"Sorry Mr. Fernandez, Nyonya Fernandez mengalami policystic ovary yaitu ganguan keseimbangan hormonal pada wanita yang menyebabkan Anovulasi. Sehingga sel telur tidak bisa dibuahi. Dan kemungkinan hamil sangat sulit." Elise dan Brian terkejut dengan apa yang dokter ucapkan. Elise mengidap Policystic Ovary atau biasa disebut PCO. Itu artinya kemungkin hamil sangat kecil hampir tidak ada.
"Apa tidak ada cara agar istriku bisa hamil, dok?"
"Masih ada kemungkinan bisa hamil tapi nyonya harus melakukan berbagai tes hormon, tes kadar lemak dalam darah, tes kehamilan (serum HCG), tes kadar prolaktin dan tes fungsi tiroid. Terkadang, dilakukan USG transvaginal untuk melihat indung telur dan laparoskopi sebagai tindakan operatif untuk pemecahan kista-kista folikel tersebut (fulgurasi)." Tubuh Elise menegang mendengar banyaknya serangkaian tes yang mesti dilakukan.
"Apa setelah melakukan berbagai tes itu, istriku hamil?" Elise juga mempertanyakan hal yang sama seperti Brian. Apa dia akan hamil setelah melakukan berbagai tes itu?
"Kami tim dokter tidak bisa menjamin hal itu. Kemungkinan nyonya hamil sekitar 10% setelah melakukan serangkaian tes itu."
"Apa tidak ada cara lain agar dia bisa hamil secepatnya?"
"Nyonya bisa melakukan proses bayi tabung. Kemungkinan berhasilnya jauh lebih besar."
Bayi tabung?
Itu juga solusi yang dikatakan oleh dokter di indonesia. Tapi melakukan bayi tabung itu sangat beresiko. Bukan dari kemungkinan keberhasilan kehamilannya tapi kemungkinan diketahui oleh Rena, ibu Brian.
Jika wanita paruh baya itu sampai tau elise sulit hamil dan melakukan bayi tabung. Rena pasti akan menyuruh Brian untuk menceraikan Elise.
Setelah berbicara lebih lanjut dengan dokter itu, Elise dan Brian kembali ke hotel.
.
.
Elise melamun dengan memandang langit malam. Dia tengah bersandar di balkon kamar hotel.
Dia merasa tak berguna. Merasa seperti seorang wanita cacat yang penuh dengan kekurangan. Elise tak pernah berpikir dia akan mengidap penyakit PCO yang membuat dia sulit hamil. Semua wanita pasti ingin hamil dna melahirkan anaknya. Wanita akan menjadi sempurna setelah melahirkan anakanya. Tapi dia, jangankan untuk melahirkan seorang anak. Elise bahkan tak bisa hamil.
Dua tangan kekar melingkar di perut elise tiba-tiba. Membuat tubuhnya berdenyit pelan dan menoleh ke belakang.
Brian berdiri di belakangnya dengan memeluk erat elise. Pria itu mengecup pelipis Elise lalu menyandarkan dagunya di pundak Elise.
"Apa yang kau pikirkan?" Sebenarnya Brian tahu apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya. Tapi dia ingin Elise membicarakan kegundahan hati wanita itu padanya.
"Aku wanita yang tak sempurna Brian. Aku tak bisa hamil. Aku tak bisa mewujudkan keinginanmu yang menginginkan seorang anak."
"Jangan berkata seperti itu. Aku yakin kau pasti bisa hamil."
"Kau sendiri mendengar ucapan dokter itu, Brian. Aku tak bisa hamil. Kita juga tak bisa melakukan proses bayi tabung. Itu terlalu beresiko, jika mom tau, dia pasti akan menyuruhmu menceraikanku."
"Aku tak akan pernah menceraikanmu, Elise. Kau segalanya untukku. Aku tak akan bisa hidup tanpa dirimu."
"Tapi kau membutuhkan seorang anak, Brian. Kau membutuhkan seorang penerus. Dan ... dan aku tak akan pernah rela jika kau menikah lagi. Aku tak akan sanggup melihatmu bersanding dengan wanita lain Bi." Tubuh Elise bergetar. Isak tangis keluar dari mulutnya. Airmata mengalir dengan deras.
"Aku tak akan pernah menikah lagi, Elise. Aku tak akan menduakanmu. Hanya kau yang aku inginkan. Aku tak butuh wanita lain, Elise."
"Tapi aku sudah berjanji pada mom. Jika aku tak hamil setelah satu tahun maka kau harus menikah lagi. Dan sekarang waktu kita hanya tinggal 7 bulan lagi Brian."
"Benar, waktu kita tak banyak." Dengan cepat Brian menggendong Elise membuat wanita cantik itu terkesiap dan dengan segera memeluk erat leher Brian.
"Kita harus kerja keras dan sering berusaha agar kau cepat hamil." Brian mencium Elise dan dengan cepat menggotong istrinya ke dalam kamar hotel.
.
.
"Kak Elena ayo pulang bareng dengan kami." Shelina mengajak Elena ikut pulang bersama dia, Evelyn juga Marcus.
"Tidak, kekasihku sudah menjemput. Aku pulang duluan ya." Elena tersenyum ke arah seorang pria yang datang dengan motornya. Gadis itu melambai kepada teman juga bosnya. Lalu berjalan menghampiri kekasihnya.
Gadis itu bernama Elena Wesley. Gadis yang bekerja sebagai koki di Wonderful Cafe. Elena adalah saudara kembar Elise. Saat kecil mereka ditemukan di depan pintu panti asuhan. Mereka tumbuh bersama di sana.
Hingga berumur tujuh tahun, ada sebuah keluarga yang mengadopsi Elena. Meninggalkan Elise di panti.
Saat itu Elise sangat iri dan berharap jika dialah yang dipilih oleh keluarga itu. Tapi takdir mengatakan hal lain. Elena sang kakak yang dipilih untuk diadopsi.
Elena hidup dengan keluarga barunya. Dia tak mendapatkan perlakuan istemewa ataupun disayang dalam keluarga barunya itu. Keluarga itu malah memperlakukannya seperti seorang pembantu. Menyuruhnya melakukan pekerjaan ini dan itu. Jika Elena membantah ataupun tak menurut perkataan mereka maka elena akan dipukul.
Walaupun kedua orang tua angkatnya memperlakukan Elena dengan buruk tapi putra mereka memperlakukan gadis itu dengan sangat baik.
Diego Orlando putra dari keluarga Orlanda itu menyayangi dan menyukai Elena. Dia selalu saja membantu elena tanpa kedua orang tuanya sadari.
Hingga lima belas tahun yang lalu. Tuan dan Nyonya Orlando meninggal akibat kecelakaan pesawat. Meninggalkan Diego dan Elena hidup berdua dalam kerasnya kehidupan dengan sedikit harta yang tertinggal.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah mereka. Diego dengan terpaksa menjual mobil juga harta berharga keluarganya. Bahkan rumah besar itu, dia jual agar dia bisa melanjutkan kuliah dan Elena bisa bersekolah.
Mereka berdua tinggal di rumah kecil. Mereka hidup bersama dan kedekatan itu menimbulkan rasa cinta di dalam hati diego. Hingga akhirnya dia mengatakan perasaannya. Dan elena pun memiliki rasa yang sama.
Baginya diego sangat berarti. Hanya dia satu-satunya keluarga yang dia miliki. Dalam keadaan susah ataupun senang hanya pria itu yang selalu di sisinya. Dan dia sangat mencintai diego.
Mereka berpacaran, walaupun mereka tinggal satu rumah tapi diego tak pernah menyentuh Elena. Pria itu tau batasannya. Dan dia sangat menghargai gadis itu. Dia berjanji tak akan menyentuh elena sebelum menikahi gadis itu.
Mereka saling membantu dan bekerja keras untuk mengumpulkan uang agar bisa segera menikah. Diego bekerja sebagai staff di sebuah perusahaan juga bekerja parttime sebagai barista di sebuah club. Sedangkan Elena dia bekerja sebagai koki di sebuah cafe dan terkadang menitipkan kue buatannya di beberapa warung.
"Kenapa kita kemari kak?" Kening Elena mengerut bingung ketika motor Diego berhenti di taman. Biasanya mereka langsung pulang karena diego harus bersiap untuk pergi bekerja di club.
"Hari ini aku tidak bekerja. Lagipula sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua di luar. Ayo, turun dan duduk di sana." Diego mengajak Elena duduk di kursi taman yang tak jauh dari motor mereka.
Walau malam sudah larut namun taman itu cukup terang dengan lampu-lampu hias yang sengaja di letakkan dibeberapa sudut. Ada juga muda-mudi lainnya yang datang ke taman itu.
Tiba-tiba saja diego bangkit dan berlutut dihadapan elena. Membuat gadis itu mengerutkan kening.
"Elena, sudah lama aku menunggu momen ini." Tangan Diego mengenggam erat jemari elena.
"Sebelumnya kau adalah adik angkatku. Tapi tak pernah sedikitpun aku menganggapmu seperti adik. Bagiku kau seorang wanita yang berarti. Aku ingin hidup bersama denganmu selamanya. Membangun keluarga kecil bersamaku. Mengandung dan melahirkan anak-anakku. Hidup bersama dan menua hingga ajal memisahkan kita." Mata diego hanya terpusat pada Elena. Mengatakan keseriusannya hanya dari tatapan mata itu.
"Elena, would you marry me?" Mata elena berkaca-kaca. Dia tak pernah tau diego akan melamarnya malam ini. Pria itu memang pernah mengatakan akan mengumpulkan uang agar mereka bisa menikah. Tapi dia tak menyangka akan sebahagia ini saat pria itu melamarnya.
"Elena cintaku, kau mau menikah denganku kan?" Sekali lagi diego bertanya. Dia sangat gugup dan grogi takut elena belum siap dan menolak lamarannya.
Namun kekhawatiran itu tak berlangsung lama karena dengan pelan kepala elena mengangguk.
"Ya, aku mau diego." Seketika itu juga diego memeluk elena. Memeluk gadisnya dengan sangat erat. Mengucap kata syukur dan berteriak penuh kebahagiaan. Membuat elena tertawa dengan tingkah pria itu. Pria yang sangat berarti dalam hidup elena.