Siapapun percaya, jika ada pertanyaan, Tuhan akan menyediankan jawaban. Baik itu hanya benar salah, atau uraian panjang seperti saat kita kuliah dulu. Baik pertanyaan mengenai kabar yang bersifat basa basi, sampai dengan pertanyaan yang menyentuh ranah pribadi. Walaupun menurutku, tak perlu ditanyakan karna waktunya kurang tepat, sayangnya, sanubariku, juga menanyakan jawaban yang sama pada Defiance.
"Inget Lo, orang yang kamu minta-i- tolong membawakan bunga, adalah korban dari kebodohan kamu. Kamu ribut sama dia, dan sekarang tiba-tiba, kamu membongkar makam Kekasih hati palsumu dan menguburkannya di villa ini, dengan orang yang notabene nya kamu benci.~Aku butuh jawaban. Demi nama keadailan, aku bukan cowoknya sih, tapi aku ini sahabatnya, aku pingin tau semuanya...….."
Defiance tampak bingung dan tak yakin. Ia melirik ke arah,meja yang ada di deretan belakang. Round table yang dipenuhi keluarga para mempelai dengan wajah ceria.
"Ceritanya panjang" ujarnya menghindar. Ini pasti akal-akalan dia saja untuk menghindar.
"Nggak papa, aku lagi nggak ada kerjaan juga, aku berdiri di sini, sambil nyalamin yang hadir sama kalian, toh masih belum mau duduk kan kalian"
Dan benar saja Jason berdiri mengambil posisi sejajar, sambil sesekali senyum menyalami tamu yang datang bersama kami bergantian. Disela-sela sepi tamulah mulut Defiance mulai bicara.
"Sebenarnya, hari itu, aku kembali ke makam dan bertanya,"
"Bertanya, ke arwah orang mati?" celetuk Jason membuat Defiance tertawa dan mencairkan cerita tegang penuh intrik ini.
"Bukan… Pada diriku sendiri. Aku menanyakan, sampai kapan aku mau terus berbohong, ini sudah sepuluh tahun. Kalau Hope bisa tau, maka cepat atau lambat yang lain juga akan tahu. ~"ceritanya lirih.
"Aku membuat semuanya seolah, akulah yang enderita, sebagi balas dendam. Tujuh hari di rumah duka,aku berharapbisamelihat artwahnya dan memakinya. Menayakan, apa maksud dari semua ini. Kenapa dia nipu aku. Aku yakin, Kalin sudah tau kalau sepuluh hari di rmah duka,tanpaair mata,bukan berdoa tapi mengutuki nya."
Kami melirik makam baru Artha. Kutukan seperti apa yang dia berikan pada Artha, pikirku.
"Aku mengutuknya, dengan tidak mengindahkan semua keinginanya, yang ia tulis di surat wasiat. Ya, aku adalah orang yang mebuat mereka terpisah. Aku memesan semua tanah tersisa di kanan dan kiri makam, membangunya se~indah mungkin. Kasat mata orang akan melihat, betapa aku mencintai dan kehilangan. Tapi mereka salah. Aku marah sekali dan berharap, dia tak pernah bahagia apalagi masuk surga. Aku pernah baca buku, Romeo dan Juliet mereka mati bersama demi cinta, dimakamkan bersebelahan. Walaupun itu tragedi, semua orang mengaguminya, kali ini. Aku buat berbeda. Ia menghinatiku dan membuat kebohongannya sendiri. Tugasku, hanya mendapatkan apa seharusnya, orang tak akan mengasihaniku. Mereka melihat aku yang gagal dan dipisahkan oleh takdir. Bukan tertipu mentah-mentah."
Seseorang datang dan kami berhenti.
"Iya, trimakasih," kata kami menyalami mereka dan mereka langsung menuju tempat makanan terhidang dan mencari tempat duduk.
"Jika mereka melihatku tertipu oelah wanita benalu, aku akan sangat malu dan mereka akan menertawaiku. Kau membuat masalah denganku, menipuku selama lima tahun, dan apa yang ku dapatkan, bukan kata maaf tapi peristiwa tragis sehari menjelang pernikahan"
"Sorry…" aku menyela "Apa kamu nggak pernah merasa ada yang aneh dengan Artha selama menjalin hubungan, pacaran maksud gue?"
"Dia orang yang baik lo, dermawan, suka sama anak kecil. Sopan, lemah lembut. Dia tak pernah marah padaku apapun yang terjadi. Ia tak pernah menamparku. Apapaun keputusanku, ia menerima tanpa keraguan"
Sindirnya padaku. Aku jadi merasa sedikit bersalah juga. Jangan-jangan aku adalah orang pertama yang menamparnya. Aih, es es es tak patut kata Upin dan Ipin, bila ini film mereka.
"Dia memintaku menjadi penyumbang ke Yayasan Kanker milik dokter, siapa sangka, yang aku sumbang adalah cinta sejatinya. Ia sengaja mencari orang kaya untuk ditipu memenuhi pengobatan sang cinta. Luar biasakan? Kenapa nggak ngomomng aja, aku pasti kasih kok." Ujarnya dengan sedikit sombong. Orang kaya emang sedikit sombong kalau masalah uang, makanya mereka agak susah mereka masuk surga.
"Yang mengetahui kenyataan bukan cuma aku, tapi orang tuanya juga. Orang tua Artha memohon agar aku memaafkannya. Tapi aku mengabaikannya. Aku malu, marah kecewa. Secara hukum, aku bisa tuntut mereka. Mengingat, orang tuanya juga ikut ambil bagian dalam penipuan berkedok cinta buta ini. Sebagai ganti aku tak menuntut mereka, aku lakukan semuanya sesuai caraku. Tapi, aku melakukannya tidak gratis. Tipa bulan, aku kasih uang ke mereka. Uang kompensasi. Aku tahu mereka jahat, tapi, adiknya masih butuh kuliah, mama dan papanya juga butuh uang untuk hidup. Artha adalah penyokong hidup mereka. Hanya caranya aja yang salah. Aku putuskan, kasih dana bantuan ke mereka.
Untuk orang tua Ken, mereka habiskan banyak uang untuk anak tunggalnya. Ia tak tak tahu kalau Ken, berhubungan dengan Artha. Mereka hanya bisa pasrah, dan menerima apapun yang aku putuskan. Mereka sadar, anaknya tak berhak mendapatakan apapun dari orang yang ditipunya. Aku juga kasih mereka uang kok tiap bulan, malah, kami akrab, aku sering datang saat tahun baru.
Mereka kehilangan anak, dan sedih. Saat aku datang, mereka senang. Dan asal kalian tahu, semua biaya pemakaman Ken, aku juga yang ambil alih. Tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya aku, dan ke dua orang tuanya."
Defiance mengambil nafas dan menghadapkan tubuhnya ke kami. Ini seperti ibu-ibu arisan yang sedang ngrumpi saat penarikan.
"Benar sekali, semua barang yang ada di kamar itu, semuanya palsu. Aku membeli barang yang Artha tak suka dan menatanya ulang. Aku mengambil foto prewed dan membakarnya. Itulah sebabnya, foto berganti lukisan. Jujur, saat aku pergi, aku merasakan hal yang aneh. Dua penjaga makam menelpon dan memintaku ke makam. Saat aku sampai di sana aku menemukan kamu. Menurutku, kau yang tidak suka makam, pasti, bukan tanpa alas an datang. Kamu pasti datang untuk sebuah jawaban. Dan sepertinya aku benar. Kau ada dimakam Ken.
Jujur, aku benci banget sama kamu. Sangat benci! Apalagi saat aku tahu, kamu berusaha membongkar kebohonganku. Aku pikir, jika aku berikan uang lebih, Kamu akan tutup mulut sama seperti Ai. Dan jujur selama ini Ai banyak membantuku mewujudkan kebohongan. Bahkan sadar atau tidak, saat kalian mengunjungi rumah Artha, Ai menelponku. Ia memintaku untuk menjemput kalian pulang. Tapi aku tidak melakukannya. Aku cukup diam. Dan memilih untuk tidak menemui kalian."
Sungguh tragis cerita yang ia ceritakan. Aku yang mendengarnya sampai merinding. Melihat tempatku berdiri sekarang, sebenarnya ada sedikit keraguan. Ilusi atau kenyataan.
"Setelah, kita ketemu di Villa, dan bertengkar hebat, aku sadar suatu hal. Sepertinya, tidak semua orang bisa dibeli dengan uang. Kamu menolak dan mengembalikan semua uang, hanya karna aku suruh kamu berbohong. Jujur dilihat dari segi manapun, bagiku nggak masuk akal. Kamu lagi collapse, tidak ada pekerjaan. Aku memberikan banyak uang dan kamu menolaknya. Ku pikir, penulis hanya menulis untuk berhayal dan mendapatkan uang serta ketenaran. Tapi, kamu menulis untuk membuat orang lain belajar. Mengakui kesalahan dan berubah.
Mungkin kamu nggak sadar, aku beberapa kali datang ke café. Aku mau tahu, kira-kira apa yang akan kamu lakuakan setelah ini. Balik menelponku minta maaf. Tapi kamu malah kerja di sana dan menulis. Kayaknya nggak ada penyesalan ya. Nggak ada penyesalan kehilangan banyak uang. Padahal, aku bisa aja kan buat kamu terkenal, kamalu hari itu kamu munuruti perintahku. Tapi rasanya nggak masuk apa yang kamu lakukan dan putuskan.
Membuang kesempatan untuk meraih mipimu, hanya karna... "
Defiance tak melanjutkan kata-katanya. Jason mendekatiku dan berbisik "Padahal kamu agak nyesel jugakan sebanarnya waktu itu...…..?" Dan aku menginjak sepatu barunya seharga tiga ratus ribu.
"Aku sih sebenarnya sempat kepikiran untuk minta maaf, tapi mungkin aku terlalu takut ya. Terus, kamu ingat editor buku kamu?"
"Indi?"
Jason hafal setiap wanita cantik yang ia kenal. Ya apa boleh buat, karna ditolak, jadi pasti ingat donk. Berkahnya, novelku bisa diedit lebih cepet karna nggak enak sama Jason.
"Indi itu, temenku seangkatan pas SMA dulu. Ya kita ketemuan. Ngobrol-ngobrol…."
Aku memotong "Oh, Jadi Indi itu seumuran kamu?, Untung lo kamu Jason, dia nolak kamu"
"Ha ha ha, Puas?" sahutnya "Jadi, Indi milih kamu dari pada aku?"
"Milih aku?"
"Ya!!!"
"Aku nggak suka kok sama dia, Aku ketemuan juga karna dia kasih undangan nikahan "
"Ya, baguslah kalau gitu …Setidaknya kamu juga nggak dapat dia, aku juga nggak!"
Mereka malah bertengkar. Benar-benar, mereka itu sebenarnya orang macam apa sih. Yang satu mudah tersinggung. Yang satu, uring-uringan karena terlalau sering ditolak. Yang satu tersinggung karena dituduh suka sama Indy. Apa faedahnya toh sama-sama nggak ada yang dapat. Orang yang aneh.
"Aku ngobrol sama dia juga bukan ngobrol yang aneh kok, dia hanya bilang dia sedang sibu mengedit sebuah cerita yang menurut dia aneh. Setelah ia cerita aku merasa cerita sangat familier dan dia bilang pengarangnya adalah Dia. Udah itu aja. Nggak ada lagi…."
Jason diam dan menyadari kesalah pahamnya nya.
"Terus, apa motivasi kamu membentuk semua ini!Aku tanya buat apa? Buat apa melepaskan semua kebohonganmu. Demi siapa?"
Satu dua tiga empat. Aku menghitung lamanya Defiance diam. Seratus empat belas seratus lima belas. Dia masih diam. Dua ratus, dua ratus sekian, dua ratus sekian. Tamu-tamu mulai sepi. Tiga ratus tak terhitung, empat ratus tidak tahu, Defiance juga masih diam dan melihatiku.
"Jangan tanya aku aku nggak tau alasanya!" kataku dalam hati.
Keheningan ini terpecah karna akhirnya sahabat baikku memutuskan untuk undur diri. "Dah Lah Tau Aku jawabanya. Aku mau makan aja"