Sebuah mobil melaju di sebuah jalan lintas provinsi yang sepi, mobil itu berisi sepasang suami istri beserta putra mereka yang masih kecil. Tawa canda menghiasi perjalanan mereka. Malam itu mereka hendak pergi ke kediaman orang tua mereka untuk merayakan tahun baru.
Perjalanan yang tadinya penuh tawa mendadak berubah begitu sang suami yang mengendarai mobil tersebut menyadari ada sebuah mobil yang mengikuti di belakang mereka. Dia langsung kembali memacu kendaraannya. Tidak ada lagi tawa di wajahnya, hanya ekspresi wajah penuh ketakutan. Mobil tersebut bergerak semakin cepat.
Sampai akhirnya mobil tersebut kehilangan kendali dan tergelincir ke jalur berlawanan. Dari arah berlawanan sebuah truk yang terkejut karena ada mobil yang tiba-tiba terpelanting di hadapannya, tidak sempat menghentikan laju kendaraannya dan akhirnya kembali menabrak mobil tersebut.
Mobil tersebut terpelanting semakin jauh, sampai akhirnya tersuruk di pinggir area persawahan. Ditengah kesadarannya yang menipis karena luka yang diderita, sang istri melihat tubuh suaminya yang sudah bersimbah darah dan tidak bergerak. Kemudian dia melihat putranya di bangku belakang yang terlihat sedang menahan sakit.
Dengan susah payah dia berusaha keluar dari mobil nahas tersebut untuk menolong putranya. Bersyukur putranya tidak terluka terlalu parah. Wanita tersebut melihat sekelilingnya, dia kemudian menuntun putranya ke sebuah semak-semak tidak jauh dari situ dan menyuruhnya untuk bersembunyi. Dia berpesan pada putranya untuk berlari menjauh dari tempat tersebut dan jangan pedulikan keadaan orang tuanya.
Sang ibu mengeluarkan kalung liontin miliknya dan memakaikannya pada putranya. Kemudian dia memeluk erat putranya dan meminta putranya untuk segera pergi dan berjanji apa pun yang akan terjadi setelah ini dia harus bertahan hidup bagaimana pun caranya. Anak laki-laki tersebut mengangguk, meskipun sambil menangis dan menahan sakit disekujur tubuhnya dia menuruti permintaan Ibunya dan mulai berjalan menjauh.
Sementara itu sang Ibu kembali ke kendaraannya dan mengeluarkan pemantik dari dalam mobil dan melemparkan pemantik tersebut ke genangan bensin yang keluar dari tangki bensin. Anak laki-laki itu terus berjalan sambil menggenggam liontin pemberian Ibunya. Ditengah jalan, anak laki-laki tersebut menoleh karena mendengar suara ledakan yang cukup keras. Dia melihat api yang membumbung tinggi dari arah lokasi kecelakaannya. Sambil menangis anak itu memalingkan wajahnya dan kembali berjalan.
----
"Heh bangun!" Arga menepuk bahu Bara yang sedang tertidur sambil menelungkupkan wajahnya di meja pantry. Bara tidak bergeming dari posisinya.
"Yee, kebo juga ini bocah," Arga kembali menepuk pundak Bara.
Kali ini dengan sedikit memberikan tekanan. Perlahan bara mengangkat kepalanya dan menoleh ke kanan kirinya, mencari orang yang sudah menepuk pundaknya.
"Ada apa Bang?" ucap Bara sambil mengucek matanya.
"Itu, Mbak Raya minta bantuin milah dokumen," jawab Arga.
Bara bangkit dari kursinya dan hendak segera melangkah menuju ruang kerja Raya.
"Cuci muka dulu sana, iler lu kemana-mana itu." Arga meminta Bara untuk membersihkan wajahnya terlebih dahulu.
"Emang gue ngiler Bang?" tanya Bara pada Arga sambil meraba-raba wajahnya sendiri.
"Coba aja lu ngaca."
Bara kemudian berjalan ke arah kaca di dekat wastafel. Bara menoleh pada Arga yang sedang terkekeh karena berhasil menipunya. Bara lalu membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar dan sedikit merapikan rambutnya yang terlihat berantakan.
"Ranu, sini cepetan," teriak Raya begitu melihat Bara sedang berjalan ke arah meja kerjanya.
"Kenapa Mbak?" tanya Bara.
"Bantuin ini," Raya menunjuk tumpukan dokumen yang ada di atas mejanya.
Bara melihat banyaknya tumpukan dokumen di atas meja kerja Raya.
"Harus selesai malam ini, besok kan weekend, gue ngga mau lembur, jadi sekalian temenin gue lembur ya, please." Raya memohon pada Bara sambil memasang senyum semanis mungkin.
"Wani piro nih?" canda Bara.
"Itu sih gampang," bisik Raya.
Bara kemudian mengambil posisi duduk di lantai dekat meja kerja Raya. Raya yang melihat Bara duduk di lantai akhirnya ikut bergabung duduk di lantai dan mulai memilah-milah dokumen.
Semakin malam para pekerja satu persatu mulai meninggalkan meja kerja mereka. Sementara itu Bara dan Raya masih berkutat merapihkan dokumen yang seolah tidak ada habisnya. Bara merenggangkan tubuhnya dengan mengangkat kedua tangannya. Bara bangkit berdiri dan memutar pinggangnya ke kiri dan kanan.
"Lapar ngga, Ran?" tanya Raya tanpa mengalihkan perhatiannya dari tumpukan dokumen di hadapannya.
"Ngga, biasa aja," jawab Bara. Tepat saat itu juga Bara merasakan ada suara yang keluar dari dalam perutnya.
"Perut lu ngga bisa bohong itu," Raya menunjuk ke arah perut Bara.
Bara tersenyum malu-malu sambil memegangi perutnya. Malu mengakui bahwa dirinya memang sudah kelaparan sedari tadi.
"Lu mau makan apa?" Raya kembali bertanya.
"Apa aja, terserah Mbak Raya aja," jawab Bara malu-malu.
Raya mengambil ponselnya dari atas meja, kemudian membuka aplikasi untuk memesan makanan.
"Lu mau nasi apa burger?"
"Nasi, Mbak. Kalau burger sih cuma ngotorin gigi doang," jawab bara.
"Mau kopi juga ngga?"
"Boleh."
Raya kemudian memesan dua paket nasi ayam spesial, dua buah kentang goreng dan dua buah es kopi untuk makan malam mereka berdua.
Kurang dari satu jam pesanan makanan mereka sudah tiba. Mereka berdua menghentikan sementara kegiatan memilah dokumen yang sedang mereka kerjakan. Mereka menikmati makan malamnya sambil sesekali mengobrol ringan. Di sela-sela makan malam, ponsel milik Bara berbunyi.
Bara melihat nama Kimmy dan langsung mengangkatnya sambil berjalan menjauh dari Raya. Raya memperhatikan Bara yang sedang menerima telpon. Pada saat Raya sedang memperhatikannya, Bara tiba-tiba menutup telponnya dan berbalik ke arah Raya. Raya mendadak gugup, khawatir Bara menyadari bahwa dia memperhatikannya barusan.
"Udah dicariin Nyokap ya?" tanya Raya basa-basi.
"Bukan, sepupu."
"oh, kirain udah dicariin Nyokap."
"Ibu saya sudah meninggal."
"Sorry," raya merasa tidak enak sudah menyinggung soal Ibu pada Bara.
"Ngga apa-apa, santai aja kali Mbak, udah lama juga meninggalnya."
"Ya tetap aja jadi ngga enak."
"It's okay," ucap Bara sambil tersenyum.
"Buat permintaan maaf," Raya meletakkan potongan kulit ayam miliknya ke makanan Bara.
"Ikhlas nih ya?" tanya Bara menggoda Raya.
Raya hanya menganggukkan kepala. Meskipun ada sedikit rasa menyesal karena sudah memberikan kulit ayam miliknya untuk Bara. Raya menelan ludahnya sambil melihat Bara yang menyuapkan kulit ayam yang sudah diberikan Raya ke dalam mulutnya. Terbayang kulit ayam renyah dan gurih yang sengaja dia sisakan untuk dinikmati terakhir yang harus dia relakan untuk diberikan kepada Bara sebagai permintaan maaf.
***
Menjelang tengah malam akhirnya Bara dan Raya selesai memilah dokumen. Setelah merapihkan dokumen terakhir di dalam ruang arsip, Bara dan Raya bersiap pulang. Raya sudah merapikan semua barangnya dan menunggu Bara keluar dari dalam pantry. Raya langsung berlari menghampiri Bara begitu melihatnya keluar dari dalam pantry. Melihat hampir seluruh ruangan yang mereka lewati sudah gelap, tanpa sadar Raya mendekatkan tubuhnya pada Bara dan memegang lengan baju Bara.
"Kenapa mbak?"
"Takut," jawab Raya sambil tersenyum kikuk.
"Itu di belakang apaan Mbak?" Bara menatap serius ke arah belakang.
"Apaan sih?" Raya menjadi semakin gugup.
"Itu beneran" Bara memicingkan matanya.
"Bodo ah."
Raya mempercepat langkahnya menuju lift. Bara menyusul dibelakangnya sambil tertawa kecil.
"Pulang naik apa Mbak?" tanya Bara begitu mereka berdua sudah berada di lobi gedung.
"Ini dapat voucher taksi, lu pulang ke arah mana? Biar kita bareng aja."
"Saya sih dekat, naik busway juga sampai."
"Yakin nih, ngga mau sekalian?"
"Ngga."
"Yaudah kalau begitu."
Mereka berdua berjalan melewati gerbang gedung. Bara menemani raya menunggu taksi di pinggir jalan. Sebuah taksi berhenti dihadapan mereka. Raya berpamitan pada Bara dan memasuki taksi tersebut. Begitu akan menutup pintu taksi, tanpa disangka-sangka Bara menahan pintu tersebut dan ikut masuk ke dalam taksi.
"Katanya ngga mau bareng," ujar Raya keheranan.
"Emang saya ngga mau bareng. Saya mau nemenin Mbak sampai dirumah, bahaya perempuan pulang malam sendirian," sahut Bara.
Pipi Raya memerah mendengar perkataan bara.
"Tujuannya kemana, Mbak?" tanya supir taksi.
"Rawamangun, Pak" jawab Raya.
Supir taksi tersebut langsung mengarahkan kendaraannya setelah Raya memberitahukan tujuannya. Tidak banyak yang dibicarakan oleh Raya dan Bara selama perjalanan. Raya fokus memperhatikan jalan sambil sesekali memberikan pengarahan pada supir taksi yang mereka tumpangi. Sementara itu, Bara ikut memperhatikan jalan sambil sesekali memainkan ponselnya.
Tidak berapa lama taksi yang mereka tumpangi sudah sampai di daerah Rawamangun, tepatnya di dekat kawasan Velodrome. Raya mengarahkan supir taksi untuk masuk ke jalan Pulo Asem. Setelah melewati sebuah posyandu, raya menyuruh supir taksi untuk berhenti tepat didepan sebuah rumah bercat putih dengan pagar hitam.
"Sampai deh," Raya merapikan tasnya dan bergegas keluar setelah membayar ongkos taksi. Bara keluar mengikuti Raya. Raya membuka pintu pagar rumahnya, tiba-tiba saja dia seperti teringat sesuatu dan menoleh kebelakangnya. Bara sudah berdiri di belakangnya.
"Eh iya, makasih ya sudah nemenin," ujar Raya.
"Sama-sama, Mbak."
"Lu pulang naik apa?"
"Naik ini," jawab Bara sambil menunjuk taksi yang masih menunggunya.
"Oh yaudah, nanti kalau perlu reimburse, lu ke gue aja, biar gue yang ajuin."
"Gampang itu sih, saya pamit ya, Mbak."
"Kke, hati-hati ya," ucap Raya sambil melambaikan tangan pada Bara.
Bara tersenyum dan kembali masuk ke dalam taksi. Bara membuka kaca penumpangnya dan melambaikan tangan ke arah Raya. Raya membalasnya sambil tersenyum.
***
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis Bara.
Karya asli hanya tersedia di Platform Webnovel.