Joe melotot ke arah Darren. Tatapan itu seolah berkata, 'kau gila?!'. Dan sukses membuat nyali Darren ciut seketika.
"Kita awasi saja Daryo terlebih dahulu. Jika dia membunuh Mira, maka dia sendiri yang harus memasuki Black Alpha dan menjadi mata-mata untuk kita." Joe Orlando mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyum. Membuat beberapa anggotanya yang lain bernapas lega.
Satu pun dari mereka tidak ada yang mau masuk ke sana. Meski gajinya besar, tapi jika nyawa taruhannya lebih baik mundur teratur saja. Joe lebih memilih untuk mengorbankan orang dari luar anggota Domino, dengan tujuan untuk melindungi kelompoknya sendiri. Dia tidak mau gegabah dalam hal ini.
"Jika kau ingin memata-matai sebuah kelompok, biarkan orang luar yang melakukannya. Jangan sekali-kali menyuruh anggotamu untuk melakukannya." Kalimat yang pernah diucapkan oleh ayah Arthur padanya beberapa tahun silam, masih dia ingat dengan jelas.
Memang berbahaya jika Joe meminta satu atau dua dari anggotanya untuk menjadi mata-mata di Black Alpha. Bukan karena apa, tapi kemungkinan melakukan pengkhianatan sangatlah besar.
Hal itu lebih berbahaya karena selain mengikuti aktivitas musuh, dia juga tahu gerak-gerik kelompoknya sendiri. Oleh karena alasan itu, memperkerjakan orang lain lebih aman karena dia tidak mengikuti aktivitas kelompok.
Perbincangan berlanjut pada bahasan mengenai rencana-rencana lainnya. Pun mengenai rencana cadangan jika saja ada yang mengacau lagi. Malam yang panjang bagi Darren yang sudah terlihat semakin bosan.