24 September 1932
10 Tahun telah berlalu. Ucapan dari seorang laki-laki yang misterius itu telah mengubah hidupku. Aku tidak tahu jika dia tidak muncul pada hari itu apa yang akan terjadi padaku sekarang. Mungkin aku akan kehilangan arah dan tidak bisa menjadi diriku yang sekarang. Karena keberadaannya aku tertolong dan tiap ucapannya akanku ingat selalu.
Apa benar kita akan bertemu lagi? Pikirku setiap kali aku pulang ke kota ini.
Saat ini aku sedang menimba ilmu lewat beasiswa di Royal University di ibukota, salah satu universitas ternama di kerajaan ini. Aku juga berhasil meringankan beban hidup keluargaku karena saat di ibukota itu aku juga sempat bekerja sambilan dengan hasil yang lumayan bagus. Adikku saat ini sudah bisa kembali bersekolah dan dia cukup bersemangat meskipun telah tertinggal tiga tahun lamanya.
Beban hidupku perlahan menghilang dan berubah menjadi lebih baik sekarang. Aku tidak percaya jika dulu aku sempat terpuruk dan tidak tahu harus berbuat apa. Harapan tinggi dari ibu dan adikku sempat membuatku takut. Tapi, sekarang aku bisa mewujudkannya dan hidupku telah berubah.
Kehidupanku semakin baik dan itu karena motivasi yang diberikan laki-laki misterius itu. Aku masih menyimpan payung pemberiannya sembari berharap aku bisa betemu dengannya lagi dan mengucapkan rasa terimakasihku padanya. Namun selama ini aku tidak pernah bisa menemukan laki-laki itu.
Apa dia berbohong? Pikirku tiap kali memikirkan sosok misterius itu.
Aku tidak bisa terus membebani pikiranku. Ibuku sekarang cukup sensitif dan bisa tahu jika aku sedang memiliki beban pikiran. Kurasa itu adalah apa yang disebut sebagai 'intuisi seorang ibu'. Karena itu aku tidak ingin membuatnya cemas karena kebodohanku sendiri. Lalu saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju kota lamaku, kota Rine.
Aku menaiki kereta api kelas mengengah dari stasiun Postrad di ibukota. Dalam perjalanan aku ditemani salah seorang sahabatku. Dia adalah teman baikku dan kami tinggal dalam satu kamar asrama yang sama. Karena itu kami sudah saling mengenal satu sama lain dan cukup dekat.
Saat ini kami naik kereta dan gerbong yang sama dan duduk saling berhadapan.
"Hana, apa kau yakin akan terus membawa payung itu?" Tanya Lenny padaku sambil menatap kearah payung yang ada ditasku..
"Apa aku harus menjawabnya?" Balasku.
"Ya, kau selalu menolak untuk membahasnya. Kita sudah saling mengenal tapi aku tidak tahu kenapa kau masih menyimpan rahasia diantara kita berdua." Ungkap Lenny dengan wajahnya yang cemberut mengarah kepadaku.
Tidak ada alasan bagiku untuk menutupi kisah dibalik payung yang selalu kubawa ini. Tapi aku hanya tidak ingin Lennya berpikiran aneh tentang ku maupun laki-laki misterius itu. Cerita pertemuanku dengan laki-laki misterius itu sangatlah aneh berbeda dari biasanya. Jadi aku sedikit ragu untuk bercerita kepada Lenny tentang ini.
"Akan ada saatnya nanti aku bercerita padamu." Balasku berusaha untuk menghindari pertanyaan Lenny yang terkenal tajam itu.
"Sudah lama aku penasaran tapi kenapa kau selalu begitu." Balas Lenny dengan wajah cemberutnya membuang wajahnya dariku. Dia sedikit marah tapi aku tahu dia tidak akan memaksaku.
"Aku akan bercerita saat aku sudah siap."
"Apa maksudmu?"
"Untuk sekarang aku tidak bisa berkata banyak. Nanti saja saat waktunya tiba."
"Baiklah, aku akan menunggu saat waktu itu tiba."
Untungnya Lenny tidak terlalu memaksaku. Dibanyak banyak kesempatan lalu, aku selalu menghindari pertanyaan Lenny. Hal ini membuatku sedikit merasa tidak enak padanya meskipun dia adalah sahabatku sendiri.
Jika kuingat lagi, Laki-laki misterius itu berkata 'pada saatnya nanti kita akan bertemu' namun sampai 10 tahun telah berlalu dia tidak pernah muncul kembali. Aku sempat berpikir mungkin saja dia hanya memainkan kata-kata kepadaku tanpa ada maksud tertentu. Tapi disaat yang sama aku juga merasa jika dia tidak mungkin membohongiku. Hanya satu hal yang pasti bagiku, dia akan selalu menjadi laki-laki yang misterius.
"Hana rambut coklat indahmu harus kau percantik lagi." Ucap Lenny mengganti topik pembicaraan.
"Kenapa? Aku sudah menyukai gaya rambutku ini." Balasku.
Rambut coklatku selalu kubuat memanjang terurai dan aku tidak terlalu ingin merubah gaya rambutku ini. Karena ibuku adalah orang yang menyarankanku untuk mengurai rambutku hingga seperti ini.
"Kupikir jika kau bisa lebih mempercantik rambut coklatmu itu. Tuan muda Alcard bisa saja jatuh hati padamu." Ungkap Lenny dengan maksud menggodaku.
Banyak anak bangsawan yang bersekolah di Royal Academy. Hanya 30% dari keseluruhannya adalah rakyat biasa yang terpilih melalui seleksi yang ketat. Aku beruntung menjadi bagian dari 30% orang biasa yang bisa masuk ke akademi ini.
Sementara itu, Richard Alpheus Alcard adalah tuan muda dari keluarga Alcard. Sebuah keluarga bangsawan berpangkat Count dan mempunyai bisnis dibidang pertambangan. Bisnis keluarga Alcard terbilang besar untuk keluarga Count dan karena itu banyak orang yang memandang tinggi keluarga Alcard ini.
"Aku tidak memikirkan hal itu sedikitpun." Ungkapku.
"Ayolah, tuan muda Alcard itu tampan bukan? Kudengar bahkan dia menjadi rebutan banyak perempuan." Balas Lenny dengan tatapan yang tajam mengarah kewajahku.
"Aku tidak tertarik." Tegasku kembali.
"Hmm… Berarti sudah ada laki-laki lain yang membuatmu tertarik?"
"Ehh… Maksudku..." Tenyata Lenny menjebakku. Aku tidak sadar jika pembicaraannya akan berakhir seperti ini.
*Pemberitahuan, kereta akan sampai di statsiun Mayyern*
Suara pemberitahuan terdengar dari sebuah speaker kecil didalam kereta. Itu adalah pertanda jika aku dan Lenny harus berpisah karena ia harus turun di stasiun Mayyern.
"Sepertinya kita harus melanjutkan pembicaraan ini lain kali." Ungkap Lenny dengan wajah yang cukup senang.
"Baiklah, aku rasa aku tidak bisa menyembunyikan ini lebih lama." Balasku.
"Kau harus menceritakan aku banyak hal nanti." Ucap Lenny dengan senyum diwajahnya.
Aku sepertinya tidak bisa terus menghindar dari Lenny dan kupikir ini bukanlah ide yang buruk. Lenny adalah teman dekatku, dia ramah dan baik padaku. Sejak pertama kali kami bertertemu dia tidak pernah meninggalkan sisiku.
Meski aku sudah membuat Lenny jengkel tapi dia tidak terlalu menghiraukannya. Kami tetap berteman layaknya tidak ada hal apapun yang terjadi diantara kami berdua. Aku selalu berharap hubunganku dengannya tidak akan pernah berubah.
Perjalanan tetap berjalan hingga akhirnya kereta api ini sampai di stasiun Rodd di kota Rine. Akupun turun dari kereta dan melangkah di stasiun antik kota Rine. Ini adalah stasiun tua dan satu-satunya di kota ini. Stasiun ini dibangun pada tahun 1856 jadi suasana stasiun ini masih sangat klasik.
Stasiun ini mirip seperti sebuah musium yang banyak menampilkan hal bersejarah. Sekaligus salah satu tempat kebanggaan warga kota Rine. Banyak ornament seperti patung dan juga lampu-lampu hias di stasiun ini. Salah satu icon di stasiun ini adalah sebuah Menara jam Weimer yang tingginya 150 meter. Menara ini dibangun sebagai bagian dari stasiun ini.
Setiap kali aku menginjakan kaki di stasiun ini aku selalu pergi ke Menara jam ini. Dulu disamping Menara ini aku berpisah dengan ibu dan adikku dulu saat aku pergi ke universitas di ibukota. Setiap kali aku pulang, aku juga ke tempat ini karena momen itu selalu terkenang dibenakku.
"Waktu terus berjalan." Ungkapku sambil melihat jam yang ada dimenara itu.
Sepintas aku mengingat kembali apa yang telah kulalui sebelumnya. Dari saat ayahku masih hidup dan keluargaku masih layaknya keluarga umum lainnya. Hingga saat ayahku meninggal yang membuarku serta keluargaku terpuruk sampai akhirnya aku bangkit dan merubah keterpurukan itu semua.
"Aku tidak menyangka bisa melewati itu semua." Gumamku saat menilas balik semua yang telah terjadi padaku.
Karena waktu sudah menunjukan jam tiga siang maka aku tidak ingin berlama-lama di stasiun dan segera pulang. Aku mengangkat koper yang kubawa dan pergi ke pintu keluar. Namun saat aku mau berjalan ke arah keluar kondisi stasiun yang ramai itu membuat jalan ke arah pintu keluar menjadi penuh sesak. Ditengah keramaian itu aku melihat seseorang yang cukup familiar dimataku. Walau sepintas tapi aku setidaknya cukup yakin dengan apa yang kulihat.
"Apa mungkin itu?" Ungkapku dengan perasaan yang cukup terkejut.
Mataku tertuju pada sesosok laki-laki dengan pakaian serba hitam. Dia berdiri memandangi menara jam dengan tatapan yang datar. Aku selalu mengingat tatapan itu jadi aku tidak mungkin salah.
Dia adalah laki-laki yang sudah membuatku berubah, orang yang selama ini kucari keberadaanya. Karena ucapannya kehidupanku menjadi lebih baik. Aku berhutang banyak padanya, tanpa dirinya mungkin aku akan terpuruk dan tidak akan pernah bangkit.
Hatiku yang awalnya ragu mulai yakin dan akhirnya aku memutuskan pergi ketempat laki-laki itu berdiri. Namun karena stasiun yang ramai membuatku kesulitan untuk berbalik arah. Aku harus menerjang kerumunan orang-orang untuk bisa sampai kesana.
"Permisi, mohon maaf." Ucapku sambil menerobos kerumunan orang-orang.
Perlu usaha banyak untuk bisa menerobos kerumunan orang itu. Namun aku berhasil melewatinya dan aku melihatnya dengan mata dan kepalaku sendiri. Setelahnya aku melihat laki-laki itu melihat ke arahku. Aku melambaikan tanganku kepadanya dan berusaha memanggilnya.
"Hei...." Namun tidak lama setelah kata-kata keluar dari mulutku. Aku ingat jika aku tidak tahu Namanya.
Laki-laki itu akhirnya menoleh kearahku namun dia hanya melihatku sambil tersenyum tipis. Bagiku itu adalah senyuman yang sama seperti senyuman yang sepuluh tahun lalu aku lihat. Tidak ada keraguan jika dia adalah laki-laki misterius yang selama ini kucari.
Tetapi sesaat setelah aku sampai di dekat menara jam, ditempat aku melihat laki-laki itu sebelumnya. Dia tidak terlihat lagi. Aku berusaha mencari kesekitarku namun aku tidak melihatnya.
"Kemana dia pergi?!" Ungkapku dengan sedikit rasa kesal.
"Aku yakin dia tadi melihatku. Kenapa dia malah pergi?" Tukasku kembali dalam kebingungan.
Padahal sedikit lagi aku bisa bertemu dengannya setelah sepuluh tahun berlalu. Aku tidak ingin perasaan yang telah lama mengganguku ini terus ada sampai akhir hidupku. Setidaknya aku ingin bertemu dengannya dan memperjelas semua hal yang tidak sempat aku tanyakan dulu. Lalu tidak lupa aku juga akan mengucapkan terimakasih padanya dan mengembalikan payungnya kembali padanya.
Aku tidak tahu alasannya. Dia memang laki-laki misterius yang tidak akan pernah bisa kupahami sepenuhnya. Setidaknya aku sudah berusaha semampuku selama ini untuk mencarinya. Kurasa hanya takdir yang bisa mempertemukanku kembali dengannya lagi.
Hei, Apa pendapat kalian tentang bagian ini?
Ini masih sudut pandang Hanna. Cukup malang nasib Hanna yang malah digantung laki-laki misterius itu.
Penasaran dengan apa yang ada dipikiran si laki-laki misterius itu? Nanti akan ada Act Extras yang bahas sudut pandang yang berbeda.
Tunggu dan lanjutkan bacanya! Jangan kelewatan!