webnovel

5

Sehabis memberhentikan mobilnya di dekat sebuah bangunan yang dipenuhi oleh lahan kosong konstruksi, Naru menyulut rokoknya setelah menurunkan kaca mobilnya sedikit, menunggu kurang lebih beberapa menit seseorang menghampirinya, mengetuk kaca mobilnya dengan wajah kecanduan penuh siksaan.

Naru menengok ke samping, dia pernah ditipu para cecunguk ini, membawa segerombolan dan hampir merampok barang haram darinya, kali ini Naru memastikan semua aman, atau dia akan membunuh mereka satu per satu kalau memang dibutuhkan, ia sudah siap senjata api di balik hoodie hitamnya.

"Bisakah kau berikan aku ganja?" sesaat setelah melemparkan serbuk kokaina, pecandu itu berbicara.

"Jika kau tidak memesan terlebih dahulu, kau tidak akan mendapatkannya, aku paling tidak suka dengan transaksi dadakan," Naru menyesap rokoknya, lalu mengembuskan ke udara. "Jadi beli atau tidak?" orang di depannya hanya memandangi barang-barang itu, dengan wajah pucat, juga lingkaran di bawah matanya yang teramat jelas menghitam. "Kau sepertinya sudah tidak berminat dengan kokaina, mungkin lain kali saja kita bisa bertransaksi, ada banyak yang harus aku lakukan malam ini." Naru merebut barang haram itu dari orang di depannya, kemudian kembali masuk ke dalam mobilnya.

Berselang beberapa detik akan menutup pintu, orang itu mencegah, "Tunggu sebentar, aku tidak bermaksud membatalkan," katanya, dengan nada sedih, padahal dia butuh obat secepatnya, tubuhnya tidak dapat berkompromi dengan dirinya lagi. "Ini," pemuda itu menyerahkan amplop putih berisi uang, Naru mengamati ke dalam, menghitung dengan cepat. "Tidak kurang?" tanyanya, secara diam-diam berdoa, bahwa laki-laki di depannya tidak mencoba bersiasat.

"Terima kasih. Dan lain kali, sebaiknya kau menghubungi lebih cepat, apa yang paling kau butuhkan."

Naru kembali menutup pintu, mengendarai mobil dengan kecepatan tak terlalu lambat atau tak terlalu cepat, sebaliknya ketika dia sampai di lampu merah setelah keluar jalan tadi, Naru memutuskan untuk singgah dalam waktu singkat menuju apartemen seseorang yang membuatnya merasa begitu hancur lebur dalam seharian ini. Membelok, dengan debaran hati yang tak pernah masuk akal.

Ketika mobilnya sudah berhenti, Naru melongok sebentar usai menurunkan kaca mobilnya, lalu mendaratkan dagunya pada setir mobilnya, selesai melirik keluar tadi, tidak ada seseorang atau mungkin petugas berpatroli—karena dia berhenti tepat pada rambu-rambu larangan untuk berhenti—kini Naru sedikit lebih tenang dalam mengawasi.

Tugasnya malam ini, hanya sekadar memandangi apartemen lima susun di depannya, tempat tinggal Hinata Hyuuga. Ia mungkin memiliki keberanian untuk mampir ke sana, tapi Naru tidak siap mendapatkan kemarahan dari gadis itu. Kalau sampai melayangkan tendangan mematikan yang pernah Naruto lihat secara langsung, mungkin dia sekarat sebelum menyadari bahwa baru saja dia membuat suatu kesalahan besar yang tak bisa dimaafkan.

Dengan rasa lelah yang membuatnya menyandarkan punggungnya dengan nyaman, berselang beberapa menit dia mendengar seseorang berteriak dengan pilu, "Hanabi, Hanabi, tidak boleh, kau tidak boleh pergi," Naru membuka kedua matanya kembali, terkejut bukan main, karena itu suara Hinata.

Mengamati dari dalam mobilnya, Naru melihat Hinata sedang berlari mengejar seorang gadis berambut panjang cokelat. Gadis itu nyaris mirip dengan Hinata—aha, Naru ingat, kalau Hinata memiliki adik kembar. "Kau tidak boleh melakukan hal itu! Kau tidak boleh pergi ke sana! Biarkan aku saja yang bekerja!"

"Aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku tidak mau hanya duduk diam seolah menjadi penikmat hasil kerjamu. Biarkan aku pergi. Kalau memang itu bisa melunasi utang-utang kita pada mereka, dan kumohon, jagalah ibu demi aku."

"Tidak boleh! Tidak boleh! Aku mohon—" gadis berambut cokelat itu berlari dengan membawa tas kecil, sementara Hinata terduduk di pinggir jalan seolah memohon pada siapa pun untuk mencegah adiknya pergi, tetapi kenyataannya ini tengah malam, tidak ada satu pun orang di sekitarnya kecuali kesunyiaan yang tak akan pernah membantunya mendapatkan apa yang diinginkannya.

Hinata duduk melipat kakinya kemudian membungkuk, menangis tersedu-sedu dan itu terlihat amat menyakitkan bagi Naruto. Menurutnya, apa yang ditunjukkan oleh Hinata sekarang sebagai sikap seorang kakak, sekeras dan semenakutkannya gadis itu sebagai seorang atlet yang bahkan mampu membunuh lawan-lawannya jika mampu, Hinata tetap sebagai sosok perempuan yang peduli dan memiliki hati lembut pada adik kembarnya.

Naru menunduk, ia semakin menginginkan Hinata dengan sudut pandang yang paling baru—sebuah alasan yang begitu mencandu, persis yang dapat diingat olehnya, perkataan sang kakek yang membekas, Hinata gadis sempurna untuk dapat memasuki dunianya, atau mungkin yang paling pantas. Obsesinya barangkali semakin merajalela, kecintaannya pada gadis itu tak peduli sebagai dosa. Hinata akan menjadi miliknya.

Namun, sesaat berpikir untuk keluar dari mobilnya, Naru mengerti satu hal, Hinata tidak pernah mengharapkan kehadirannya di sana. Maka pilihannya, dia tetap berada di dalam mobilnya dengan perasaan kalut, hatinya hancur, ketakutan-ketakutan akan suara tangis pilu gadis itu sebenarnya adalah racun.

"Sialan, sialan, kumohon berhenti!" Naru membenturkan kepalanya pada setir mobil, tapi selama dia tidak pergi ke sana, atau Hinata kembali ke rumahnya, demi Tuhan, dirinya sendiri tidak akan pernah bisa tenang.

Berselang beberapa detik yang menegangkan seolah membakar hidup-hidup dirinya. Naruto pada akhirnya keluar dari mobilnya dengan rasa tak peduli setan. Ia ingin menarik gadis itu ke dalam pelukannya, setidaknya begitu, memberikan ketenangan, memberitahu gadis itu, bahwa dia siap membantu dan menempatkan gadis itu tidak lagi pada kesulitan.

"Hinata!" Hinata sendiri terkejut, ketika teman sekelasnya menarik lengannya untuk membantunya berdiri, tak dapat menolak, segala kepiluan menyesatkan dirinya lebih dalam, ia justru membalas pelukan teman sekelasnya dengan tangisan yang lebih keras.

Naru merasa begitu tenang mendekap tubuh gadis itu. Memastikan Hinata berada dalam pelukannya walau dia merasa diserang oleh getaran-getaran membingungkan. Namun bersumpah, jauh lebih nikmat daripada menikmati obat-obatan dan minuman. Mengetahui gadis itu membalas pelukannya dan menerima kepeduliannya, seakan terasa seperti suntikan morfin yang membuatnya tenang sejenak.

"Aku akan mengantarmu menyusul adikmu, kita bisa pergi sekarang jika kau mau."

Hinata mendongak, menyapu lelehan air mata yang terus melewati pipinya. Ia bahkan tidak mengatakan apa pun, seolah tahu Naruto berada di sana sejak tadi, Hinata langsung pergi menuju ke mobil pemuda itu masih tanpa mengatakan sedikit pun basa-basi.

Dalam perjalanan, Hinata berkata, "Mungkin dia pergi ke Snake Club yang ada di distrik merah."

Naru hampir mengetahui setiap kelab malam di sana. Dari bertajuk telanjang, kelab malam berkelas, atau hanya kelab malam biasa yang bisa didatangi siapa pun sekadar untuk minum-minum saja. Ia tentu tahu Snake Club itu berada di mana. Ia pernah menghajar—ataupun Hinata menghajar orang-orang di sana, sewaktu hari hujan pada pertemuan pertama mereka, sehingga menjadikan Naruto berpikir, apakah ini ada hubungannya dengan masalah waktu itu?

Semua orang di sana pendendam, tak terkecuali komplotannya sendiri pun sama.

"Mungkinkah ada kaitannya pada waktu itu?"

"Tidak ada. Ini kasus utang-piutang, bukan karena masalah pribadi."

Naru melirik sebentar sebelum dia membelokkan mobilnya untuk putar balik. "Berapa?" sementara Hinata membuang pandangannya, ia tidak mau laki-laki itu mencampuri urusannya, karena menurutnya, hanya sekali ini saja dia memanfaatkan kebaikan Naruto—atau mungkin yang dilakukan pemuda itu sebenarnya hanya mencari untung?

Sampai di depan Snake Club, Hinata langsung turun dari mobil, dan mendekati satu orang yang sepertinya gadis itu kenal baik. "Adikku kemari, 'kan?"

"Kalau memang adikmu ke sini, itu karena dia mau."

"Aku ingin berbicara dengannya."

"Kau dilarang masuk," Hinata mendapatkan dorongan kasar, sampai akhirnya terjatuh, Naru tentu tidak bisa tinggal diam. Ia mendekati lelaki besar itu tengah tertawa menantang ke arah mereka berdua. Menurutnya, hanya dua anak kecil yang tak terlalu penting. "Kau juga tidak boleh masuk!"

"Aku harap bisa merobek mulutmu," ujar Naruto geram, tapi laki-laki itu tak terpengaruh.

Hinata memandangi sekeliling, ia terlalu kelam untuk malam ini, kalut, sedih, kegelapan tak dapat dicegah untuk merasuki dirinya yang sedikit demi sedikit tak lagi waras. Padahal dia meminta secara baik-baik, hanya butuh waktu berbicara dengan Hanabi. Kalau tidak diberikan izin, mau bagaimana lagi, menghajar sampai membunuh orang-orang di sana mungkin satu-satunya cara agar dia mampu menarik Hanabi dari tempat tak aman itu.

Mengetahui suasana sepi membuatnya memikirkan rencana. Dengan gerakan cepat setelah menarik jas laki-laki besar itu, Hinata menggunakan bantingan punggung, sedangkan gerakannya memang tak terduga—seseorang tidak akan percaya bahwa tubuh mungil nan ramping gadis itu, mampu menjungkirbalikkan tubuh lelaki yang hampir memiliki berat-badan seratus kilo gram.

Di tempatnya, Naru tertegun, sebelum dia berhasil mencegah Hinata dalam bersikap berlebihan, tahu-tahu tangan gadis itu telah mencekik hingga membuat laki-laki besar itu... mati.

ตอนถัดไป