webnovel

KUMPUL BERSAMA

Nadine membuka matanya berlahan, kepalanya sedikit pusing. Sudah 3 hari ini tidurnya selalu malam, sejak pertemuannya dengan Ardham.

Nadine menatap langit kamarnya dengan pandangan kosong. Wajah tampan Ardham bermain-main di kelopak matanya.

Nadine memejamkan matanya, sambil memeluk gulingnya sangat erat.

"Paman." gumam Nadine membayangkan dirinya dalam pelukan Ardham.

"Akkkkkhhhhh." teriak Nadine menyadarkan dirinya dengan pikirannya yang sedikit mesum.

"Drrrrrrt... Drrrrrrt"

ponsel nadine bergetar , terlihat nada panggilan dari Bibi Anna.

Dengan sedikit rasa malas, Nadine mengangkat panggilan Anna.

"Hallo...Nadine." suara Anna di seberang.

"Ya Bi An, ada apa?" tanya Nadine sambil memainkan jari kukunya.

"Bi An dan Ardham sudah di depan pintu sayang, apakah kamu tidak membuka pintu untuk kami?"

Nadine terbangun dari tidurnya, bergegas Nadine keluar kamar dan berjalan menuruni anak tangga.

"Maaf Bi An...Nadine baru bangun tadi." alasan Nadine, masih memegang ponselnya. Dan melangkah ke arah pintu. Di bukanya pintu depan dengan hati yang berdebar-debar.

"Ceklek "

Terlihat wajah Bi An yang tersenyum dan wajah Ardham yang tanpa ekspresi. Nadine membuka pintunya lebar-lebar mempersilahkan Anna dan Ardham masuk ke dalam rumah. Nandine membantu membawa salah tas yang bawa Anna. Bertiga masuk ke dalam ruang tamu yang sangat besar. Ardham menatap sekeliling ruangan, dan masih ada piano di ujung ,di samping ruang kerjanya.

"Masih tetap seperti tujuh tahun yang lalu. tidak ada perubahan sama sekali." Ardham menghela nafasnya yang terasa berat.

"Ayoo Bi An, Paman , Nadine antar ke kamar kalian." ucap Nadine dengan bersikap biasa menyembunyikan debaran jantungnya, dan luka hatinya.

"Nadine...Bi An tetap di kamar Bi An aja...biar Pamanmu juga di kamarnya." sahut Anna.

Nadine menatap Anna dan Ardham bergantian dengan heran.

"Bukannya kalian sudah menikah? kenapa tidak sekamar saja?" tanya Nadine dengan sedikit curiga.

"Nadine, kamu tahu kan Bi An akan jarang di rumah karena pekerjaan Bi An yang sering keluar kota...dan lagi...Pamanmu Ardham lebih sering di kamar kerjanya." jelas Anna. Namun Nadine masih belum menerima alasan Anna.

Mata Nadine beralih menatap Ardham meminta suatu penjelasan.

"Anna...harusnya kamu jujur saja pada Nadine kalau aku terkena virus HIV dua tahun yang lalu...yang menyebabkan kita tidak bisa sekamar." sahut Ardham pada Anna.

Tubuh Nadine melemas, hati Nadine terasa sedih dan terasa sakit mendengar perkataan Ardham .

Nadine menatap Anna dengan mata yang berkaca-kaca.

"Benarkah yang di ucapkan Paman, Bi An?" tanya Nadine pada Anna.

Anna menganggukan kepalanya, dadanya kembali sesak dengan kebohongan yang di buat Ardham untuk menghindari kecurigaan Nadine.

"Berapa banyak lagi kebohongan yang akan kamu buat Dham." batin Anna sakit.

"Biar Bi An aja yang antar pamanmu sayang." ucap Anna dengan tatapan kecewa pada Ardham.

"Baiklah Bi An, jika perlu sesuatu panggil Nadine aja ya." Balas Nadine masih menatap pada Ardham dengan hati yang tidak percaya, jika pamannya mengidap penyakit yang sangat mematikan. Hati kecil Nadine ingin sekali dia yang menjaga Ardham dalam melewati hari-harinya. Namun Nadine menyadari dengan cepat , jika Ardham tidak mencintainya.

Anna mengikuti Ardham yang berjalan lebih dulu ke arah kamarnya. Sampai di dalam kamar, Nadine mengunci pintu kamar dari dalam dan menatap Ardham dengan sangat kecewa.

"Kebohongan apa lagi ini Dham..kenapa kamu harus berbohong sampai seperti." kata Anna dengan suara penuh tekanan.

"Tidak apa-apa jika itu untuk kebaikan Nadine, kita harus mendukung marvin agar bisa segera menikahi Nadine." berat suara Ardham dengan pikirannya yang rumit.

"Terserah kamu kalau begitu ...aku tidak bisa mendukungmu kali ini...aku tidak bisa melihatmu menderita Dham...aku juga tidak ingin hidup Nadine hancur." keluh Anna putus asa.

"Nadine akan bahagia, dia sudah mempunyai Marvin sekarang." singkat Ardham.

"Aku tidak yakin Dham...aku masih melihat cinta begitu besar di mata Nadine untukmu Dham."

Ardham memicingkan matanya melirik Anna, yang sedang menatapnya.

"Apa yang kamu katakan?" tanya Ardham dengam hati yang tiba-tiba berdesir saat Anna mengatakan jika Nadine masih mencintainya.

"Nadine masih mencintaimu...aku bisa melihatnya dengan jelas." tatap Anna yakin.

Ardham diam tak bergeming, Hatinya kembali merasakan luka, perasaan cintanya pada Nadine harus di kuburnya dalam-dalam. Ardham tak ingin hidup Nadine dalam bahaya, hatinya tak bisa tenang sebelum dapat menemukan pembunuh kedua orang tua Nadine.

Ardham memejamkan matanya mencoba meredam perasaannya yang tak menentu, rasa rindu ingin dekat dan memeluk Nadine seperti tujuh tahun yang lalu.

"Bisa tinggalkan aku An, aku ingin sendiri sebentar, temanilah Nadine di atas dan bujuk Nadine agar bisa secepatnya menikah dengan Marvin."

"Aku tidak akan melakukannya, kalau kamu mau, lakukan sendiri." ucap Anna sambil berjalan membuka dan menutup pintu dengan keras.

Ardham melepaskan nafas panjang, di pijitnya kepalanya yang terasa pening. Pikirannya tak bisa berhenti memikirkan Nadine. Mata Ardham terpejam saat mendengar suara pintu terbuka.

"Ada apa lagi An...apa kamu berubah pikiran?" tanya Ardham tanpa membuka matanya.

"Ini Nadine paman...bukan Bi An." jawab Nadine memberanikan diri mendekati Ardham yang duduk di kursi.

Mata Ardham terbuka, Nadine sudah berada sangat dengannya. Ardham menatap mata Nadine dengan pandangan yang rumit.

"Apa yang kamu lakukan di sini Nad?" tanya Ardham menegakkan punggungnya. Jantungnya berdebar-debar kencang tak percaya jika Nadine berani menemuinya di ruang kerjanya.

"Nadine...Nadine sangat merindukanmu paman...sangat rindu." cicit Nadine dengan kepala tertunduk. Hati Ardham bagaikan tersiram air yang sangat dingin, sangat menyejukkan hati.

"Apa yang kamu katakan Nad?" dingin suara Ardham, bertolak dengan suara hatinya yang mulai berdetak seirama dengan rasa rindunya pada Nadine.

Suara tangis Nadine tiba-tiba pecah , sambil menubruk tubuh Ardham yang masih duduk di kursinya. Nadine memeluk tubuh Ardham dengan sangat erat.

Jantung Ardham berhenti, merasakan pelukan Nadine. Sungguh Ardham tak bisa menahan rasa rindunya.

Next chapter