webnovel

KING BULLYING -PERINGATAN!

Jarum jam menunjukan pukul tiga sore, bel sekolah berdering dengan nyaring, pekikkan senang terdengar dimana-mana, sebab ini adalah waktu yang sangat di tunggu-tunggu oleh seluruh warga sekolah termasuk guru-guru sekalipun. Galena berjalan santai menuju gerbang sekolah, belum sampai satu minggu dirinya bersekolah di SMA Merdeka dan Galena belum pula mendapatkan seorang teman pun. Vano, Austin, Kelvin, Agam dan Ana sudah masuk ke dalam blacklist dari daftar calon teman Galena.

Sejak jam pelajaran ketiga, yang ada di pikiran Galena hanyalah ingin cepat-cepat pulang agar bisa bertemu kangen dengan kasur tercinta, alias rebahan. Galena dibuat pusing dengan tingkah aneh dan celotehan Vano yang tidak ada habisnya.

Namun seribu sayang, Galena harus mengurunkan niatnya untuk segera temu kangen dengan kasur karena ranselnya tiba-tiba di tarik secara paksa oleh seseorang. Sontak Galena berdecak kesal, kesal lama-lama dengan orang-orang yan telah mengganggu ketenangan hidupnya, padahal seingatnya, ia tidak pernah melakukan kesalahan apapun terhadap mereka.

Galena menatap sinis orang yang telah menarik ranselnya secara paksa, kali ini pelakunya adalah Ana.

"Ck, minggir. Gue mau pulang," usir Galena tak tanggung-tanggung.

"Oh, jadi ini elo? Cewek yang gue lihat tiga tahun lalu," Ana tersenyum miring, sebenarnya Ana belum pernah melihat Galena sama sekali sebelumnya secara langsung, Ingatannya kembali terlempar pada tiga tahun yang lalu, lebih tepatnya adalah terawangan dirinya sendiri.

"Gue gak ngerti apa maksud lo dan gue gak mau tahu." Desis Galena tegas, baru dua langkah ia pergi menjauh, Ana kembali menarik Galena. Menahan agar Galena tidak pergi sebelum pembicaraan mereka benar-benar selesai.

Sudah tiga tahun Ana di buat penasaran oleh si gadis berhati dingin ini. Ana bahkan baru sadar jika selama Galena bersekolah di SMA Merdeka, ia belum pernah melihat Galena tersenyum.

Galena tersenyum miring, memasang senyuman picik menyadari bahwa yang ia hadapi sekarang hanyalah seorang Anatasya Guinea, tanpa ada bala bantuan apa dan siapapun. Baiklah, sepertinya ini adalah waktu yang tepat. Perempuan lawan perempuan, adil bukan?

"Gue ngelakuin ini tanpa di suruh siapapun, dan gue ngelakuin ini demi kebaikan lo sendiri," ujar Ana seraya melipat kedua tangannya. sementara Galena hanya menatap Ana dengan tatapan tak minat, merasa tak tertarik dengan topik pembicaraan Ana.

"Kebaikan gue? Tau apa lo tentang gue?" tanya Galena dengan nada meremehkan.

Kelvin yang baru saja hendak pergi menuju parkiran langkah kakinya terhenti saat melihat sesuatu yang menarik sedang terjadi, yaitu Ana dan Galena sedang bertengkar. Ternyata sudah ada Agam dan Austin yang sudah memperhatikan pertengkaran kedua gadis itu sejak tadi seraya memakan cimol. Kelvin menghampiri Agam dan Austin.

"Seru gak?" celetuk Kelvin sambil merangkul kedua temannya itu. Agam mengangguk pelan dan berulang-ulang tanpa melihat lawan bicaranya.

"Seru. Cewek setan ketemu cewek iblis." sahut Austin.

Kelvin tertawa, ia mengerti apa maksud Austin barusan. Ana si gadis yang berteman dengan makhluk halus sedang bertengkar dengan gadis yang sifatnya dingin dan kejam bak iblis. Tapi keduanya adalah gadis yang cantik, cantik tapi menyeramkan.

"Gue peringati, jangan dekat sama Vano." Raut wajah Ana begitu serius ketika mengatakannya, meskipun peringatannya terdengar cukup konyol.

Galena mendengus, "Siapa juga yang mau deketin." bahkan berada berjarak satu meter dengan Vano pun Galena sudah enggan.

"Lo bakal menyesal setelah dekat sama Vano."

"Lo bukan tuhan." Galena mengedikkan bahunya tak acuh.

Ana memejamkan matanya sejenak. "Lo terlalu kejam untuk Vano."

"Bukan urusan lo." Balas Galena cepat.

"Lo cewek berhati dingin,"

Tak paham dan tak ingin memahami apa maksud Ana dari pembicaraan mereka yang begitu taksa, Galena mengedikkan bahunya tak acuh. Merasa pembicaraannya dengan Ana sungguh tidak ada artinya.

"Buang-buang waktu gue ngomong sama lo." Ketus Galena sebagai tanda untuk mempertegas berakhirnya pembicaraan mereka.

Ketika Galena hendak pergi, lagi, Ana mencekal tangannya agar Galena tidak pergi.

"Asal lo tau, gue serius. Suatu saat lo bakal menyesal setelah kenal Vano lebih lanjut."

Galena terdiam, mencoba mencerna setiap kalimat yang di lontarkan oleh Ana barusan. Di luar dugaan Ana, Galena malah menanggapinya dengan kekehan sinis. Galena benar-benar terlihat seperti iblis hari ini.

"Waktu gue terlalu berharga untuk ngomongin hal kayak gini. Asal lo inget, lo gak punya hak untuk mengatur hidup gue dan gue juga berhak ambil keputusan sendiri. Mau gue dakat atau enggak sama Vano, gue siap menanggung risikonya." Setelah mempertegas di setiap kalimat yang ia lontarkan, Galena segera berlalu dari hadapan Ana tanpa Ana cegah lagi seperti sebelum-sebelumnya.

Dari jarak lima meter, Agam tertawa geli melihat raut wajah Ana yang pias saat ini. "DO YOU LOSE, HUH?" teriaknya dengan nada mengejek, menimbulkan perhatian bagi siswa-siswi yang berlalu lalang karena terkejut dengan teriakan Agam.

Sontak Ana menoleh dan menatap Agam tajam. "Jangan salahin gue kalau nanti lo pulang di gangguin."

"JANGAN NAKUTIN GUE, SETAN!"

***

Vano mengernyitkan dahi di balik helm hitam yang di gunakan. Lelaki itu sudah siap untuk pulang ke rumah, hanya tinggal melajukan motor besar hitamnya dan pergi meninggalkan pekarangan sekolah. Vano memperhatikan Galena yang sedang duduk di halte depan sekolah. Baru saja Vano hendak menghampiri Galena, tapi terlambat. Lelaki menggunakan motor besar berwarna putih yang sudah lebih dulu menghampiri Galena membuat Vano mengurungkan niatnya. Karena ia tahu siapa pemilik motor besar putih itu, yang tak lain adalah Alvino Seano. Sepupunya sendiri.

"Hai Glen!" sapa Vino sambil melepaskan helmnya. Galena yang mlihat kehadiran Vino di hadapannya hanya mengangguk tanpa senyuman sedikitpun. Vino, orang pertama yang di kenalnya saat masuk ke sekolah SMA Merdeka ini. Vino, si ketua osis dari jurusan IPA merupakan murid teladan yang di sayang oleh guru.

"Mau bareng gak?" tawar Vino. Galena menjawabnya dengan gelengan kepala, bahkan bibirnya tidak menyunggingkan senyuman sedikitpun.

"Gue bisa pulang sendiri," tolak Galena secara terang-terangan, tak ingin berbasa-basi.

"Aish, jahat banget lo nolak kebaikan gue. Kapan lagi ketua osis nawarin tebengan secara cuma-cuma."

Tapi Galena tetap menggelengkan kepalanya yang berarti ia menolak penawaran Vino secara mentah-mentah.

"Sekali doang ya tuhan, sekalian gue mau beli makanan di daerah rumah lo." Vino masih belum menyerah untuk membujuk Galena.

Vano berdecih sinis mendengar bujukan sepupuna yang terdengar begitu menyebalkan di indera pendengarannya. "Halah ngomongnya doang sekali, nanti juga ketagihan jadi berkali-kali." gumam Vano dengan nada sinis.

Galena kembali berpikir. Lumayan menghemat ongkos untuk angkutan umum. Lagi pula Vino adalah orang yang paling baik di antara orang yang di kenalinya di SMA Merdeka.

"Oke." Putus Galena akhirnya, gadis itu segera menaikki motor milik Vino sebelum motor besar putih itu meninggalkan area sekolah.

Tanpa mereka ketahui, Vano mengikuti mereka dari belakang menggunakan motor besar hitamnya.

Motor Vino terhenti di depan rumah bercat putih besar. Rumah berlantai dua, halaman luas namun terlihat begitu sepi. Galena turun dari motor Vino, berisap untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Makasih," ucap Galena seadanya. Vino berdecak karena Galen mengucapkannya tanpa sebuah senyuman.

"Gak pake senyum?"

"Buat apa?" tanya Galena polos.

Ingin sekali rasanya Vino membenturkkan kepala Galena ke tembok. Sikap gadis itu benar-benar membuat Vino jengkel. Seperti gadis polos tak punya hati.

"Aish, udah sana masuk. Bisa-bisa gue darting kalau ngomong sama lo," usir Vino. Galena terseyum tipis bahkan Vino sendiripun ragu apakah itu sebuah senyuman atau bukan.

"Take Care." pesan Galena singkat sebagai bentuk basa-basi agar menunjukkan bahwa ia masih menjadi manusia yang tahu diri.

Setelah mengucapkannya, Galena langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa perlu repot-repot menoleh ke belakang untuk mengecek apakah Vino sudah pergi atau belum.

Vano yang melihat kejadian itu dari jarak yang cukup jauh hanya bisa terdiam. Terdapat dua buah kesimpulan hari ini yang bisa Vano ambil.

Pertama, ia sudah mengetahui dimana tempat tinggal Galena.

Kedua bagaimanapun caranya ia harus bisa meluluhkan hati Galena. Gadis berhati dingin dari samudera terdalam.

Next chapter