Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia.
Bandara ini merupakan bandar udara terbesar di Indonesia, yang berada di daerah Cengkareng, sebelah barat Jakarta. Bandara ini seluas 1800 Hektar termasuk fasilitas lapangan golf dan hotel. Di pintu gerbang Bandara Soekarno-Hatta pada jalur tol, terdapat gerbang Selamat Datang dengan nuansa adat Bali. Sedangkan untuk tempat tunggu keberangkatan, ruang pesawat kedatangan dan bangunan fasilitas lain, suasananya mengambil tema Joglo Jawa namun ada beberapa hiasan Balinya. Terminal A khusus untuk melayani penerbangan Internasional. Terminal B dan C melayani penerbangan Domestik dan keperluan lain. Bandara ini di lengkapi fasilitas dan peralatan modern untuk memberi keamanan dan keselamatan penumpang. Bangunan di bandara ini memang menghindari penggunaan penyejuk udara , dan arsitekturnya berdasarkan bangunan tradisional di Indonesia. Berupa bangunan modern dengan model atap gaya Jawa. Sebagian atap-atapnya di sangga oleh tiang-tiang batu dan sebagian tiang-tiang kayu.
Sepasang kaki jenjang yang beralaskan sepatu karya Louboutin keluaran terbaru melangkah anggun menuju area kedatangan di terminal A, khusus penerbangan Internasional. Gadis cantik yang di balut dress se-lutut berwarna hitam dengan merk Valentino SpA milik Valentino Garavani serta handbag milik brand berlogo YSL yang merupakan salah satu label fashion yang di desain oleh Tom Ford. Langkahnya mampu membuat semua orang yang lalu lalang di bandara ini menjadikan perempuan itu sabagai pusat perhatian mereka. Rambutnya yang berwarna coklat tua dengan model bergelombang sepinggang itu berkibar kibar saat dia berjalan. Di tambah dengan kacamata merk Blanc warna hitam yang bertengger di hidungnya membuat pesonanya semakin terlihat sempurna. Dewi Yunani di abad modern, mungkin itulah sebutan yang pas untuk menggambarkan pesona Briena. Perempuan dengan label kaya pada semua yang dia pakai hari ini, tentu saja bukan perempuan biasa.
Kalebriena Virendra Afkarina.
Si desainer interior muda yang namanya sudah mendunia akan kehebatannya menyulap apapun menjadi karya seni yang menakjubkan. Tentu saja ke suksesan yang dia miliki itu berkat kerja kerasnya sendiri dan bukan karena latar belakang keluarganya yang konglomerat. Briena sedang mengutak-atik smartphone-nya, saat sebuah suara memanggil namanya.
Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke depan, ke arah suara yang memanggilnya tadi. Mata indah milik Briena menangkap sosok pria yang menggunakan stelan jas Armani warna abu-abu kebiruan dan tidak dikancingkan dengan lengan yang ditarik sampai siku, kemeja berwarna senada yang melapisi tubuh tegapnya, dan celana dengan warna yang lebih muda. Ditambah dengan rambutnya yang acak-acakan, entah kenapa membuat pesonanya semakin terlihat memukau.
Senyum cerah di bibir pria itu membuat ke dua lesung pipit miliknya mewarnai wajah tampan khas Asia itu. Mata indah milik pria itu pasti sekarang membentuk bulan sabit di karenakan senyumnya yang terbit saat ini. Sayangnya mata bulan sabit itu harus tertutupi oleh kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Dengan balas tersenyum, Briena mulai membawa kaki jenjangnya mendekati pria yang berdiri di hadapannya itu.
"Long time no see, Mr. Ares," sapa Briena membuka kacamatanya. Perempuan itu lalu menyampirkan kacamatanya di atas kepala, di helaian rambutnya. Briena lalu menyambut pelukan yang di tawarkan oleh pria yang di panggil Ares itu. Pria itu rupanya juga sudah melepas kacamata yang tadi menutupi mata sayunya.
"Aku merindukanmu," gumam Ares tidak terlalu jelas karena sekarang wajahnya dia benamkan pada rambut milik Briena. "Kau mengganti shampoo rambutmu," imbuh Ares. Wangi rambut Briena tidak seperti wangi rambut saat ia bertemu dengan perempuan itu hampir 3 bulan yang lalu.
"Hehm. Aku bosan dengan bau lili, bau strawberry jauh lebih segar," jawab Briena, suaranya sedikit teredam di pundak pria itu. Walaupun tinggi Briena sudah di atas rata-rata tinggi orang Indonesia kebanyakan, namun rupanya tetap saja tingginya masih di bawah Ares. Tinggi tubuh Briena hanya sampai di bawah hidung mancung Ares, padahal dia sudah memakai highheels setinggi 15 cm.
"Ehm, ini aneh," ujar Ares tiba-tiba, melepas pelukan itu tetapi tidak mengurangi jarak di antara mereka. Mata indah kesukaan Briena itu kini sedang memandang ke arah Briena, kernyitan di dahi Ares menandakan kalau pria itu sedang menyelidik.
"Tumben, kau mau aku peluk lebih dari satu menit, apalagi ini di tempat umum. Aku tidak salah orang, 'kan?" tanya Ares kemudian, ada senyum geli di wajah tampannya
"Anggap saja ini hadiah dariku," sahut Briena. "Ayo pulang!" imbuhnya lalu menggandeng tangan kekar kekasihnya.
Sebuah Ferrari hitam siap mengantarkan mereka ke apartemen milik Briena karena memang Ares akan menginap di sana selama tinggal di Jakarta. Suasana di dalam mobil hanya di dominasi oleh alunan music milik Ed Sheeran yang di cover oleh Boyce Avenue feat Bea Miller berjudul Photograph.
"Jadi kau sudah bertemu dengan calon suamimu?" tanya Ares buka suara.
"Begitulah," sahut Briena seadanya.
Briena memang menceritakan pada kekasihnya itu tentang perjodohannya dengan Vian. Bagi Briena perjodohan mereka bukanlah sesuatu yang harus dia rahasiain dari Ares. Pria itu harus tahu kalau mereka―Ares dan Briena―tidak akan pernah bisa bersama selamanya. Briena tidak ingin memberi harapan pada siapapun. Kalapun nantinya Ares memutuskan untuk berpisah, Briena akan meneriman keputusan Ares. Begitu juga sebaliknya, kalau Ares tetap ingin mempertahankan hubungan mereka, Briena juga akan menerima keputusan Ares. Ternyata Ares memilih untuk tetap berkomitmen, tentu saja Briena menerimanya dengan senang hati.
"Bagaimana kesan pertama pertemuan kalian?" tanya Ares lagi, pria itu tidak merasa terganggu sama sekali dengan kenyataan bahwa sebentar lagi perempuan yang sekarang masih berstatus kekasihnya itu akan menikah dengan orang lain. Yang bahkan merupakan salah satu kolega bisnisnya dalam bidang kuliner.
"Kesan pertama? Ya, cukup menarik. Dia tidak membuatku bosan. Kau tahu sendiri kalau pertemuan yang di sebabkan oleh perjodohan 100% pasti membosankan. Dia bisa menandingiku, aku dan Vian adalah jenis orang yang sama ... dan aku suka kenyataan itu," jawab Briena tanpa menutupi ketertarikannya pada Vian.
"Ambisius, pantang menyerah, jenius, ehm, jangan bilang egonya juga selangit sepertimu," ujar Ares sarkatis, pria itu mulai memperlambat laju kendaraannya karena lampu rambu lalulintas menunjukan warna merah.
"Kurang lebih seperti itu."
"Aku rasa sebentar lagi kalian akan menyandang gelar baru selain Best Asian. Kau Dewi Afrodite masa kini dan dia Hades masa kini," ejek Ares.
"Kisah hidup kita akan semakin terlihat seperti drama fiksi kalau kau menyamakan kami dengan dewi atau dewa dari Yunani, Res. Aku benci mendengarnya.
"Aku lebih membenci itu," ucapan dari Ares barusan menutup pembicaraan tersebut.
Perjalanan berlanjut dalam diam, lagu yang terputar berganti dengan lagu dari Alan Walker berjudul Lily. Mereka sampai di apartemen Briena beberapa menit kemudian.
"20-09-1991. Kau masih menggunakan tanggal lahirmu?" ujar Ares saat melihat jari lentik Briena menekan tombol password apartemennya.
"Kau 'kan tahu, satu-satunya angka yang mudah aku hafal hanya tanggal lahirku atau keluargaku," sahut Briena memasuki hunian mewahnya. Briena berjalan ke arah kamarnya untuk ganti baju sedangkan Ares merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Setelah berganti pakaian dengan kaos rumahan dan celana pendek yang hanya menutupi setengah pahanya, Briena berjalan menuju dapurnya untuk mengambil minum. Ares ikut menyusul Briena ke bagian dapur dan kemudian duduk di kursi depan bench dapur.
"Bagaimana dengan tanggal lahirku?" tanya Ares seraya mengamati Briena yang tengah melepas dahaganya.
Mendengar pertanyaan Ares barusan, perempuan itu hanya mengangkat alisnya bingung karena mulutnya masih menempel pada bibir gelas.
Ares memperjelas kalimatnya tadi. "Kau ingat hari ulang tahunku atau tidak?"
"Aku ingat. Hari Natal, 'kan," sahut Briena setelah menandaskan satu gelas penuh minuman dingin dari kulkas miliknya. Perempuan itu lalu menyerahkan satu kaleng minuman kepada Ares kemudian dia duduk menghadap kekasihnya itu.
"Cih, kalau bukan karena bertepatan dengan Hari Natal. Kau tidak akan mau repot-repot mengingatnya, 'kan?" cibir Ares pura-pura kesal.
"Ehm, mungkin, tergantung angkanya susah atau tidak. Kalau angka cantik aku pasti akan mengingatnya di luar kepala."
"Cih."
"Hei, kau sedang merajuk ya?" ejek Briena.
"Tidak."
"Aku bisa melihatnya dengan jelas."
"Tidak."
"Iya."
"Baiklah, terserah kau saja."
*****
Vian menikmati makanan dalam diam. Mengiris steik medium rare yang menggugah siapapun yang melihatnya. Tidak memperdulikan tatapan tajam dari Kea. Restoran tempat mereka menyantap makan siang tidak begitu ramai, hanya ada segelintir orang yang menikmati menu yang sama dengannya. Bau daging yang di bakar langsung di meja pengunjung menyerbak ke penjuru ruangan. Restoran ini tidak hanya menyediakan menu western tetapi juga menu Asia, seperti Korea, India dan terutama Indonesia.
Kea menaruh garpu di tangan kirinya di samping piring sebelah kiri, kemudian pisau di bagian sebaliknya. Meneguk jus jeruk pesananya hingga tandas separuh, melirik Vian yang masih menikmati makanannya tak mengacuhkannya.
"Tidak kau habiskan?" tanya Vian melirik makanan di atas piring Kea yang masih banyak.
"Aku sudah kenyang," sahut Kea seadanya.
Vian mengangguk kemudian menyuap potongan daging terakhir kemulutnya. Mengunyahnya hingga tandas dan kemudian minum air mineral di hadapannya. Mengelap mulutnya dengan sapu tangan yang sudah disediakan.
"Jadi ada apa?" tanya Kea setelah melihat Vian menyelesaikan acara makan siangnya. Mendengar kalimat tanya dari Kea, Vian menatap perempuan itu dengan kening berkerut bingung. "Alasan, Vi. Kau tidak mungkin menahanku tanpa alasan. Kea mengulang kembali pertanyaannya.
"Bukankah tadi pagi aku sudah bilang alasannya," jawab Vian membuat Kea memutar bola matanya jengah.
"Aku percaya kalau kau merindukanku, tapi aku tidak bodoh kalau alasan utamanya bukan itu," ujar Kea tersenyum sinis. Pria di hadapannya hanya tersenyum segaris saat mendengar kalimat sinis dari kekasihnya, lalu dia meminum segelas jus di hadapannya sebelum menjawab pertanyaan Kea.
"Aku di jodohkan dengan Kalebriena Virendra Afkarina. Kau tahu siapa dia, 'kan?" Akhirnya Vian melontarkan alasan utamanya menahan kepulangan Kea ke Paris.
"Putri tunggal pemilik Viren Grub. Aku tahu. Lalu?" tanya Kea tenang.
"Aku dan dia akan bertunangan tiga bulan lagi, lalu enam bulan setelah tunangan, kita berdua akan menikah. Tujuanku membicarakan hal ini denganmu adalah karena aku ingin memberimu sebuah penawaran, Key. Kau ingin tetap melanjutkan komitmen kita atau berhenti sampai di sini," ujar Vian menatap tajam mata Kea dengan tangan bersedekap di dadanya, ekspresi yang selalu di tunjukannya saat dia sedang serius.
"Khas seorang Kalvian, kau selalu menganggap semua hal yang berhubungan denganmu layaknya sebuah bisnis. Kau ini tidak ingin rugi, ya," ujar Kea tersenyum mengejek, dia sama sekali tidak merasa tersinggung dengan ucapan Vian barusan. "Aku tidak berniat untuk memutuskan komitmen kita, imbuh Kea memutuskan. Hingga kini hubungan yang mereka jalani tidak membawa dampak buruk bagi dirinya ataupun karir yang diagung-agungkannya, jadi perempuan itu memutuskan untuk tetap melanjutkan komitmen mereka, terlepas akan dibawa kemana hubungan mereka nanti.
"Baiklah, itu artinya kau masih mau berkomitmen denganku. Masih dengan peraturan dan konsekuensi yang sama," kata Vian terseyum miring.
"Setuju."
Makasih kalian semua sudah dukung cerita ini. Maaf jarang menyapa kalian, tapi plis dukung anak-anak saya ya.
Please, give me a power stone .
Jangan lupa juga kasih bintang dan review cerita saya yang lain, supaya anak-anak saya terkenal dan banyak yang baca.
Semoga Mas Vian dan Mbak Briena bisa naik rangking. Dukung mereka dengan memberi komen, like, atau power stone.
Thank you semua, ayam flu(๑♡⌓♡๑)
PYE! PYE!