webnovel

Nona Muda dari Istana

Pagi tiba, aku menemukan seorang pelayan berlutut di depan tempat tidurku. Ia tidak tampak seperti pelayan-pelayan sebelumnya.

"Siapa yang mengirimmu?"

"Putra Mahkota Nona" jawabnya dengan sangat gemetar.

Wanita ini terlihat lemah. Lebih lemah dari Feng Er. Ia tak berani menatap wajahku sama sekali.

"Apa tugas yang ia berikan padamu?"

"Nona, putra mahkota meminta saya menjadi pelayan di sini. Mohon Nonan menerima saya?"

Menerimanya? Apa aku terlihat memiliki pilihan lain? Aku melihat ke sisi lain dari kamarku. Huo dengan tenang duduk di kursi dengan secangkir the di meja.

"Aku sudah memperngatkannya, jika ia berniat membunuh Nona, maka aku akan menjadi orang pertama yang menghabisi nyawanya." Kata Huo dengan kejam. Itu membuat wanita ini bersimpuh dan semakin ketakutan.

"Hamba tidak berani Jendral. Hamba hanya pelayan biasa. Tidak memiliki kemampuan seperti itu. Mohon Nona Muda Jendra memberi belas kasihan. Hamba Tan Ren akan mengabdi dengan segenap nyawa hamba."

Huo tidak menjawab. Jendarl itu memang sangat dingin sampai-sampai orang mengiranya sebagai orang yang tidak memiliki perasaan. Bahkan kepada pelayan lemah seperti Tan, ia pun memperlakukannya seperti seorang kriminal.

"Baiklah, Kau boleh bangun. Lakukan tugasmu dengan baik. Aku tidak akan membunuhmu."

Tan segera bangkit dan memberikan homat tiga kali sambil mengucapkan terimakasih. Setelah itu ia pergi dan melakukan tugasnya.

"Beberapa penjaga pintu sudah ditugaskan oleh Putra Mahkota. Kurasa mereka hanya sekelompok tikus lemah yang bahkan tidak tahu cara membunuh se-ekor semut."

"Begitukah?" aku bangkit dari tempat tidur. Aku mengambil sisir dan merapikan rambutku yang terurai sampai ke punggung. Aku tak mengikataknya, karena tak meliliki sesuatu untuk menahan rambutku. Aku memutuskannya membiarakannya tergerai.

"Bahkan pelayan yang putra mahkota kirimpun terlihat tidak cekatan sama sekali. Sepertinya, mereka baru saja direkrut dan belum mendapat pelatihan apapun." gerutu Huo lagi.

Aku melangkah menuju kamar mandai untuk mebersihkan diri. Setelah selesai dan rapi aku kemali ke kamar. Dulu, setiap pagi semua hal sudah tersedia. Kini aku harus menyiapkannya sendiri.

"Berapa pelayan yang putra mahkota kirim?" tanyaku.

"Hanya Tan Ren seorang. Sisanya adalah dua petugas kebersiahan."

"Itu sudah cukup." Kataku. "Aku tak membutuhkan banyak pelayan saat ini."

Huo menunjukkan wajah masamnya. Ia terlihat tidak setuju dengan pernyataanku mengenai pelayan.

"Soal penyerangan semalam. AKu ingin tahu, apakah kau membunuh mereka semua?" tanyaku mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih penting.

"Tidak. Aku menyekap mereka di ruang belajar"

"Bagus, ayo kita temui mereka."

Huo berjalan mendahuluiku. Selama melewati beberpa lorong aku merasakan istana ini benar-benar sepi saat ini. Biasanya, aku masih akan berpapasan dengan pelayan atau pengawal. Kali ini, taka da satu pun yang aku temui.

"Silahkan Nona" Huo membuka pintu.

Di dalam ruangan aku melihat beberapa orang yang matanya di tutup. Satu wanita berpakaian pelayan. Kurasa ia adalah yang mencoba menyerangku semalam. Dua lainnya adalah pria.

Ketiga orang ini dalam penjagaan beberpa orang dari Huo.

"Jendral, mereka tidak mengatakan apapun sejak semalam." Kata salah satu anak buah Huo.

"Biarkan saja. Nona yang akan mengatasi semua ini." Kata Huo. "Buka mata mereka."

Para pengawal segera membuka kain penutup yang menutp mata mereka. Mereka melihat ke arahku. Dari mata mereka terpancar keberanian.

"Siapa kalian? Apa kita saling mengenal?"

salah satu di antara mereka tertawa. "Nona Muda Yang. Kami adalah musuhmu! Apa gunanya bertanya kepada kami.?"

Benar mereka adalah musuhku. Berbicara pada mereka serasa membuang-buang waktu. Mereka terlihat seperti seorang yang sudah terlatih dan tidak kenal takut sama sekali. Aku mendekat kea rah wanita yag berpakaian pelayan.

"Kau yang mencoba membunuhku di kamar bukan? Siapa namamu?"

Wanita itu menjawab dengan angkuh. "Benar itu aku! Aku adalah Jung Gong. AKu muak dengan tingkah laku putri sepertimu. Kau membunuh banyak orang tak bersalah. Dan memaksa Kaisar Negri Gingseng menyerahkan beberpa upeti kepadamu. Kau memang wanita brengsek yang pantas mati!"

PaKKK!

Huo menampar mulut wanita itu.

"Jendral, taka da gunanay menampar mulutnya. Potong saja lidahnya!" kataku datar.

Huo segera memberi kode pada anak buahnya untuk mengambil senjata dan melakukan perintahku.

Nona Gong terlihat sangat panik. Ia berusaha melawan dan melepaskan ikatan di tangan serta kaki. Semua itu sia-sia. Saat seorag pengawal meraih kepalanya. Seorang iannya membuka mulut dan menarik lidahnya.

"Tunggu. Aku masih ingin bicara pada Nona Gong." Kataku. Dua anak buah Jendral segera berhenti namum tetap memegang kepala Nona Gong.

"Apa gunanya hidup tanpa lidah? Katakan padaku siapa yang menyuruhmu?"

Wanita itu membungkam mulutnya erat-erat. Aku menunggunya dengan tenang. Setalh limamenit taka da jawaban. Aku meminta anak buah Huo melaksanakan tugasnya.

"Lakukan perlahan. Tolong pastikan ia tidak bisa bicara lagi! Setalh lidahnya habis, potong juga tidap bagian dari tubuhnya. Lakukan perlahan, berikan pada anjing istana. Pastikan ia mati perlahan" kataku datar.

Gong bertriak dan menangis. "Tuan Putri mohon ampuni aku." Katanya. "Aku memiliki seorang putri. Suamiku sudah meninggal. Dia masih berumus tiga tahun. Ku mohon, kau boleh menghukumku asalkan. Aku tetap hidup untuk putriku."

Mendengar rengekannya. Aku meminta dua orang itu berhenti.

"Temukan putrinya dan bawa kemari." Perintahku.

Dengan sigap dua anak buah Huo berlari keluar. Sementara Gong mengatur nafas dan memohon terus agar aku tak menyakiti putrinya.

"Putri, aku hanya orang biasa. Mohon ampuni aku. Jika aku tak melakuakn perintah. Maka putriku akan dibunuh." Kata Gong memelas.

"Cukup!" bentak seroang yang lain pada Gong.

"Mati demi negara, adalah suatu kebanggaan hai Wanita!" bentak pria di sebalahnya. "Berhenti merengek. Kita di sini demi masa depan Negri ini. Dengan wanita sepertinya di sini. Kita akan mati cepat atau lambat!'

Aku mengamati pria yang bicara penuh kebencian.

"Jendral, siapa pria ini?" tanyaku pada Huo.

"Aku adalah Kuan Lun. Aku adalah Jendral yang Kau berhentikan dua tahun lalu. Kau memecatku karena aku gagal melaksanakan perintahmu merampas harta keluarga Xio, bangsawan dari negri sebrang yang melarikan diri dan memohon suaka pada kerajaan ini. Apa kau lupa?"

Aku mencoba mengingat kembali. Bangsawan Xio?

"Ah, aku ingat sekarang. Bangsawan Xio telah dengan lancang masuk ke daerah perbatasan. Mereka masuk tanpa izin dan mengancam pasukan wanita yang bertugas di bawah kepemimpinanku. Saat itu, aku meminta seorang Jendral untuk memburu bangsawan korup Xio yang memaksa masuk di salah satu istana milik keluarga kerajaan. Sayangnya, salah satu Jendral yang aku utus memiliki belas kasihan kepada bangsawan korup ini.

Ia membantu bangsawan ini untuk menyembunyikan harta dan memberikan bangsawan Xio tumpangan. Bukah hanya sampai di situ, aku dengar Jendral telah membuat kesepakatan. Jika jendral tersebut berhasil membuat bangsawan Xio mendapat kedudukan di istana, maka ia akan mendapat setengah dari harta bangsawan Xio.

Kalau aku tidak salah, jabatan yang di incar bangsawan Xio adalah kepala pasukan elite kerajaan. Aku tak suka mendegar itu. Jadi aku memutuskan memecat Jendral itu. Apa itu kau?"

Mata pria itu telihat marah. "Dasar wanita tidak tahu diri!"

ตอนถัดไป