webnovel

15. Meminta Maaf

Gelora 💗 SMA

Hari Senin,

Entah, mengapa langkahku terasa berat memasuki gerbang sekolah. Seperti ada beban berton-ton yang mengganjal kakiku. Aku berangkat sekolah sendirian lagi, karena Rudy si tetanggaku itu sedang jatuh sakit. Menurut Ibuku, dia terkena penyakit typhus. Aku belum sempat menjenguknya, karena kemarin aku sangat malas sekali keluar dari rumah. Seharian aku cuma glusar-glusur di kasur.

''Poo!''

Ada suara yang memanggil namaku ketika aku berjalan di koridor.

''Polo!''

Suara itu terdengar lagi, namun aku belum mau menengok.

''Ricopolo!'' Kembali pemilik suara itu berseru. Dan kali ini aku langsung membalikkan tubuhku.

Deg ... aku langsung tertegun, karena di hadapanku sudah berdiri tegap sesosok makhluk yang muncul di alam mimpiku kemarin malam. Yups, sosok itu Bang Armando, eh Pak Armando. __Ingat ini di sekolah jadi aku harus menyapanya dengan embel-embel 'Pak'... untuk menghormatinya sebagai seorang guru.

Aku terdiam, aku masih tidak tahu musti harus bersikap bagaimana untuk menghadapi laki-laki yang satu ini. Marah, benci, takut atau bagaimana? I don't know. Aku hanya memperhatikan wajahnya yang cute dan fresh.

''Saya mau ngomong sama kamu, Poo ...'' ujar Pak Armando datar.

''Ngomong apa?'' Aku mendadak gugup.

''Tidak di sini ... ayo kita cari tempat yang aman!'' Tangan Pak Armando menarik lenganku dan membawaku ke tempat yang jauh lebih sepi.

''Lepaskan tanganku!'' Aku menghempaskan genggaman tangan Pak Armando.

''Sorry ...'' Pak Armando melepaskan genggamannya.

''Abang ... eh maaf, Pak Armando mau ngomong apa?'' kataku masih terdengar gugup.

''Kamu masih marah sama saya, Poo?'' kata Pak Armando perlahan.

Aku terdiam.

''Soal kejadian di rumahku kemarin, saya sungguh-sungguh meminta maaf sama kamu, saya khilaf dan saya sangat menyesal ...'' kata Pak Armando lagi dengan nada yang penuh dengan penyesalan, terlihat tulus.

Aku masih terdiam.

''Poo ... saya mohon maafkanlah saya!" Pak Armando merapatkan kedua telapak tangannya dan membuat formasi permohonan. Badannya sedikit merunduk dan tatapan matanya nampak teduh penuh rasa bersalah.

''Kenapa Pak Armando mencium bibirku?'' ucapku memberanikan diri setelah beberapa saat lamanya menutup rapat mulutku.

''Karena saya gemas sama kamu ...''

''Saya laki-laki ... bukan wanita, Pak!''

''Ya, saya tahu, tapi bibirmu benar-benar menggodaku ... dan saya tidak bisa menahan diri.''

''Pak Armando, maaf ... homo?''

''Bukan Poo!'' Pak Armando buru-buru menutup mulutku dengan telapak tangannya. ''Tolong, kamu jangan berpikir begitu, ini tidak ada hubungannya dengan hal-hal semacam itu, ini murni kekhilafanku ... Saya laki-laki normal dan saya masih menyukai perempuan!'' terang Pak Armando panjang kali lebar. Padahal aku tidak memerlukan itu. Sejujurnya aku menyukai ciumannya, tapi aku tidak mau Pak Armando tahu kalau aku juga mempunyai feel terhadapnya.

''Poo ... kamu mau 'kan memaafkan saya dan tidak menceritakannya kepada orang lain, kamu juga mau 'kan melupakan kejadian itu,'' Pak Armando melepaskan bekapan tangannya dari mulutku.

''Aku tidak tahu ...''

''Ayolah, Poo ... Saya janji, saya akan memberikan nilai yang lebih bagus buat kamu jika kamu mau merahasiakan ini."

''Pak Armando mau menyuapku?''

''Iya ... jika kamu mau berjanji pula untuk tidak membocorkannya kepada siapa pun.''

Aku jadi terdiam lagi, lebih tepatnya sih, lagi berpikir. Kayaknya lumayan juga tawaran ini.

''Bagaimana Poo, kamu mau, 'kan?''

''Iya ... aku mau memaafkan, Bapak ... tapi, ada satu syarat lagi.''

''Syarat apalagi, Poo ...'' Pak Armando mulai memperlihatkan wajah yang cemas.

''Kiss me more!''

''What?!'' Pak Armando membelalakkan matanya dan mulutnya melongo membentuk huruf  O.

''Hahaha ... I am kidding!'' Aku tertawa ngakak.

Pak Armando jadi ikutan tertawa.

''Dasar kamu ini, Poo ... nakal juga, ya!'' Pak Armando mengacak-ngacak rambutku.

''Pak Armando ... Bapak tak perlu menambahkan nilai untukku. Saya tulus memaafkan Bapak. Karena dalam memberikan maaf itu semestinya tanpa ada syarat apa pun.''

''Ricopolo ... kamu memang anak yang baik, terima kasih, ya. Saya sangat menyesal telah melecehkan kamu!'' Pak Armando tersenyum lebar.

''Hehehe ... sama-sama, Pak.''

Duh, kenapa aku bisa bersandiwara seperti ini, sih? Padahal dalam hatiku masih menjerit dan ingin berkata, "Pak Armando cium aku lagi, dong ... please! Ciuman Bapak tuh, enak banget tahu ... aku kepengen lagi ... lagi ... dan lagi.''

__Ya ... Tuhan kok, aku jadi tidak waras begini, sih?

Next chapter