"Dia sedang ke toilet. Ah itu dia." Elise menunjuk ke arah belakang Elena. Dan perlahan Elena berbalik untuk melihat seperti apa wajah suami Elise. Pria yang sudah mencuri hati adiknya. Pria yang sudah menjaga, menyayangi dan memberikan kebahagiaan untuk adiknya.
Seorang pria mengenakan celana panjang hitam dengan kemeja biru press body yang mencetak tubuh atletisnya. Pria itu sangat tinggi dengan kaki panjangnya melangkah lebar. Wajahnya sangat tampan dengan rahang tegas nan tinggi. Alis hitam tebal, mata biru yang tajam, dahi lebar yang sexy dan bibir penuh yang menggoda. Jangan lupakan rambut tebal nan hitam milik pria itu. Elena terpesona didetik pertama dia melihat Brian. Pria itu menyita semua perhatian Elena. Bahkan gadis itu menahan napas tanpa sadar. Brian seperti titisan dewa Yunani yang begitu tampan dengan fisik yang sempurna. Elena bahkan tak sadar jika Brian kini sudah duduk di samping Elise.
Saat Brian duduk di samping Elise dan menatap wanita yang duduk di hadapannya. Dia terkejut. Brian tak pernah tau, ada seorang gadis yang sangat mirip dengan istrinya. Benar-benar mirip, bagaikan pinang dibelah dua. Hanya penampilan mereka yang membedakannya. Brian memandang lekat Elena. Mengamati wajah Elena yang mirip sekali dengan wajah istrinya.
"Elena, perkenalkan dia Brian Fernandez, suamiku." Suara Elise akhirnya menyadarkan Elena dari keterpesonaan.
"Sayang, dia Elena saudari kembarku," ucap Elise pada Brian.
Elena mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Brian hanya menatap wajah Elena. Dia masih sulit untuk mempercayai ada gadis yang memiliki wajah sama persis dengan istrinya. Hingga detik berlalu, tapi Brian masih belum membalas uluran tangan Elena.
Meresa diabaikan, Elena menarik tangannya pelan dan tersenyum canggung untuk menutupi rasa malu dan kesalnya. Melihat hal itu Elise langsung menyenggol lengan Brian hingga pria itu menoleh ke arahnya.
"Apa?" Tanya Brian bingung. Dia sama sekali tak menyadari sikap kasar yang dia tunjukkan tadi. Elise mendelik kesal.
Sebenarnya banyak hal yang ingin Elena katakan pada Brian. Dia ingin mengatakan terima kasih sudah menjaga dan mencintai Elise. Tapi semua itu tertahan dan ditelannya kembali setelah mendapat penolakan dari Brian. Bahkan kini dia resah dengan pandangan mata Brian yang terus menatapnya.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku, Elise?" Elena sungguh tak nyaman dengan tatapan tajam yang Brian berikan untuknya. Dia juga tak ingin melihat percekcokkan suami istri itu. Hanya karena Brian menolak berjabatan tangan dengannya.
Seakan kembali tersadar dan mengerti bahwa Elena tak ingin berbasa-basi. Elise kembali serius. Dia menatap Elena lekat dan menggenggam jemarinya di atas meja.
"Elena, kau adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki. Walau puluhan tahun kita berpisah, aku tau kita masih tetap terikat. Bukan hanya karena kita sedarah, tapi juga karena kita saudara kembar."
Elena tak tau apa yang ingin Elise katakan. Tapi dia mengerti bahwa semua yang Elise ucapkan memang benar. Elena membalas genggaman tangan Elise dengan erat.
"Ya, kau benar. Aku sangat menyayangimu, Elise. Aku harap kita tak akan berpisah kembali."
"Elena, maukah kau membantuku?" pinta Elise sungguh-sungguh. Mendapati tatapan permohonan dari Elise membuat hati Elena bergetar.
"Apa yang kau katakan? Kau tak perlu memohon seperti ini. Aku pasti akan membantumu." Wajah Elise berubah menjadi sangat cerah atas balasan Elena.
"Benarkah?" Ada binar bahagia di dalam mata Elise yang terlihat jelas oleh ELena.
"Ya. Apa yang kau ingin aku lakukan?"
Senyuman tak lepas dari wajah cantik Elise saat wanita itu mengatakan, "Maukah kau mengandung anak dari suamiku?"
Sedetik dua detik Elena hanya terdiam membisu. Elise seakan berbicara menggunakan bahasa Alienyqng tak dimengerti Elena. Tak mendapat jawaban apapun membuat Elise kembali melanjutkan perkataanya.
"Maukah kau tidur dengan suamiku hingga hamil dan melahirkan anaknya?" Mata Brian membesar menatap Elise dengan frustasi. Dia benar-benar tak menyangka istrinya akan mengatakan hal itu secara jelas.
Tawa Elena keluar dengan canggung. Dia tak menyangka Elise akan membuat lelucon garing seperti ini. Meminta Elena hamil anak suaminya. Adiknya pasti sedang bercanda.
"Leluconnya sungguh unik, Elise. Aku tak tau jika kau sekarang punya selera humor seperti ini." Elena masih tertawa sambil menatap Elise lekat. Namun perlahan tawanya mereda saat tak ada balasan dari Elise dan Brian. Adiknya terus memasang wajah serius.
"Aku tidak bercanda, Elena. Aku memang meminta bantuanmu untuk hamil anak Brian."
"Apa?!" Kata pertama yang keluar dari mulut Elena ketika dia menyadari bahwa semua ini bukan lelucon.
"Apa kau gila, Elise?!" teriak Elena nyaring. Dia menghiraukan tatapan kaget dan penasaran dari pengunjung lain yang ada di Bar itu. Dadanya naik turun menahan rasa marah yang muncul tiba-tiba.
"Elena, kau tak tau betapa frustasinya aku hingga tercetus ide gila ini. Aku benar-benar tak tau harus bagaimana lagi, Elena. Aku tak bisa hamil." Kalimat terakhir Elise mengguncang tubuh Elena. Dia tak percaya dengan apa yang Elise ungkapkan.
"Aku tak bisa hamil. Tapi suamiku membutuhkan anak. Ibu mertua menuntutku untuk segera hamil. Jika aku tak hamil sebelum enam bulan lagi, aku harus memilih bercerai dengan Brian atau merelakannya menikah lagi dengan gadis lain. Dan aku tak ingin hal itu terjadi." Mata Elise sudah berkaca-kaca. Hanya ada kesedihan dan keputusasaan yang terpancar dari sorot matanya. Seakan mengatakan bahwa dia sudah putus asa dengan semua keadaan ini.
"Aku mohon bantu aku kali ini. Berhubunganlah dengan suamiku dan hamil anaknya. Aku mohon Elena," pinta Elise.
Ada sudut hati Elena yang ikut bersedih mendengar permohonan Elise itu. Dia bahkan sangat ingin menenangkan kegelisahan dan menghilangkan rasa frustasi yang Elise tunjukkan dari sorot matanya. Tapi dia tidak bisa. Permintaan Elise terlalu sulit.
"Maaf, Elise. Aku tak bisa membantumu."
"Sudah kukatakan, itu adalah ide buruk dan mustahil Elise." Brian juga mengungkapkan pendapat dan protesnya pada Elise. Sampai saat ini dia masih tak setuju dengan ide gila Elise.
"Tapi kita tak memiliki pilihan lain Brian." Elise menyangkal dan mendebat Brian.
"Aku yakin masih ada cara lain. Kita bisa melakukan inseminasi buatan."
"Dan membuat Mommy mengetahui bahwa aku tak bisa hamil. Dia pasti akan mengusirku."
"Kita hanya perlu menutupi segalanya dari Mommy."
"Tidak, Brian. Inseminasi buatan terlalu beresiko dan kesempatan berhasil sangat kecil dibandingkan dengan cara alami."
"Dan kau pikir Mommy tidak akan mengetahui ide gila ini."
"Maaf, aku tidak pernah setuju. Kalian bisa bertengkar di rumah, aku tak mau terlibat dalam pertengkaran rumah tangga kalian." Elena mengintrupsi pembicaraan suami istri itu. Dia sangat tak ingin terlibat.
"Elena, kumohon bantu aku. Hanya kau yang bisa membantuku. Hanya kau satu-satunya keluarga yang kumiliki." Elise kembali meraih tangan Elena. Mengenggem erat tangan kanan gadis itu dengan kedua tangannya.
"Maaf Elise. Aku bisa membantumu untuk melakukan hal lain. Tapi tidak untuk mengandung anak dari suamimu." Elena menatap lekat mata saudari kembarnya. Mata Elise penuh dengan air mata.
Tersirat raut keputusasaan gadis cantik itu. Raut wajah yang menyayat hati Elena. Dia tak tega melihat saudari kembarnya begitu frustasi seperti itu. Tapi, hamil anak suami Elise, Elena tak bisa.