Dering ponsel membuat Brian mengalihkan pandangan. Pria itu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Elise menelpon.
"Pembicaraan kita selesai. Kedua bayi kembar itu milik kami." Brian bangkit berdiri Elena menatap Brian lekat dengan pandangan memohon. Airmata sudah menetes sejak penolakan pertama Brian.
"Brian." Sekali lagi Elena memanggil pria itu di sela isak tangisnya. Hati Brian sakit dan teriris melihat pandangan mata Elena dan airmata yang berjatuhan di pipi wanita itu. Namun dia tak ingin memisahkan bayi kembarnya. Dan sesuai kesepakatan bayi yang Elena kandung menjadi miliknya. Entah itu satu bayi ataupun bayi kembar.
Dering ponsel Brian terus saja berbunyi. Dan Brian lebih memilih menjauh dan mengangkat panggilan Elise. Sesekali matanya menatap Elena yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri.
Elena menunduk dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia menginginkan bayinya. Sangat ingin.
Perasaan ingin memiliki ini muncul setelah dia melihat usg bayinya. Elena menyayangi bayinya dan ingin merawat juga membesarkannya.
Tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Elena mengusap airmatanya dan mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Mira menelpon.
Kening Elena mengerut dalam. Tak biasanya Mira menelponnya di siang hari seperti ini. Apa ada hal yang gawat? Seketika hati Elena ketar-ketir. Dia gelisah dan khawatir.
Matanya menatap awas ke dinding. Dan tak sengaja matanya menatap Brian yang masih menelpon tak jauh darinya.
"Hall-"
"Elena," Mira memotong sapaan Elena. Suara wanita itu terdengar aneh. Berbeda dari biasanaya. Sedikit berat dan serak.
"Mira, kau-"
"Elena, kau harus ke rumah sakit sekarang juga!" lagi-lagi Mira memotong ucapan Elena.
Ke rumah sakit sekarang juga? Sontak Elena langsung berdiri. Ada apa ini? Apa ada hal yang serius? Apa sesuatu terjadi pada Diego?
"Ada apa Mira?"
"Diego, di-dia ...." Mira kesulitan melanjutkan ucapannya karena wanita itu menangis diujung sana.
"Ada apa dengannya?!" kepanikan melanda hati dan benak Elena. Wanita itu bahkan sudah berdiri.
"Ka-kau harus segera kemari. Sekarang juga Elena." Ucapan Mira bagaikan suara peluit wasit yang terdengar. Elena langsung berlari begitu saja. Tanpa perduli dengan tatapan Brian yang menatapnya aneh. Dan terkejut saat Elena melewatinya begitu saja.
Elena terus berlari menyusuri lorong. Berlari kencang tak perduli keadaannya yang tengah hamil muda saat ini. Dia bahkan sesekali menabrak orang lain. Yang ada dipikirannya saat ini adalah Diego dan kondisi pria itu.
Gawat! Gawat! Gawat! Elena harus segera ke rumah sakit yang merawat Diego. Rumah sakit yang berbeda dengan rumah sakit yang memeriksakan kandungannya ini. Rumah sakit yang berjarak 800 meter dari tempatnya saat ini.
Tak ada lagi yang Elena pikirkan selain keadaan Diego. Semua pemikirannya kacau. Dia terengah-engah ketika sampai di pinggir jalan. Bergerak gelisah taksi yang lewat. Dan saat ada taksi yang berhenti menurunkan penumpang, Elena dengan sigap naik. Dia berharap bisa sampai disana secepatnya.
Berbeda dengan Elena, Brian masih mematung diam memandang ke arah Elena tadi berlari. Keningnya mengerut dalam. Perkataan Elise di telpon sudah tak di dengarnya lagi.
"Brian!" panggilan Elise di telpon menyadarkan Brian.
"Elise, nanti akan kuhubungi lagi." Brian mematikan panggilannya dan berjalan cepat ke arah Elena tadi berlari. Tak menemukan siluet Elena sama sekali, membuat Brian memacu langkah cepatnya menjadi berlari. Pria itu berlari dengan terus menengok ke kanan dan ke kirim mencari keberadaan Elena. Hingga Brian kini berada di lobi rumah sakit, dia tak menemukan Elena. Kemana wanita itu pergi? Mengapa dia pergi dan berlari begitu kencang? Apa Elena lupa tentang kondisinya yang hamil? Apa yang terjadi?
Brian teringat kembali dengan pembicaraan mereka sebelumnya.
'Aku menginginkan baby.'
Mungkinkah Elena kabur karena Brian tak menyetujui keinginannya? Mungkinkah dia pergi untuk memiliki bayi itu seorang diri? Apa wanita itu ingin mengingkari kesepakatan mereka?
Mata Brian kini dipenuhi dengan amarah. Jika apa yang dipikirkannya saat ini benar, maka dia tak akan melepaskan Elena begitu saja. Sampai ke ujung duniapun akan Brian cari. Dan jika benar Elena kabur karena menginginkan kedua bayi kembar itu sendiri maka Brian akan menghukumnya.
.
.
Elena langsung berlari setelah taxi sampai di rumah sakit dan membayarnya. Dia berlari secepat yang dia bisa. Seakan dia tengah berlari dikejar waktu. Harus sampai secepatnya dan tak ingin membuang waktu sedetikpun untuk berhenti. Yang ada dipikirannya hanya Diego. Hanya pria itu.
Elena berlari menyusuri lorong, menghiraukan teriakan perawat yang melarangnya untuk berlarian di dalam rumah sakit. Tak memerdulikan orang yang mengumpat akibat tertabrak olehnya.
Saat dia berada di depan pintu ruangan Diego. Dia membukanya dengan cepat dan membeku. Matanya mengerjap beberapa kali. Hingga airmata jatuh menyusuri pipinya. Airmata yang semakin lama semakin deras.
"Diego," lirih Elena tak percaya.
"Syukurlah, kau sudah datang Elena." Mira mengusap ke dua pipinya. Untuk menghilangkan jejak airmata di sana. Wanita itu berjalan mendekati Elena. Berdiri di depannya. Dia sudah menganggap Elena sebagai saudaranya sendiri. Dan Mira tau betapa berartinya Diego bagi Elena. Wanita itu sudah mengatakan semua hal padanya. Bahkan mengenai kesepakatan Elena dengan Elise. Karena dia sangat mempercayai Mira.
Dan Mira sangat terharu dengan besarnya pengorbanan Elena. Itu sebabnya dia selalu membantu Elena untuk merawat dan menjaga Diego.
"Aku akan meninggalkan kalian. Mendekatlah ke arahnya." Mira menepuk pundak Elena lalu berjalan keluar dan menutup pintu.
Elena masih berdiri dengan airmata yang tak pernah berhenti mengalir. Dengan perlahan dia mendekat ke arah ranjang Diego. Dia terdiam dengan berdiri di pinggir ranjang. Tak bisa mengeluarkan kata-kata. Hanya memandang Diego dalam diam. Seakan dia tak percaya dengan apa yang dia lihatnya saat ini. Diego, dia....
"Kenapa diam? Kemarilah dan peluk aku," suara rendah Diego terdengar. Elena menangis semakin sesugukkan. Diego sadar. Pria itu sadar. Kekasihnya sudah sadar.
Elena dengan cepat bergerak memeluk Diego yang masih berbaring di atas ranjang. Pelukannya begitu erat. Seakan dia tak ingin melepaskan pelukannya. Seakan dia takut Diego akan pergi meninggalkannya jika pelukan itu merenggang. Oh tuhan, tak ada hal yang lebih melegakan, selain melihat Diego sadar.
Tangan Diego dengan gerakkan pelan membalas pelukan Elena. Dia mengusap punggung Elena.
"Kau pasti sangat menderita selama aku tertidur di sini." Lagi-lagi tangisan Elena semakin kencang. Seakan melepaskan semua beban berat yang selama ini dia tahan dan tanggung dalam tangisannya ini.
Diego membiarkan Elena menangis dalam pelukannya. Perawat Mira sudah menceritakan berapa lama dia tertidur di ranjang ini dalam keadaan tak sadar. Walaupun tak semua hal diceritakan Mira tapi Diego tau Elena pasti mengalami hal berat dan sangat menderita.
Setelah beberapa menit berlalu, tangisan Elena mereda. Elena merenggangkan pelukannya dan menatap wajah Diego dari dekat. Mengunci mata hitam yang selalu saja membuat hatinya teduh dan damai itu.
"Jangan menangis lagi." Tangan lemah Diego bergerak pelan mengusap pipi Elena. Tangannya menarik kepala Elena mendekat dan Diego mengecup kening Elena lama.
"Aku merindukanmu."
"Aku lebih merindukanmu. Kau selalu saja tidur. Aku sangat takut saat mendengar kau kecelakaan. Tadi juga, aku berlari sekencang mungkin kemari. Aku takut kau meninggalkanku."
"Maafkan aku. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu. Apapun yang terjadi." Hati Elena menghangat. Dia bangkit dan duduk di kursi samping ranjang.