Pak Bima menghampiri Damar ke kamarnya. Dia tahu, Damar mendengarkan apa yang dia bicarakan bersama Bara. Damar masih meringkuk di kasurnya ketika Pak Bima masuk ke dalam kamarnya.
"Saya tahu kamu mendengarkan, tidak usah pura-pura tidur," ujar Pak Bima santai.
Damar membuka matanya dan beringsut dari kasurnya. Damar duduk di pinggir ranjangnya dengan wajah tertunduk. Pak Bima segera duduk disebelahnya.
Pak Bima menghela napasnya. "Maafkan sikap Papa tadi," ujar Pak Bima.
Damar terdiam mendengar permintaan maaf Pak Bima. Masih jelas di ingatannya bagaimana sikap Pak Bima terhadapnya tadi. Bahkan setelah ia mabuk pun, ia masih bisa mengingatnya dengan jelas.
"Saya juga minta maaf, ucapan saya tadi sudah keterlaluan," ujar Damar sambil tertunduk.
Pak Bima menatap putra kesayangannya itu. Mencoba menerka apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan Damar. Ini pertama kalinya Damar bersikap demikian.
"Sebenarnya apa yang mau kamu lakukan?" Tanya Pak Bima.
Damar terdiam.
Pak Bima melanjutkan ucapannya, "Kamu tahu kan, sikap kamu tadi bisa membuat kamu dalam masalah."
"Saya sudah siap dengan semua konsekuensinya."
"Lantas kenapa kamu tetap melakukannya?"
"Saya lelah dan tidak ingin melanjutkan ini semua."
"Apa maksud kamu?"
"Sejak awal saya memang tidak berhak ada disitu, kalau bukan karena Papa, saya tidak akan pernah berada disini dan menikmati semua yang Papa berikan untuk saya."
"Saya belum mengerti kemana arah pembicaraan kamu," Pak Bima menatap Damar yang masih tertunduk.
"Saya sadar, saya hanyalah orang asing dalam keluarga ini," ujar Damar lirih.
"Hentikan ucapan kamu, ini seperti bukan diri kamu."
Damar menatap Pak Bima dengan tatapan sedih.
"Justru saat ini saya sedang menjadi diri saya yang sebenarnya."
Damar lantas menatap kosong pada ruang kamarnya yang luas.
"Sepertinya kamu masih mabuk," ujar Pak Bima.
Damar menggeleng. "Untuk kali ini, biarkan saya melakukan apa yang saya anggap benar," ujarnya.
"Jadi, kamu anggap yang Papa lakukan selama ini salah?"
Damar bangkit dari duduknya dan melangkah menuju meja kerja yang ada di kamarnya. Damar kemudian mengeluarkan amplop coklat pemberian Bara padanya dan memberikannya pada Pak Bima.
"Apa ini?" Tanya Pak Bima keheranan dengan amplop coklat pemberian Damar.
"Buka saja," Damar meminta Pak Bima untuk membuka amplop pemberiannya.
Pak Bima kemudian membuka amplop coklat tersebut dan mengeluarkan isinya. Tangan Pak Bima bergetar ketika melihat isi amplop coklat tersebut.
"Ini bukan seperti yang kamu pikirkan," ujar Pak Bima dengan nada bergetar.
"Lantas saya harus berpikir bagaimana ketika saya melihat bukti-bukti yang ada di depan mata saya?" Damar terdiam sejenak. Pak Bima juga hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan yang diajukan Damar.
"Saya merasa seperti berada di komplotan pencuri yang sama seperti saya kecil dulu," Damar tercekat dengan kata-katanya sendiri.
"Dari mana kamu dapatkan ini semua?" Pak Bima balik bertanya pada Damar.
"Papa tidak perlu tahu darimana saya mendapatkan itu semua, yang jelas, setelah saya melihat apa yang ada disitu, pandangan saya terhadap Papa dan Eyang mulai berubah," aku Damar.
"Sejak saya menerima itu, saya mulai berpikir, apa yang akan terjadi pada saya jika saya melawan pada kalian, dan hari ini saya sudah mendapatkan jawabannya." Damar berhenti sejenak untuk mengatur emosinya.
"Mungkin sebentar lagi, Papa dan Eyang akan membuang saya dari keluarga ini dan saya akan kembali menjadi orang asing bagi kalian." Ada rasa pahit ketika Damar menyelesaikan kata-katanya. Selama ini, perlakuan Pak Bima padanya jauh lebih baik ketimbang perlakuan Pak Bima terhadap Kimmy yang notabene adalah anak kandungnya. Karena perlakuan istimewa itu jua lah yang membuat Damar hampir lupa, bahwa sebenarnya dia bukanlah anak kandung Pak Bima.
"Kamu itu anak saya. Kamu bagian dari keluarga ini. Tidak akan ada yang bisa mengubahnya. Camkan itu baik-baik."
Fakta bahwa Damar bukanlah anak kandungnya, selalu menjadi sebuah perkara sensitif bagi Pak Bima. Bagi Pak Bima, Damar adalah putra kesayangannya. Putra yang sudah ia besarkan dengan segenap hatinya.
"Kalau saya ini anak Papa, kenapa Papa tidak memperlakukan saya seperti anak Papa, saya merasa saya ini cuma boneka yang kalian bentuk dan kalian gunakan demi kepentingan kalian, kalian tidak pernah membiarkan saya melakukan apa yang saya mau."
"Yang saya lakukan itu untuk melindungi kamu."
"Melindungi saya dari apa? Saya sudah cukup dewasa untuk mengetahui apa yang harus saya lakukan. Tolong, Pa. Untuk sekali ini, biarkan saya melakukan apa yang menurut hati saya benar." Damar memohon pada Pak Bima. Inilah kali pertama dia memohon pada Pak Bima. Damar yang selalu menuruti apa yang dikatakan Pak Bima, untuk pertama kalinya memohon untuk bisa melakukan apa yang dikatakan hatinya.
Pak Bima terdiam cukup lama. Damar duduk bersimpuh di hadapan Pak Bima dengan mata berkaca-kaca. Menunggu jawaban atas permintaannya. Pak Bima menatap mata Damar, mencari sosok bocah laki-laki kecil yang dahulu diselamatkan olehnya. Ingatannya melayang pada saat pertama kali dirinya bertemu dengan Damar.
----
Kala itu, Pak Bima tidak sengaja bertemu dengan Damar kecil di pinggir sebuah taman bermain. Tubuh Damar yang kurus dan kotor membuat Pak Bima iba dan mencoba mendekatinya. Mata kecilnya kala itu berbinar penuh semangat ketika menatap mata Pak Bima yang menawarinya sepotong roti. Tangan kecilnya dengan sigap segera menerima roti itu dan langsung memakannya. Kebetulan dirinya memang belum makan seharian. Pak Bima memperhatikan Damar yang sedang makan roti dengan lahapnya sambil tersenyum. Tidak disangka, melihat anak kecil begitu bersemangat memakan roti pemberiannya bisa membuatnya sangat senang. Setelah menontoni Damar makan, Pak Bima bergegas pergi untuk kembali bergabung bersama teman-temannya. Yang tidak diketahui oleh Pak Bima saat itu, Damar adalah anak kecil yang dipekerjakan oleh preman untuk mencopet dan hari ini adalah hari pertama Damar ditugaskan untuk mencopet di sekitar taman bermain tersebut. Pada saat Pak Bima lengah, Damar berhasil mengambil dompet milik Pak Bima. Ketika Pak Bima sudah pergi menjauh, Damar memandangi roti pemberian Pak Bima. Karena merasa tidak enak pada Pak Bima yang sudah berbaik hati memberinya makanan, Damar kecil memutuskan untuk mencari si pemberi roti di seluruh taman bermain untuk mengembalikan dompet miliknya. Akhirnya Damar kecil menemukan Pak Bima tidak jauh dari area permainan bola basket. Damar memberanikan diri untuk mendekati Pak Bima yang sedang bersama teman-temannya. Begitu tiba di hadapan Pak Bima, dengan takut-takut Damar segera mengembalikan dompet milik Pak Bima yang tadi diambilnya dan meminta maaf karena sudah mengambil dompetnya. Bahkan Damar meminta Pak Bima untuk mengecek isi dompetnya untuk memastikan bahwa Damar tidak mengambil apa pun. Pak Bima memperhatikan seluruh area taman dan menyadari, ada seorang pria yang terus menerus mengawasi gerak gerik Damar.
"Siapa yang menyuruh kamu melakukan ini?" tanya Pak Bima lembut.
Damar diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Pak Bima. Damar justru memainkan ujung kausnya sambil tertunduk.
Pak Bima menduga Damar adalah korban dari sindikat yang memanfaatkan anak-anak untuk melakukan tindak kejahatan, Pak Bima akhirnya memberikan kembali dompetnya untuk Damar. Namun Damar tidak mau menerimanya.
"Kamu akan dipukuli jika kamu tetap melakukan ini," ujarnya.
"Saya sudah biasa dipukuli," jawab Damar.
"Roti pemberian om enak sekali," lanjut Damar sambil tersenyum lebar dan menunjukkan deretan gigi depannya yang ompong.
Damar kemudian pergi meninggalkan Pak Bima tanpa mempedulikan Pak Bima yang terus memanggilnya. Dari kejauhan Pak Bima memandangi tubuh bocah laki-laki yang kurus kering dan mengenakan kaus yang besarnya melebihi besar tubuhnya itu sudah ditelan kegelapan. Pak Bima mencelos melihat sikap Damar. Kepolosannya membuat Pak Bima merasa simpati. Dia merelakan tubuhnya dipukuli hanya karena sepotong roti pemberian orang asing padanya. Pak Bima bergegas lari mengejarnya. Namun, anak kecil itu seperti benar-benar sudah ditelan oleh kegelapan. Pak Bima tidak berhasil menemukannya dimana pun di dalam area taman bermain. Merasa usahanya untuk menemukan anak tersebut sia-sia, Pak Bima akhirnya memilih untuk kembali menemui teman-temannya dan pamit undur diri. Pak Bima keluar dari area taman bermain sambil terus berharap bisa kembali bertemu dengan bocah laki-laki tadi. Pak Bima mengendarai mobilnya sambil terus memandangi dompetnya. Ketika sedang melamun memikirkan nasib anak kecil yang tadi ditemuinya, Pak Bima terkejut dengan anak kecil yang tiba-tiba melintas di depannya. Dengan cekatan Pak Bima menginjak pedal rem. Anak kecil itu berdiri ketakutan. Pak Bima segera mengenali bocah yang tiba-tiba muncul itu, dialah bocah laki-laki yang sedang ia cari-cari. Bocah laki-laki itu terdiam memandangi mobil yang berhenti persis di depannya. Tubuhnya yang sudah tidak kuat menahan rasa sakit akhirnya terjatuh di jalan aspal yang keras. Bocah itu sudah tidak merasa sakit lagi, yang ia rasakan adalah tubuhnya yang menjadi seringan kapas dan ia merasa sebentar lagi akan terbang ke surga.
-----
Pak Bima menyeka air mata yang sudah tertahan di ujung matanya.
"Kamu masih belum berubah, kamu masih tetap anak kecil berbaju merah yang saya temui dulu," ujar Pak Bima sambil menatap Damar dengan mata yang berkaca-kaca.
Damar tersenyum miris mendengar ucapan yang dilontarkan Pak Bima. Bahkan Pak Bima masih ingat warna baju yang ia kenakan pada saat pertemuan pertama mereka.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Pak Bima.
"Saya hanya ingin mengembalikan semua ke tempat semula."
"Apa yang kamu butuhkan?"
"Yang saya butuhkan hanya dukungan dari Papa." Damar menatap mata Pak Bima lekat-lekat.
"Baiklah, lakukan apa yang menurut kamu benar, Papa tidak akan menghalangi." Pak Bima mengalihkan perhatiannya dari wajah Damar untuk menyembunyikan air matanya.
Damar menggenggam lengan Pak Bima dan menempelkan dahinya pada lengan Pak Bima. "Terima kasih, Pa," ujar Damar tulus.
Pak Bima mengelus lembut kepala Damar. Bagaimana pun juga, bagi Pak Bima, Damar adalah putranya. Putra kesayangannya. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu.
"Kamu harus berhati-hati, jangan sampai kamu terluka," ucap Pak Bima pelan.
Damar mengangguk pelan.
****