webnovel

Teh dan Kurt

Chiru'un mengecup anaknya lagi, ketika Likuun naik lagi ke atas kereta, lalu menyelipkan bungkusan kain merah ke pangkuan anaknya.

Ibunya berkata dengan riang, seperti anak kecil, "Kalau kalau bisa menyogok Gurumu, berikan itu."

"Apa yang kau berikan padanya?"

Chiru'un hanya tertawa panjang sebelum masuk ke dalam rumah.

Ketika Wander membuka bungkusan itu, ia melihat lipatan rapi mahakarya ibunya yang terakhir: Alkala Cassan!

Kurt Bodan Manjare, atau lebih dikenal sebagai Tukang Kebun Rambut Emas, adalah Pengejar Mimpi paling misterius di kota Fru Gar. Tidak seperti yang lainnya, beliau sudah lama tinggal di kota ini jauh sebelum gelombang migrasi para Pengejar Mimpi. Yang menjadi anehnya, beliau memiliki sebuah wisma besar dan mewah di Bagian Timur kota, di mana ia tinggal di dalamnya bagaikan seorang pertapa, jarang sekali keluar dari rumah. Keberadaannya yang diam-diam ini telah menarik banyak orang mengunjunginya, tetapi semua macam tawaran ditolaknya mentah-mentah: dari menjadi pelindung, sponsor, saksi, tamu pesta, apalagi soal menerima murid atau tantangan bertarung. Tapi ketika penduduk kota mendengar cerita dari banyak Pengejar Mimpi lainnya, mereka sadar bahwa Kurt memiliki kemampuan dan reputasi yang sangat tinggi.

Ada sebuah cerita mengenai seorang Pengejar Mimpi yang terkenal kuat, liar, dan brutal. Pengejar Mimpi ini menunggui depan rumah Kurt setiap hari, demi menantangnya bertarung. Setelah berhari-hari tanpa hasil, suatu hari Kurt mendadak keluar dari rumahnya (menurut saksi karena sedang ingin belanja) dan segera ia dihadang oleh Pengejar Mimpi yang sudah haus darah ini.

Disaksikan para pejalan kaki yang kebetulan lewat, Kurt dengan santai tidak mengacuhkan lawannya sama sekali dan berjalan pergi dengan keranjang belanja di tangannya. Si Pengejar Mimpi menyerukan sumpah serapah dan menerjangnya dari belakang dengan serangan mematikan. Saat itu, semua saksi mata sepakat bahwa Kurt hanya berbalik dan menatap si Pengejar Mimpi. Lawannya itu mendadak berhenti seketika, lalu ia mulai gemetar hebat, sebelum ia berlutut di tanah dan menangis minta ampun. Hari itu, Kurt membeli beberapa kantung benih bunga matahari, peoni, dan melati, satu ikat bawang merah, dan setengah kati daging cincang dari pasar Distrik Timur.

Saat ia akhirnya berdiri di depan rumah Kurt, Wander merasa jantungnya berdebar kencang bagaikan kuda pacu. Rasanya jantungnya seakan melompat keluar dari mulutnya. Mulutnya terasa kering dan kakinya gemetaran tapi mungkin juga karena ia sudah lelah.

Dari luar, Rumah Kurt tidak bisa disangkal sangat besar. Bahkan lebih besar dari rumah-rumah para pedagang kaya, lebih besar dari sebagian kantor-kantor pemerintah. Tembok tinggi yang mengitari rumah itu membentang dari ujung ke ujung jalan itu. Tembok yang sangat aneh untuk dilihat, karena hampir setiap jengkalnya ditutupi tanaman merambat dan pakis. Mereka sekarang berdiri di depan sebuah gerbang bundar dari kayu yang menyeruak ke depan.

Gerbang itu seperti pintu ke dunia lain bagi Wander.

Likuun sama terkesannya dengan Wander saat menatap pintu itu, lupa sama sekali bahwa mereka bahkan belum mengetuk. Likuun tersadar setelah beberapa saat dan segera mengayunkan sepasang cincin di pintu gerbang itu dengan sopan. Suara ketukan membahana saar cincin membentur kayu gerbang.

Pintu itu terbuka cepat sekali, mengagetkan mereka berdua! Seakan-akan seseorang sudah menunggu mereka dari dalam. Seorang laki-laki setengah baya dengan rambut emas yang berkilauan, mekar bagaikan rambut singa, menyambut mereka dengan senyum sopan. Wajahnya bundar dan merah seperti buah saga, sementara kumis dan jenggot lebat keemasan menutupi sebagian wajahnya. Ia mengenakan sandal dan topi jerami, pakaian dari gombal berwarna hijau, celana hitam lusuh dan berdebu. Satu tangannya memegang sebuah sekop berlumuran tanah.

Jelas mereka sedang berhadapan dengan tuan rumah sendiri, meskipun penampilanya jauh dari bayangan mereka. Ia lebih pendek dan bundar dari yang mereka harapkan dari seorang ahli bela diri, tapi gerak-geriknya begitu mengesankan Wander. Sikapnya begitu anggun, percaya diri, dan berwibawa.

"Erh… Master Kurt?" Likuun bertanya dengan hati-hati.

"Ya. Aku sendiri. Sungguh hari baik bukan, hari ini?"

"Eh? Hari baik?"

"Aku sedang menunggu seorang tamu yang mungkin datang di hari yang indah ini. Lalu kalian datang. Sekarang masuklah. Ayo masuk." Ia membuka pintu lebih lebar dan mengundang mereka ke dalam dengan sangat ramah. Tanpa sadar mereka pun melangkah masuk.

Keindahan dari taman segera menerpa mereka sejak langkah pertama mereka ke dalam rumah itu. Sebuah hutan kecil berisi pohon-pohon bambu, pohon ek, bambu merungut, angsana, kiara, bahkan cendana yang rindang membentang di sebelah kanan, ditengahi oleh petak-petak bunga dan semak bunga liar yang tertata rapi. Bahkan dari pohon besar sampai ke permadani lumut yang tumbuh di bebatuan tampak serasi dan indah, begitu terawat hingga pandangan mata mereka tenggelam dalam keindahan pepohonan dan alam.

Di sebelah kiri, terdapat sebuah kolam pasir kecil yang dilalui oleh sebuah jembatan lengkung. Betapa takjubnya ia ketika menemukan berbagai tumbuhan gurun, termasuk semak-semak duri dan lilin kecil tumbuh di sana, sementara di ujung jembatan lengkung, diapit dua buah semak hoks yang tertata rapi, terlihat sebuah telaga kecil, yang dipenuhi berbagai tumbuhan air dan teratai. Di bawah sinar mentari sore, keindahan yang ia saksikan terlukis dalam nuansa keemasan lembut. Wander jadi ingin melihat bagaimana indahnya taman ini waktu-waktu lainnya.

Mereka dipandu memasuki halaman dalam. Terlihat di kejauhan sebuah wisma terbesar dan terindah yang pernah Wander lihat seumur hidupnya. Rumah itu tampak menjulang tinggi, terlihat sangat mewah. Akan tetapi, Kurt tidak membawa mereka menuju ke sana. Mereka menaiki sebuah undakan tangga bukit buatan menuju ke sebuah hutan kecil lainnya berisi pohon-pohon besar dan semak-semak bundar seukuran orang dewasa.

Di tengah hutan yang sunyi dan agak gelap itu, terdapat sebuah rumah kayu kecil. Atap dan dindingnya terbuat dari kayu merah dengan pot-pot tanaman bergantungan di depan serambi bundarnya.

"Ah!" Sang tuan rumah mendadak berhenti, senyumnya mengembang, "Aku lupa bilang… selamat datang di tamanku yang sederhana."

"Maaf telah merepotkanmu, Master."

"Tidak sama sekali. Hari ini hari baik bukan?" Kurt menyergah, "Jangan panggil aku Master. Aku tidak punya murid."

"Eh…" angin dingin bagaikan masuk ke hati Likuun dan Wander mendengar ucapan Kurt.

"Ayo masuk dulu. Tehku bisa melunakkan lidah yang paling kaku," Kurt tertawa lepas. Mereka berdua memasuki rumah itu dengan tanda tanya besar terus berputar dalam di hati mereka.

Bagian dalam kabin kecil itu sangat sederhana, tetapi suasana hangat dan nyaman segera menyirami mereka yang memasukinya. Seakan meja, kursi, dinding, sampai seluruh perabotan kayu dalam ruangan itu memancarkan suasana demikian. Mereka duduk di bangku-bangku dari kayu bulat, menghadap ke meja dari kayu yang diukir luar biasa indah. Kurt mengangkat sebuah ketel teh dari dekat tungku di tengah ruangan, yang tampaknya sudah ia persiapkan.

Sesudah saling bertukar basa-basi dan salam perkenalan, Kurt tersenyum semakin riang.

"Cangkir-cangkir ini akan senang. Mereka sudah lama digantung tanpa melayani tamu-tamu."

Wander melihat ke cangkir dan teko dari keramik yang begitu indah itu. Kurt memindahkan isi ketelnya ke dalam teko, lalu menuangkannya lagi ke dalam cangkir-cangkir porselen mungil ala Zirconia itu.

Setelah tuan rumah minum, mereka segera mengangkat cangkir mereka dan menyeruput isinya. Tapi segera setelah ia minum, Likuun langsung menaruh cangkirnya dan menjura dalam-dalam.

Sementara Wander merasakan cairan pahit tapi begitu lembut dan wangi di lidahnya. Rasanya begitu enteng dan menyegarkan. Ia langsung suka sekali pada minuman itu…

"K-kami tidak pantas… menerima minuman semewah…"

Tapi Kurt telah memotong kalimatnya, "Tuan-tuan yang terhormat, Teh ditanam untuk diminum. Teh ini memang teh kualitas tinggi, tetapi tidak ada yang gunanya rasa paling enak sekalipun kalau tidak dibagi. Ini kata-kata Baginda sendiri."

Semua orang tentu pernah mendengar ungkapan terkenal dari baginda Raja itu, tetapi Teh, salah satu dari Tiga Tanaman Suci, merupakan minuman paling mahal di Dunia. Bentuk murni dari sari daun teh memiliki nilai yang menyaingi batangan emas. Likuun pernah meminun teh dalam upacara-upacara khusus, tapi itu hanya teh yang telah diencerkan sekali dicampur dengan daun rempah. Kedai-kedai teh bahkan menggunakan ranting-ranting asalan serta rempah murahan yang dinyatakan sebagai teh. Likuun merasa begitu waswas dan ketar-ketir melihat cangkirnya sendiri. Ia bagaikan baru minum emas dalam satu tegukan!

Untuk beberapa menit, keheningan menguasai ruangan itu. Kurt tampak begitu menikmati saat-saat minum the demikian, sementara Wander minum terus dengan riangnya, terus menambah stres Likuun.

Teko teh mencicit lembut,

Isinya menggelegak,

moncongnya diam seanggun leher angsa,

Uapnya yang wangi menyelimuti,T

Aku mereguknya hingga puas,

sembari menatap rambut emas di hadapanku.

Jadeteacupcreators' thoughts
Next chapter