webnovel

01: Hesa's Ordinary Life (a)

Indonesia memiliki puluhan Universitas keren dan bergengsi. Mereka tersebar dari Sabang sampai Merauke dan menjadi pusat edukasi yang diperebutkan puluhan ribu jiwa ketika ada seleksi ujian masuk. Di kota Em, tempat Desta Aaron Mahesa tinggal, terdapat beberapa universitas bergengsi. Sesuai dengan nama kotanya yang juga menyandang sebutan 'kota pelajar' lah ya. Salah satu Universitas itu adalah Universitas B.

Hesa merupakan mahasiswa semester 5 di Universitas ini. Tahu kan semester 5 itu semester tersibuk tapi juga semester termales untuk seorang mahasiswa. Butuh yang namanya motivasi lebih untuk sekedar berangkat saja, tumpukan tugas tak berotak dengan deadline mepet dan praktikum-praktikum bikin mules, membuat mereka ogah-ogahan. Aka, mereka akan jadi sering mengantuk di dalam kelas.

Pemuda berambut ikal ini pun, saat ini tengah mengalami kebosanan tak tertepi. Bapak dosen terhormat yang tengah mengampu materi percabangan dari mata kuliah inti ini sedari tadi menggurui papan tulis. Jadi beliau erek erek erek, nulis di white board sambil ngomong sendiri, terus tiba-tiba dihapus sebelum ditindih dengan tulisan lain. Begituuu terus.

Bapaknya tak menoleh barang sekali pun ke belakang. Apalagi sampai mempertanyakan kondisi mahasiswanya yang diambang ngerti nggak ngerti, pokoknya hadir aja kagak TA—titip absen. Mungkin Bapak bergelar professor ini diam-diam pemalu makanya yang dikasih kuliah si papan bukan mahasiswa.

Memainkan pulpen di tangan, Hesa melihat ke luar jendela. Dia sudah sepet kalau melihat ke papan dengan tulisan super lembut itu. Nanti sebelum dihapus, dia akan secepat kilat membaca kontennya. Untuk itulah sekarang, mengalihkan perhatian, Hesa mengamati pohon bergoyang-goyang di luar sana.

Ini bulan Oktober pertengahan, hari selasa. Geluduk sudah bersahutan dari tadi, angin-angin juga tampak berlomba-lomba menghempas barang satu sama lain. Bau-baunya habis ini hujan. Mmmh ... pikir Hesa berkelana. Kalau hujan, makanan apa yang enak disantap? Haruskah dia beli makan malam dulu sebelum pulang ke rumah? Kayaknya seru kalau dia beli bak—

Krucuuuuk. Hesa terdiam. Dia melirik perutnya yang rata itu, mencerna apa yang dia dengar sebelum cepat dia menoleh ke samping. Teman di sebelah dia duduk terkekeh melihat Hesa, orang itu berbisik, "rak popo Hes. Aku yo luwe (nggak apa-apa Hes. Aku ya lapar,"

Hesa mendengus mendengar kalimat itu. Dia mengibaskan tangannya sok cool dan mengalihkan pandang dengan cueknya. Dari luar dia tampak tak peduli atas apa yang terjadi, padahal dalam hati dia menjerit: Coooooook. Isiiiiiiiin. (C*k, Maluuuuuuu).

Untung saja, sebelum kemaluan Hesa makin membesar, suara nyaring terdengar; TELOLET TELOLET. Itu bel, bukan 'om telolet om' dan bel tersebut berbunyi dua kali. Apa maknanya? Waktu perkuliahan kurang sepuluh menit. Kasak-kusuk terdengar makin riuh begitu bel berbunyi. Hesa melirik, dia bisa melihat teman-temannya mulai mengambil tas dan menyicil untuk memasukkan barang-barang.

Dalam diam Hesa menaikkan dua alisnya. Dia melihat kawannya ini lucu sekali. Kok bisa gitu loh, melakukan hal gamblang yang menunjukkan protes terselubung: pak sudahan pak. Kita mau baliiiiiik.

Menggelengkan kepala, Hesa meraih tas kecilnya yang ia jejalkan ke dalam laci meja. Ia tarik selembar folio dan mulai membubuhkan nama di sana. Setelah kelar, si pemilik hidung mancung itu kemudian berdiam diri. Bukan. lebih tepatnya ia memfokuskan diri untuk membaca tulisan lembut selembut semut pak dosen. Cepat maniknya bergerak, dari atas ke bawah, lalu kanan kiri, lalala.

Tepat saat Hesa selesai membaca, Pak Dosen botak itu berkata lantang, "yak. Kita kuis sekarang. Bentar saja, singkat."

Satu kelas langsung terdiam.

Huh? Gimana?

Krik krik krik.

Mahasiswa dan mahasiswi di sana loading berjamaah, mencerna ketiba-tibaan ini. Beberapa gosok-gosok telinga, takut salah dengar. Ada juga yang memicingkan mata, mengamati si bapak seperti mengamati hal ghoib. Di saat semua lagi pasang tampang absrud, Hesa dengan santai menaruh polpennya. Dia sudah menuliskan angka di selembar folio itu, halaman 1 dengan nomor 1 berikutnya 2, seterusnya sampai 4.

"Cuma 4 nomer dan penjelasan-penjelasan singkat. Sekarang siapkan kertas!"

Serempak, mendengar suara lantang itu, satu kelas langsung mencicit kaget, "hieeeeeee???" dan bam! Seperti dijatuhi bom, kelas menjadi riuh redam. Banyak dari mereka mengeluarkan suara-suara keberatan.

Sayang, protes mereka tak bermakna. Si Bapak tambun dengan perut buncit itu tak peduli kelabakan yang terjadi pada mahasiswanya. Beliau bahkan sudah balik badan dan bergerak ke ujung white boar sebelum sreeeeet menghapus tulisan di sana.

"GYAAAA! BELUM DI FOTO PAAAAK!" banyak jeritan tumpang tindih. Sekali lagi, diabaikan oleh pak dosen. Setelah, papan itu bersih, dengan satu tangan di pinggang, ia memposisikan diri di tengah dan berseru, "soal pertama."

"Paaakkkk!" jeritan mahasiswa jelata terdengar.

"Sebut dan jelaskan—"

Begitu awalan perintah dari 4 soal kuis disuarakan, suara gubrak gubrak srak srek terdengar dari sana-sini. Hesa bisa melihat dengan jelas kawan-kawannya ini buru-buru menarik kertas, minta sana-sini bagi yang tak punya, pinjem polpen dan tetek bengek yang ada; mereka mempersiapkan kuis. Baik hatinya, si bapak menunggu sebagian dari kelas siap baru yak!

Kuis dadakan alias mencongak kampus style, dimulai.

Tik tok tik tok.

TELOLET TELOLET TELOLET.

"Yang paling belakang berdiri, ambil kerjaan temannya satu baris ke depan, kumpulkan ke sini," komando diberikan. Bapak paruh baya itu sudah kembali duduk dibalik meja dosen. Dia menunggu manis mahasiswanya bertindak.

Jeritan tertahan auto memenuhi ruangan. Banyak yang sampai tarik-tarikan kertas dengan muka nggak santai karena belum kelar mengisi. Ada yang 'yo da lah, pasrah aja'. Sebagian menyerahkan kertas sambil merapal doa, 'Tuhan ... editkan jawabanku menjadi yang paling benar.'

Hesa? Woa. Dia mah menyerahkan jawabannya dengan santuy dan langsung berdiri. Sudah menjadi tradisi kalau sudah kelar ya sudah, keluar kelas gas saja. Yoi, Hesa sedang melakukan itu, menggunakan tindak tanduk sopan, tentu saja. Dia meminta izin dan tersenyum sambil menunjuk pintu dengan ibu jari ketika berada di depan Pak Dosen.

Ketika izin turun dari pakdos … woh ya, Hesa langsung caw kagak pakai lama. Dia buru-buru keluar dari kelas dan cling! menghilang.

Bukan sih, dia terbang ke warung kecil di parkiran jurusan sebelah. Perutnya lapar, dia mau makan. Satu hal lagi, dia menghindari kerumunan orang-orang yang bertanya 'eh tadi bener gini nggak sih? Nomor ini gimana jawabannya?' atau yang semacam itu. Ya maaf, Hesa penganut paham 'yang berlalu biarlah berlalu'.

***

"Hes. Ada duit nggak?"

Hesa yang lagi asyik menyantap ketoprak bungkus auto menoleh ke sumber suara. Dia mengerutkan kening. Matanya naik turun menginspeksi manusia tak tahu malu yang datang tak diundang tiba-tiba minta duit aja, itu.

Bak paham jika pemilik rema hitam itu memberikan tanya 'iyuuuh. Duit buat apa?' pria berdada bidang yang lebih muda itu menghela napas dan duduk di sisi Hesa. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil mengaku, "dompetku emboh nang ndi. Ilang. Ceblok nang embong koyoke (dompetku nggak tahu dimana. Hilang. Kayaknya sih jatuh di jalan)," tawa he he meluncur dari bibir manusia itu sebelum melanjutkan, "terus saiki aku ewul heb (terus sekarang aku laper bro).."

Helaan napas dibuang Hesa, dia tampak seperti keberatan, tapi akhirnya dia buka dompet dan memberikan satu lembar uang berwarna biru ke arah pemuda di sisinya. "Jangan beli yang pedes-pedes. Perutmu nggak kuat," katanya sambil memotong telor godok di atas ajang (piring). Mukanya tampak bodoh amat, tapi dari kalimatnya, dia memperhatikan pemilik rambut cepak itu.

Andre tertawa mendengar pengingat temannya itu. Dia menyambar uang dan buru-buru pergi entah kemana buat beli makan. Well, di kampus tidak seperti di sekolah. Kantin dimana-mana, pos penjaga parkir saja bisa disulap menjadi warung. Di sisi kiri Hesa saja, di depan himpunan jurusannya, ada warkop kecil-kecilan. Yang jualan ya manusia penghuni himpunan, cuma yang dijual barang mentah—maksudnya mi—dan kopi sasetan. Oh mereka menyediakan gula dan air panas bagi yang mau, tapi harganya naik dua ribu. Intinya mah, banyak sekali pilihan makanan dan mau makan dimana kalau sudah kuliah, sekian.

Sedang asyik-asyiknya makan, tiba-tiba Hesa mendengar suara cewek jejeritan. Berikutnya dia mendengar kasak-kusuk di sana sini. Karena Hesa merasa itu tak ada hubungannya dengannya, dia tak acuh saja. Dia lebih memfokuskan diri dengan minuman soda di botol dan ketoprak di depannya.

Sampai setidaknya seseorang mengetuk meja tempatnya duduk. Hesa perlahan mendongak.

Dia melihat seseorang yang tak ingin dia jumpai sepanjang sejarah ada di depannya. Seorang pemuda berambut coklat cerah, berhidung mancung dan memiliki tahi lalat di dagu berdiri dengan satu tangan bertumpu di meja. "Halo Mahesa …," sapa si pendatang dengan nada super ramah. "Bisa ikut gua sekarang?" tanya orang itu sambil merekahkan senyum—senyum yang seketika membuat para wanita di sekeliling mereka jejeritan.

Jeritan yang tak main-main bung, rasanya telinga Hesa auto cumpleng (pekak).

Ah, sial. Hesa benar-benar tak suka orang ini.

Melanjutkan makan dan terang-terangan mengunyah lambat-lambat di depan tamu tak diundang ini, Hesa bertanya, "Nggak lihat saya lagi makan, mas?" dari intonasi jelas dia memberi tahu jika dia tak akan mengikuti alur permainan lelaki itu, apa pun jabatan yang dia punya. Apalagi dia cuma tahu orang ini siapa.

Tolong digaris bawahi, cuma tahu. Bukan kenal.

[]

Next chapter