webnovel

Bab 31

Rasya baru saja keluar dari sebuah mini market bersama Hezky. Mereka terlihat tertawa kecil sambil bercanda dengan menjinjing kantong belanjaan mereka.

Perut Rasya sudah terlihat membuncit, dia terlihat cantik dengan keadaan hamil.

Mereka berjalan di trotoar dengan saling bercanda dan tertawa.

"Berhenti bercanda, Rasya. Ayo kita harus segera sampai di flat.

Hezky terlihat menerima telpon dan berjalan sedikit ke jalanan. Hingga Rasya melihat motor melaju dengan kencang ke arah Hezky.

"Hez awas,,"

Brak

"Rasya.....!!!!"

Rasya terlihat terjatuh karena terserempet, ia meringis memegang perutnya. Darah mengalir dengan begitu derasnya di bagian selangkangannya.

"Rasya, ya tuhan! Help,,,, Help me... please!" teriaknya seraya menahan kepala Rasya dengan lengannya. "Sya bertahanlah," ia sudah menangis melihat kondisi sahabatnya yang meringis kesakitan dan darah yang menggenang banyak sekali di sekitar mereka.

Rasya langsung di larikan ke sebuah rumah sakit. Hezky berdiri di luar ruang emergency dengan sangat gelisah. Ia terus mondar mandir dengan tangisannya yang pecah.

Ia menangis dan bingung harus bagaimana.

Tak lama dokter keluar dari ruangan.

"Keadaannya masih kritis, dan bayinya tidak terselamatkan."

Deg

Hezky mematung di tempatnya. Tangisnya semakin pecah, ia sampai terduduk di kursi tunggu karena syok. Ia begitu merasa bersalah pada Rasya. Karena hanya itulah kenangan Percy yang di miliki Rasya.

Hezky berjalan memasuki ruangan dimana Rasya berada, keadaannya jauh dari kata baik-baik saja. Beberapa alat medis menempel di tubuhnya. Ruangan itu terdengar senyap dan hanya suara detak jantung dari mesin pendeteksi jantung yang bersuara.

Ia berjalan mendekati brangkar dan menggenggam tangan Rasya yang terasa dingin.

"Hez," mendengar suara lemah itu membuat Hezky menengadahkan kepalanya menatap Rasya yang terlihat lesu dan pucat sekali.

"Sya, gue akan panggilkan dokter." Hezky hendak beranjak tetapi Rasya menahannya, membuat Hezky menatapnya dengan kernyitannya.

"Bayi gue?" pertanyaan Rasya berhasil membuat Hezky menangis semakin histeris.

"Sya, bayi loe-"

"Gue tau, dia tidak bisa di selamatkan," gumamnya, air matanya luruh dari sudut matanya.

"Maafin gue, Sya." Isaknya.

"Tidak perlu meminta maaf, Hez. Mungkin ini sudah takdirnya, lihatlah dia sudah menungguku." Ucapan ambigu Rasya yang terus menatap ke langit-langit ruangan membuat Hezky kebingungan.

"Apa maksud loe, Sya?"

"Kalau loe bertemu Percy, katakan padanya kalau gue sudah bahagia. Maka sekarang tinggal dia yang berbahagia tanpa memikirkan gue lagi."

"Sya-,"

"Terima kasih untuk semuanya, Hez." Rasya mengatakannya dengan tatapan kosong ke arah langit-langit kamar.

"Apa maksud loe, Sya?"

Seketika suara detak jantung mulai tak beraturan, tetapi Rasya masih tersenyum menatap langit-langit hingga perlahan matanya mulai tertutup dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya.

"RASYA..!!!"

"Hah,,," Percy terbangun dari tidurnya dengan keringat yang memenuhi seluruh tubuhnya. Ia baru saja memimpikan Rasya dan bayinya,

"Ya tuhan semoga mereka baik-baik saja," gumamnya mengusap wajahnya dengan gusar.

***

Verrel terpaksa datang dan meninggalkan Leonna di rumah sakit, karena Leonnapun terlihat enggan bertemu dengannya.

"Ada apa? Loe membuat gue kaget di telpon?" tanya Verrel sedikit kesal saat sampai di apartement Percy,

"Rasya, Rel." Percy menangis dengan mondar mandir karena gelisah dan khawatir.

"Apa ada kabar tentang Rasya?"

"Tidak, bukan. Gue mimpi, gue baru saja memimpikan dia dan bayi gue pergi ninggalin gue."

"Mereka memang meninggalkan loe kan?" tanya Verrel dengan polos.

"Bukan itu, maksud gue mereka meninggal. Gue mimpi Rasya kecelakaan," ucapnya menatap Verrel dengan sangat kalut. "Gue takut, gue sangat takut terjadi sesuatu pada mereka berdua." Percy kembali mondar mandir dengan sangat gelisah.

"Berhenti bersikap seperti itu, tenanglah."

"Bagaimana bisa gue tenang, Hah? Gue bahkan tidak tau bagaimana keadaan mereka. Mereka istri dan calon anak gue," pekiknya.

"Gue tau, dan nggak seharusnya loe bersikap seperti ini. Tenangkan diri loe ! sikap loe seperti ini tidak akan membuat mereka tiba-tiba datang!" pekik Verrel yang juga tak kalah kalutnya karena baru saja kehilangan bayinya.

Percy yang memahaminya segera duduk di sofa dengan menggusap wajahnya. "Tenangkan diri loe," ucap Verrel seraya duduk di samping Percy.

"Tenangkan diri loe, dan berusaha berpikir positif. Mereka pasti baik-baik saja,"

"Gue tidak bisa tenang sebelum bertemu dengan mereka. Setidaknya mendapatkan kabar tentang mereka."

Verrel hanya bisa menghela nafasnya, ia bahkan tidak bisa tenang saat ini memikirkan Leonna. Percy terlihat menangis dalam diam.

"Sorry, gue meminta loe datang. Padahal loe juga baru dapat musibah," ucapnya.

"Tidak masalah."

Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

***

Daffa tengah duduk di sisi pantai, gemuru ombak mengisi kekosongan hatinya. Angin berhembus menerpa tubuhnya.

Sudah dua minggu ini Rindi memilih menyendiri dan menolak kembali bertemu dengannya. Bahkan Randa terang-terangan mengusirnya. Baru saja mereka jadian dan mulai mendapatkan kebahagiaan itu. Tetapi seketika hancur, dan itu karena ulah wanita jalang yang juga telah menghancurkan Papanya hingga meninggal dunia.

Daffa melempar batu ke lautan sana dengan kesal. Hatinya terasa terhimpit sesuatu yang begitu keras, dia harus bagaimana lagi untuk membuktikan kalau dia mencintai Rindi.

Rindi berhasil merebut hatinya yang kosong dan mati. Hati yang sudah sangat di lukai oleh kenangan kelamnya. Tetapi Rindi mampu menyalakan cahaya di dalam hatinya yang gelap dan tertutup rapat.

Bersama Rindi, dirinya bisa merasakan kebahagiaan yang selama ini hilang dalam dirinya. Bersama Rindi, ia seperti menemukan jalan pulang. Tempat untuk dirinya kembali dan kali ini menetap bukan sekedar singgah.

Tetapi kenapa rasanya sulit sekali untuk dia bersama dengan pujaan hatinya itu. Banyak sekali rintangan yang menghadang mereka berdua.

Daffa menundukkan kepalanya, menyandarkannya pada lututnya yang di tekuk.

"Malam yang begitu dingin," ucap seseorang membuat Daffa menoleh.

Daffa hanya melihatnya sekilas dan kembali menatap ke depan, menatap kosong ombak yang bergulung dan seakan berlari untuk mencapai pantai.

"Loe menangis karena seorang wanita?" tanyanya sedikit kaget. Daffa terlihat mengusap matanya yang basah tanpa ingin menjawab pertanyaan Dave.

"Wanita itu sungguh istimewa, bisa membuat seorang Daffa menangis." Dave tersenyum sinis melihatnya.

"Gue sudah sangat mencintainya,"

"Cinta memang menyengsarakan," gumamnya menghela nafas dan duduk di samping Daffa.

"Wanita jalang itu terus mengganggu hidup gue. Ya tuhan, gue semakin muak padanya."

Dave tak menjawab, ia tau apa yang dulu terjadi pada Daffa.

Tak ada yang membuka suara selain diam membisu menatap ombak yang bergemuruh dan bergulung-gulung menyambar karang dan pasir pantai yang rapuh seperti hati Daffa saat ini.

***

Rindi terlihat berjalan-jalan sendiri di pinggir jalan menuju taman seperti kesukaannya. Ia menekan tombol kursi roda dengan tatapan kosong ke depan.

Sudah dua minggu tidak bertemu Daffa, dan ada rasa sakit sekaligus rindu di dalam hatinya.

Rindi semakin yakin kalau Daffa sudah sepenuhnya menggantikan Percy. Tetapi sayangnya walau sudah berhasil menyisihkan Percy, Rindi tetap merasakan sakit yang teramat sakit karena restu orangtua yang kembali menjadi hambatan mereka berdua.

Sejujurnya Rindi sudah sangat lelah sekali menghadapi hal ini lagi. Sudah cukup Rindi bertahan dan menunggu Percy hingga akhirnya tetap mengecewakan dan dia yang di campakkan. Dan kali ini dia tak ingin terulang lagi dengan Daffa.

Mungkin lebih baik mundur sebelum berjalan terlalu jauh.

"Rindi awas!" Rindi kaget saat kursi rodanya di tarik seseorang dan suara dencitan ban mobil memekakan telinga mereka. "Kamu tidak apa-apa?"

Rindi menoleh dan ternyata dia adalah Percy. "Tidak, aku baik baik-baik saja. Makasih Per,"

"Kamu kenapa? Aku sejak tadi memanggil dan mengklaksonimu, tetapi pikiranmu sepertinya tidak sedang ada di sini."

"Aku baik-baik saja," ucapnya diiringi senyuman kecil ciri khasnya.

"Aku tau kamu," ucap Percy seraya membawa Rindi memasuki area taman. Lalu ia menghentikan gerakannya tepat di samping kursi taman.

Percy duduk di kursi teman tepat di samping Rindi.

"Bagaimana dengan Rasya? Apa kamu sudah mendapatkan kabar tentang dia?" tanya Rindi.

"Belum, aku masih berusaha mencarinya."

"Setauku Rasya jarang memiliki teman. Tetapi bukankah dia sangat dekat dengan sahabatnya itu siapa sih namanya. Hesti eh siapa?"

"Hezky?"

"Nah iya, apa kamu sudah menanyakan padanya?"

"Aku rasanya Rasya pergi bersamanya, karena Hezkypun menghilang bak di telan bumi. Aku mencari ke kampung halamannya juga tidak ada yang tau. Bahkan kedua orangtuanya hanya tau Hezky ada di Jakarta."

"Apa mereka ada di Indonesia?"

"Aku tidak tau karena tidak ada data Rasya atau Hezky pergi keluar Indonesia."

"Coba cari lagi, siapa tau mereka menyamar atau memakai identitas orang lain." Mendengar ucapan Rindi, Percy langsung menoleh padanya.

"Tapi-"

"Itu bisa saja terjadi kan, coba saja kamu lihat CCTV di bandara atau stasion kereta api semoga saja ada CCTV yang bisa merekam Rasya."

Percy terdiam seakan menimbang ucapan Rindi barusan. Ada benarnya juga yang Rindi ucapkan.

"Aku akan melakukannya, semoga bisa menemukan Rasya."

"Yakinlah, kalian pasti bertemu kembali." Rindi tersenyum lebar menatap Percy yang di angguki olehnya.

"Terima kasih," ucap Percy.

"Terima kasih untuk apa, santai saja. Bukankah kita ini sahabat." Percy terkekeh mendengar penuturan Rindi barusan.

"Terima kasih karena memberikan ide yang masih akal, bahkan aku tidak terpikirkan ke sana," ucapnya membuat Rindi terkekeh.

"Sama-sama, tapi tidak gratis yah. Aku belum makan siang soalnya,"

"Oh ada bayarannya ternyata, baiklah akan aku traktir. Kebetulan juga beberapa hari ini belum makan apapun," ucapnya.

"Menyedihkan sekali," ejek Rindi

Keduanya kembali terkekeh tanpa menyadari Daffa memperhatikan mereka dari dalam mobil tak jauh dari sana.

"Kita makan di cafe persimpangan depan yah. Sudah lama tidak makan di sana."

"Oke," ucap Rindi.

Percy memangku tubuh Rindi dan mendudukannya di jok penumpang dan menyimpan kursi rodanya di bagasi mobil. Tak lama ia segera menaiki mobil dan meninggalkan tempat itu.

Daffa mencengkram kuat setir mobilnya dan menginjak gasnya mengikuti mobil itu.

Daffa melihat Percy membawa Rindi ke sebuah cafe dan terlihat memesan beberapa makanan. Daffa masih memperhatikan mereka berdua.

"Kamu terlihat tidak terurus sekali, tidak seperti kamu biasanya," ucap Rindi setelah mereka memesan makanan.

"Aku tidak sempat memikirkan diriku sendiri, aku masih sangat khawatir memikirkan Rasya dan kehamilannya." Mendengar ucapan Percy, ada sedikit rasa cemburu di dalam hatinya. Dulu saat mereka bersama dan harus berpisah, Percy tak sekalut dan sehancur ini. Bahkan badannya terlihat jelas kurusan.

Rasya memang di takdirkan untuknya, dia berhasil mengubah Percy menjadi seperti ini. Rindi tersenyum memikirkan itu.

"Ada apa? Kenapa tersenyum?" tanya Percy kebingungan.

"Tidak, aku hanya senang melihat mata kamu yang penuh cinta walau tertutupi oleh kegelisahaan dan rasa sakit. Kamu begitu mencintainya," ucap Rindi. "Beruntung sekali Rasya,"

"Kamu juga beruntung mendapatkan pria yang mencintai kamu," ucap Percy membuat Rindi tersenyum masam.

"Baiklah kita bahas hal yang lain saja." Rindi tidak ingin Percy mengetahui perihal kisahnya dengan Daffa yang sudah kandas di tengah jalan, bahkan belum sampai pertengahan jalan. Mereka masih berada di garis start tetapi sudah mengakhirinya.

Tak lama pesanan merekapun datang, mereka segera menikmatinya dengan sedikit candaan kecil yang biasa Percy atau Rindi lontarkan saat mereka bersama dulu.

"Rindi,"

Panggilan itu membuat mereka berdua menengok ke arah belakang mereka dimana Daffa berdiri dengan tatapan sendu dan tajamnya.

"Oh Hay Daf, duduklah bergabung dengan kita." Percy mempersilahkannya untuk duduk di samping Rindi.

"Aku sepertinya sudah selesai makan," ucap Rindi hendak beranjak tetapi di tahan Daffa.

"Please, aku ingin berbicara denganmu."

"Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi, Daf."

"Banyak yang perlu di bicarakan." Percy sedikit tak nyaman dalam kondisi seperti ini.

"Sebaiknya kalian berbicara berdua saja, gue balik duluan yah. Bye Rin,"

Percy beranjak dari duduknya dan berjalan melewati Rindi.

Deg

Percy mematung saat Rindi menahan pergelangan tangannya.

Satu tangan Daffa menahan tangan kanan Rindi dan tangan kiri Rindi menahan pergelangan tangan Percy.

Seketika situasi menjadi lebih menegangkan dan canggung.

ตอนถัดไป