Puncak gedung adalah tempat yang terbilang aman untuk mengawasi sekaligus melancarkan aksi. Annelyn memutuskan untuk mendarat di sana setelah memanjat menggunakan tali pengait senapan. Lewat pembidik, Annelyn melihat banyak portal bermunculan di langit, dari situlah banyak robot tambahan dikeluarkan.
"Ini gawat," ucap Annelyn menurunkan senapannya, "Jumlah robot jadi semakin bertambah akibat portal itu."
"Lalu apa?"
Suatu benda keras dilayangkan hendak memukul Annelyn, sontak Annelyn melindungi dirinya menggunakan senapan, tapi tubuhnya berhasil terdorong jauh akibat pukulan tersebut.
Annelyn berusaha mengatur nafasnya yang tak karuan akibat terkejut, lengannya juga jadi terasa kebas karena menahan pukulan tersebut. Mata cokelatnya melihat lurus ke depan, menemukan sosok misterius berdiri di hadapannya.
Sosok itu merupakan pria lusuh dengan tinggi badan sama dengan Annelyn, berponi panjang menyamping, dan berdiri dengan memanggul sebuah sekop besar di bahu. Dia hanya berdiri dengan menyunggingkan sebuah seringai dan menatapnya dengan mata sayu berlingkaran hitam seperti orang kurang tidur.
Sungguh, Annelyn sama sekali tidak tahu siapa orang yang menyerangnya ini. Yang pasti, orang ini bukanlah sosok yang bisa diajak kerja sama. Bisa saja ia merupakan dalang dari semua kejadian di sini.
"Hmm…. Tak kusangka bakal ketemu sama gadis cantik," ucapnya dengan nada lesu.
Annelyn berusaha menegakan posisi berdirinya, "Siapa kau? Apa kau orang yang telah merencanakan semua ini?"
Ada jeda sedikit di antara percakapan mereka hingga sosok itu bicara, "Bukan aku, tapi aku ambil bagian di sini."
Annelyn menatap tajam sosok itu, tangannya dengan sangat erat menggenggam Sniper Ecclipsia, bersiap kalau sewaktu-waktu sosok itu kembali menyerangnya.
"Grant…. Panggil saja aku Grant…."
Tidak ada satupun yang saling bicara lagi. Keduanya sibuk saling pandang satu sama lain dengan pandangan berbeda di atas gedung berhembuskan angin menerpa tubuh mereka. Annelyn menatap Grant waspada, sedangkan Grant nampak datar seakan-akan tidak tertarik untuk meladeni Annelyn.
Tapi, siapa yang tahu arah pikiran Grant saat lidahnya menjilati bibirnya sendiri?
~*~*~*~
Area gedung saat ini sudah dikosongkan tanpa ada karyawan atau manusia-manusia lain berkeliaran di sini. Hanya ada kehancuran dan banyak robot yang semakin memperburuk keadaan.
Xeno baru saja berhasil keluar gedung kantor Grace Orps. Dia langsung menerjang semua Robot Malware sekaligus sampai hancur ketika mereka hendak menyerangnya. Xeno takkan membiarkan para Robot Malware berhasil meretas AndroMega-nya seperti yang dikatakan rekan-rekannya.
"Piyo, yang lainnya pada kemana?" tanya Xeno ketika melihat ke segala arah mencari keberadaan teman-temannya, tapi yang hanya ia temukan hanyalah robot-robot.
"Piyo…?" Anak ayam Piyo di atas kepalanya pun juga bersuara kebingungan.
"Xeno!"
Sosok Horu baru saja mendarat di samping Xeno setelah melompat dari lantai dua gedung. Di sampingnya, Horu berdiri sambil memegang Tongkat Elektra-Volt.
"Horu! Syukurlah, Horu selamat, Pyo," ucap Xeno riang. "Ta-tapi…, senjatanya?"
"Tak apa. Robot-robot Malware yang kau hantam tadi adalah rombongan terakhir. Jadi, kita bebas menggunakan AndroMega."
Xeno bisa bernafas lega mendengarnya. Setidaknya, dia tak perlu repot hantam sana hantam sini cuma untuk menghancurkan semua robot.
Rencananya, mereka akan segera pergi menyusul rekan-rekan dari Tim Golden dan Tim Silver, tapi langkah mereka terhenti ketika sebuah bola keras melesat cepat hampir mengenai Horu. Syukurlah, Horu bergeser menghindarinya, membuat bola itu menabrak tembok gedung di belakang mereka sampai retak. Bola tersebut berputar semakin kencang di tempat, membuat dinding gedung itu semakin panas akibat gesekan, lalu meledak.
Bola itu kembali melesat lurus ke arah Horu dan Xeno, tapi bisa dihindari dengan berguling ke arah yang berbeda. Ketika mata mereka mengikuti arah bola melesat, bola tersebut seketika berhenti di tangan seseorang dari balik kepulan asap.
Mereka melihat sosok pemuda tinggi berkulit tan dengan rambut gimbal melangkah keluar dari kepulan asap sambil memutar-mutar bola tadi di atas jari telunjuk, sedangkan tangan satunya dimasukan ke dalam saku celana.
"Yo, Agent!" sapanya dengan seringai remeh. "Mau bermain bersamaku?"
Horu maupun Xeno sama sekali tidak menjawab, mereka berdua hanya saling berpandangan, memberi sinyal bahwa orang di hadapan mereka mungkin merupakan sosok yang menjadi ancaman.
Mereka harus berhati-hati….
~*~*~*~
Setelah jatuh dari ketinggian gedung sambil menghancurkan semua Robot Malware secara tak karuan, Rick berhasil mendarat disusul oleh Kobra dan Regan. Ketika semua Robot Malware dipastikan sudah tidak ada lagi, Rick berusaha memeriksa keadaan senjata lewat monitor gelangnya.
"Sialan! Senjataku kena retas pula," omel Rick jengkel.
"Apa masih bisa digunakan?" tanya Regan menghampiri sang ketua.
Rick bernafas lega mengetahui senjatanya aman, ia pun menjawab, "Masih. Tapi kinerjanya mungkin takkan maksimal."
Saat mereka sempat berbicara, insting reptil Kobra kembali merasakan keberadaan kuat sosok Ali di sekitar. Di sana, ia melihat Ali tengah berlari menuju parkiran bawah tanah.
"Rick! Regan!" Kobra menunjuk. "Ali pergi menuju parkiran bawah tanah."
Melihat sosok Ali, membuat emosi Rick semakin meletup-letup. Kali ini, dia tidak akan membiarkan si biang kerok itu lari.
"Awas saja orang itu! Aku ulek badannya sampai jadi rujak!"
"Kata-katamu itu, Rick…," ucap Regan datar menanggapi sifat labil Rick.
Ketiganya hendak berlari mengejar Ali, tapi langkah mereka terhalang oleh beberapa robot, mengepung mereka. Rick mengumpat dengan bahasa binatang, dia sudah gemas ingin sekali menghajar Ali, tapi malah berakhir ditahan oleh robot-robot.
"Bagaimana ini?" tanya Regan, "Kita tidak bisa membiarkan Ali kabur begitu saja."
"Kalian pergilah, biar aku tahan semua robot ini," usul Kobra.
Tanpa menyia-nyiakan usul Kobra, Rick dan Regan segera berlari mengejar Ali, meninggalkan Kobra melawan para robot.
….
Sesampainya di parkiran bawah tanah, tempat mobil-mobil masih berjejer rapi tanpa celah, Ali menghentikan larinya di tengah-tengah area. Pria itu memasang earphone-nya, menyambungkan komunikasi dengan seseorang yang ada di tempat lain.
"Kau masih ada, Veronica?"
"Selalu ada dan siap menyelamatkanmu di belakang, Bos," balas Veronica disertai senyum dan nada ceria.
"Aku sudah sampai di posisi sesuai arahanmu. Bisa kau aktifkan portalnya?"
"Haha…. Kau terpojok, Bos?"
Di ruang gelap tempat Veronica beroperasi, wanita merah itu mengotak-atik semua layar hologram merah di depannya, menyusun macam-macam program dan mengatur koordinasi posisi Ali setelah pelacaknya diaktifkan.
"Aku mendapat notifikasi pengaktifan program Malware. Kau yang melakukannya?" tanya Veronica kembali selagi sibuk menyusun program.
Sekilas Ali tersenyum tanpa bersalah, "Yap. Anak pengusaha itu keras kepala tidak mau menyerahkan perusahaannya padaku."
"Masih seperti dulu. Kau terlalu kekanak-kanakan dalam menjalankan rencananya. Herannya, kau selalu beruntung. Lalu kalau perusahaannya hancur, harus bagaimana lagi?"
"Kami sudah mendapat banyak pemasukan di sana. Data-data yang dicuri juga sangat banyak. Lumayan untuk kita manfaatkan, bukan? Jadi, hancurnya perusahaan itu sudah bukan urusanku lagi. Lagipula, kehancuran perusahaan Grace Orps juga bagian dari rencana, bukan?"
"Astaga…. Aku akan melaporkan tindakan cerobohmu pada Master Obsidian."
Veronica terus menyusun programnya dan mulai menjalankan beberapa program. Tapi, salah satu program tidak mampu dioperasikan karena suatu sebab.
"Ada apa ini?" desis Veronica bingung.
Tangannya kembali mengetik cepat, menyusun ulang program dan menjalankannya, tapi tetap tidak bisa. Satu panel merah tercipta di samping, memperlihatkan peringatan bahwa ada sesuatu berusaha membobol keamanan sistem untuk menjalankan program portal. Bukannya panik, Veronica malah tersenyum aneh.
Veronica kembali menghubungi Ali, "Wah…. Sayang sekali, sepertinya kau harus menunggu."
"Sesuatu terjadi?"
"Iya. Ada seseorang yang mampu membobol beberapa sistem keamananku dan berusaha meretasnya. Aku harus mengatasi masalah ini lebih dulu. Jadi, tunggulah sebentar."
"Terserah."
Setelah komunikasi terputus, Veronica meregangkan kedua tangannya sesaat, mulai mempersiapkan diri untuk hal yang jauh lebih serius berusaha melawannya di sana.
"Kau menantangku, huh…?" ucap Veronica santai, menyeringai dalam bayangan gelap. "Baik! Kau akan menyesal telah menantang seorang peretas sepertiku, Peretas!"
~*~*~*~
Atap gedung organisasi seluas lapangan pada siang ini telah menyediakan beberapa helikopter untuk segera diberangkatkan. Setelah mendapat pesan dan hilangnya komunikasi dengan para Agent di Kota Masila, tepatnya di Grace Orps, Golden bergerak cepat memerintahkan pasukan khusus untuk segera dikirimkan ke sana.
Masalah tentang misi perusahaan Grace Orps terbilang serius. Mengetahui bahwa program yang ditemukan para Agent adalah Malware GIGAS membuat rasa cemas Golden meningkat.
"Silver, apa kau sudah berangkat lebih dulu?" tanya Golden lewat sambungan earphone di telinga saat ia baru saja memberi intruksi pada para pasukan, dan hendak masuk ke salah satu helikopter.
"Aku di jalan, Myo. Sudah berangkat bersama yang lainnya dari jalur asrama."
"Oke. Aku segera menyusul."
Setelah sambungan dimatikan, Golden masuk ke dalam helikopter, memerintahkan pilot untuk mulai menerbangkannya. Ketika baru saja duduk, matanya terarah memperhatikan gerak-gerik bocah dengan usia fisik sekitar 10 tahun dan memiliki banyak sirkuit elektrik kuning di sekujur tubuh hingga wajah. Bocah itu duduk sambil mengotak-atik layar-layar panel hologram berwarna kuning di sekitarnya, begitu serius menjalankan program.
"Terus berusaha tahan Virtozous itu sampai kita tiba di tujuan, Biner," perintah Golden serius.
Biner mengangguk paham, "Dimengerti."
~*~*~*~
"Haaah…."
Ali mendongakan kepala menatap langit-langit parkiran bawah tanah, spontan menjatuhkan earphone yang baru saja ia lepas ke tanah. Rekannya tengah mengalami kendala dalam menciptakan portal teleportasi, ia harus menunggu agak lama untuk bisa kabur dari sini.
Tapi sampai kapan?
Satu peluru melesat cepat ke arahnya. Ali bergeser cepat, menghindari peluru perak yang hampir mengenai telinga. Saat menoleh, mata hijaunya mendapati dua sosok yang baru saja ia temui di perusahaan.
Moncong revolver perak bermotif biru mengepulkan sedikit asap setelah memuntahkan peluru, Regan menodongkan senjata itu dengan satu tangan memegang pedang katana. Di sampingnya juga ada Rick yang ngos-ngosan sehabis berlari cepat mengejar Ali dengan amarah menggebu-gebu.
"Kau tidak boleh lari dari sini, Biadab!" teriak Rick keras, menggema di seluruh area parkiran bawah tanah.
Memutar sedikit tubuhnya, menghadap ke arah Rick dan Regan, Ali bersedekap dada dengan wajah datar nan tenang. Raut wajah rupawannya sama sekali tidak menampakan rasa terancam begitu saja.
"Kalian menantangku?"
"Kau pikir apa?! Duduk santai sambil minum teh menikmati kehancuran sekitar?!" sarkas Rick.
"Heh."
Ali memang terpojok, tidak bisa lari dan hanya menunggu portal kiriman Veronica. Namun, tidak buruk juga jika dia harus berhadapan dengan dua bocah ini.
~*~*~*~