"Kenapa aku harus paham? Yang aku pahami cuma satu ... pernikahan ini sampai kapan pun hanya akan mengikat tubuh dan ragaku bukan hatiku," ujar Sekar setajam pisau.
Suasana langsung berubah kaku, Ardan tidak menjawab atau memberi reaksi setelah Sekar mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Ardan tidak bisa marah karena Sekar berhak mengatakan itu. Perbuatannya dulu memang sulit dimaafkan dan meluluhan hati Sekar memang butuh waktu yang tidak sebentar.
"Aku tahu dan aku tidak menyangkal kalau pernikahan kita hanya sekedar status agar aku bisa menjadi ayah Alleia secara hukum. Jadi jangan salah paham dan merasa aku melakukan ini semua karena mencintai kamu. Aku mengajak kamu makan malam sepertinya sebuah kesalahan, lupakan!"
"Luka di tangan bisa sembuh tapi luka di hati sangat sulit untuk disembuhkan. Setiap melihat kamu, aku selalu teringat kata-kata kasar, hinaan, makian, cacian, dan siksaan yang kamu lakukan. Jadi, berhentilah bersikap seenaknya."
"Dan aku akan tetap melakukan itu meski kamu sudah menjadi istriku, itukan yang kamu inginkan? Baik, kita lihat bagaimana Ardan melampiaskan amarahnya. Kita lihat saja ke depannya rumah tangga ini akan menjadi seperti apa," suara Ardan bergetar mengatakan itu. Sungguh hatinya tidak mau melakukan hal yang akan menyakiti Sekar nantinya tapi ia juga tidak mau terlihat bodoh di depan Sekar karena cinta.
Sekar terdiam, mata dan telinganya menangkap kesedihan disetiap kata-kata yang dilontarkan Ardan.
"Pembalasan yang sepadan bukan?" ujar Sekar dalam hati saat melihat Ardan masuk ke dalam kamar mandi dengan membanting pintu. Alasan utama kenapa Sekar sulit memaafkan Ardan karena Ardan lah hidupnya hancur, karena Ardan lah ia menanggung aib, karena Ardan lah ia menjadi ibu paling kejam di dunia. Andai malam itu Ardan tidak mengurungnya di gudang mungkin tragedi itu tidak akan pernah terjadi di dalam hidupnya.
Ardan menghidupkan air shower agar Sekar tidak mendengar ia melampiaskan kekesalannya dengan meninju cermin yang ada di dinding. Ardan tidak peduli dengan darah yang mulai mengucur dari tangannya. Napasnya sesak dan jiwanya hampa mendengar kebencian teramat dalam di wajah Sekar.
"Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan," Ardan lalu berdiri di bawah shower dan membiarkan air membasahi seluruh tubuhnya yang panas.
Sesak, itu yang kini Ardan rasakan dan ia tidak suka hidupnya kacau hanya karena Sekar dan Ardan berjanji tidak akan membiarkan hidup Sekar tenang sedangkan hidupnya kacau.
Ardan lalu keluar dari kamar mandi dan meninggalkan Sekar yang masih diam membisu di tempatnya berdiri tadi dan melihat kepergian Ardan yang membawa luka di tangan dan juga di hatinya.
"Ya elah jadi kita pikniknya ke sini?" tanya Nimas saat Arjuna menunjuk ke arah taman apartemen. Arjuna mengangguk lalu membuka penutup stroller milik Alleia. Bayi mungil itu masih terlelap dengan nyenyak dan acuh dengan keributan antara Arjuna dan Nimas.
"Yups, rencana kita gagal total karena Tuan menitipkan Alleia ke kita dan bayi sekecil Alleia belum boleh terlalu lama berada di tempat asing dan taman ini cukup bagus untuk acara piknik kita," balas Arjuna. Nimas mengerucutkan bibirnya, di pikirannya Nimas kira Arjuna akan membawanya keliling kota atau mengunjungi tempat-tempat wisata.
Perubahan raut muka Nimas membuat Arjuna menahan tawanya. Kadar isengnya semakin menjadi-jadi dan niatnya menggoda Nimas semakin besar.
"Kamu terlihat kecewa acara piknik kita gagal total," pancing Arjuna. Nimas salah tingkah dan berusaha mengusir rasa gugupnya dengan mengajak bicara Alleia yang sedang tidur dengan nyenyak di stroller-nya.
"Panas ya, aduh bisa-bisa kulit Alleia belang kelamaan berjemur di sini. Ih kamu lucu banget pakai pita pink ini," Nimas menggigit bibirnya setelah sadar apa yang ia ucapkan barusan sangat terasa dibuat-buat.
"Maaf, pikniknya kita tunda di lain kesempatan. Saya janji piknik kita selanjutnya akan berkesan untuk kamu," ujar Arjuna dengan nada dan mimik muka serius. Nimas semakin salah tingkah dan mukanya bersemu merah. Beberapa kali Nimas membuat gerakan mengipas dengan tangannya agar rasa panas yang menjalar di wajahnya bisa segera hilang.
Arjuna mendorong stroller Alleia ke bangku taman. Arjuna lalu duduk dan memanggil Nimas untuk duduk bersamanya. Nimas sengaja duduk agak menjauh dari Arjuna, "Masih gugup?" tanya Arjuna. Nimas memutar kepalanya dan tertawa renyah untuk menutupi rasa gugupnya.
"Hahaha siapa juga yang gugup. Penting?" tanya Nimas dengan suara pelan seperti ngauman. Arjuna meletakkan tangannya di telinga seolah tidak mendengar suara Nimas.
"Kamu ngomong apa barusan?" tanya Arjuna.
"Hah, itu ... apa ... oh nggak apa-apa," jawab Nimas semakin tidak jelas.
"Ya Tuhan kenapa aku jadi segugup ini," ujar Nimas dalam hatinya. Arjuna menarik tangan Nimas untuk mendekat dengannya.
"Kejauhan dan saya tidak bisa mendengar suara dan melihat wajah kamu," ujar Arjuna semakin menggoda Nimas.
"Gue ..." Nimas perlahan demi perlahan mendekati Arjuna.
"Tingkah kamu sekarang persis seperti anak perawan saat malam pertama, terlihat malu-malu tapi mau."
"Brengsek!" maki Nimas dalam hati. Nimas yang kadung kesal ingin berdiri tapi Arjuna menahannya.
"Saya suka sama kamu,"
Nimas melototkan matanya setelah mendengar ucapan Arjuna yang bagai petir di siang bolong. Nimas langsung mengucek matanya untuk memastikan apa yang didengarnya barusan bukan mimpi tapi kenyataan.
"Lo bilang apa barusan?" tanya Nimas.
Arjuna langsung bete melihat reaksi Nimas yang tidak sesuai harapannya.
"Pantasan Tuan uring-uringan sejak jatuh cinta, wanita zaman sekarang memang sulit diterka. Dibaikin dibilang modus, ditembak reaksinya kayak anak kucing masuk ke got," rutuk Arjuna dalam hati.
Arjuna mencoba mengingat bagaimana Ardan bersikap jika berada dalam posisinya, "Ucapan tadi tidak penting dan anggap saja saya sedang kumur-kumur," jawab Arjuna kesal.
"Tapi gue yakin tadi itu bukan kumur-kumur tapi ungkapan hati, lo suka gue ya?" tanya Nimas to the point.
"Astaga Nimas! Apa yang barusan kamu katakan," rutuk Nimas dalam hati.
"Iya, nggak boleh?"
Jrenggggg
Nimas langsung kehilangan kata-kata dan memilih memutar tubuhnya dan membawa Alleia bersamanya. Untuk saat ini ia tidak bisa menjawab pertanyaan Arjuna yang cukup mengagetkan itu.
"Paman Arjuna kamu kayaknya kesambet setan pocong," bisik Nimas sambil berbincang dengan Alleia yang masih tidur dengan nyenyak di stroller-nya.
"Dia serius nggak ya ... tentang suka sama aunty? Atau ini caranya membalas keusilan aunty?" Nimas seperti orang gila dan beberapa penghuni apartemen hanya bisa menahan tawa melihat kegilaan Nimas.
Pelan-pelan Sekar membuka pintu kamarnya, Sekar sengaja mengeluarkan sedikit kepalanya di balik pintu untuk melihat kondisi apartemen setelah pertengkarannya dengan Ardan. Apartemen yang biasanya sepi semakin sepi, Sekar lalu keluar dengan langkah pelan agar tidak ada yang tahu kalau saat ini ia sedang memeriksa apakah Ardan sudah pulang atau belum.
"Kenapa lukanya dibiarkan Mas?" samar-samar Sekar mendengar suara Nimas dari dalam kamar tamu yang disulap menjadi ruang kerja Ardan.
"Mas bertengkar lagi dengan Mbak Sekar?" tanya Nimas lagi. Sekar sengaja bersembunyi di dekat pintu ruang tamu itu untuk menguping pembicaraan Ardan dan Nimas.
Bayangan Sekar tanpa sengaja terlihat oleh Ardan melalui cermin yang memperlihatkan Sekar sedang mendengar pembicaraan mereka.
"Nimas ..." panggil Ardan.
"Ya Mas,"
"Malam ini Mas mau ajak kamu makan malam," wajah Nimas langsung kaget. Sungguh ia tidak pernah berpikir kenapa dua laki-laki yang ia kenal hari ini sama-sama bersikap aneh dan menyebalkan. Nimas ingin menolak tapi Ardan langsung meletakkan jarinya di bibir agar Nimas mengikuti semua rencananya.
"Baiklah, Mas akan suruh Sekar masak untuk makan malam kita hari ini." Sekar langsung bergegas ke dapur agar Ardan tidak tahu kalau ia baru saja menguping pembicaraan mereka.
"Sekar!" teriak Ardan. Sekar langsung kaget mendengar Ardan kembali berteriak keras sejak mereka menikah.
"Apa," jawab Sekar dengan jutek.
"Malam ini ada acara makan malam spesial, kamu persiapkan semuanya dengan seksama dan awas kalau gagal," ancam Ardan.
"Kamu suruh aku masak untuk kalian? Jangan harap!" tolak Sekar. Nimas yang mendengar pertengkaran Ardan dan Sekar hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Mereka terkadang sangat kekanakan, sepertinya aunty harus turun tangan agar mereka berhenti bertengkar, ya kan sayang." Nimas menyentuh pipi gembil Alleia.
"Kalau begitu mulai malam ini Alleia tidur di kamar itu bersamaku dan Nimas," ancam Ardan. Keberanian Sekar langsung luruh setelah mendengar ancaman Ardan yang menurutnya keterlaluan.
"Kalau begitu ceraikan aku dan biarkan aku membawa Alleia keluar dari sini dan kamu boleh bersenang-senang dengan wanita mana pun yang bisa memberi kamu perhatian selayaknya seorang istri,"
"Silakan kalau kamu mau pergi tapi Alleia tinggal bersamaku. Sesuai dengan pilihan yang pernah aku beri sebelum kita menikah," Sekar mengeram dan rasanya ingin menusukkan pisau dapur yang ada di dekatnya ke tubuh Ardan.
"Kamu jahat," ujar Sekar lirih.
"STOPPP! Bisa tenang? Alleia butuh suasana kondusif untuk tumbuh dan berkembang. Kalian selalu bertengkar untuk masalah sepele. Ingat sekarang ada Alleia yang harusnya kalian pikirkan. Berhentilah mengutamakan ego masing-masing," napas Nimas tersengal-sengal setelah menumpahkan unek-uneknya dan setelah itu ia kembali masuk ke kamarnya dengan membanting pintu dan menguncinya.
"Pokoknya aku tidak mau tahu, kalian berdua pergi sesuai rencana atau aku tidak akan menyerahkan Alleia ke tangan orangtua labil seperti kalian. Untuk pergi dinner saja harus melewati drama berkepanjangan," teriak Nimas dari dalam kamarnya.
"Tapi ..." tolak Sekar sambil menatap Ardan dengan tajam.
"Puas kamu! Berhentilah mengganggu hidupku! Berhentilah membuatku semakin muak setiap melihat kamu! Berhenti ... Hmftttt," Sekar terdorong hingga punggungnya mengenai dinding dapur saat Ardan membungkam mulut Sekar dengan mulutnya. Mereka berciuman dengan sangat panas dan liar walau awalnya Sekar berusaha melepaskan pagutan bibir Ardan di bibirnya. Dorongan dari hati membuat Sekar akhirnya membalas dan menikmati setiap Ardan menciumnya, bahkan Sekar sempat membiarkan Ardan membuka beberapa kancing bajunya andai ia tidak cepat sadar kalau sekarang mereka ada di dapur dan Nimas pun ada di kamarnya.
"Kamu manusia paling munafik, Sekar!" rutuk Sekar dalam hati. Wajah Sekar memerah begitupun Ardan setelah mereka selesai berciuman. Ardan mengelus pipi Sekar dengan jarinya, sejak pagi Ardan sangat ingin menyiksa Sekar atau membuatnya cemburu dengan sengaja menggunakan Nimas tapi bukannya bahagia yang ada Ardan semakin tidak tenang.
"Aku tidak akan pernah menceraikan kamu dan membiarkan Alleia jauh dariku kecuali Tuhan mencabut nyawaku. Jadi lupakan tentang perceraian dan sebaiknya kamu dandan yang cantik jika ingin Alleia tidur bersama kita," bisik Ardan di telinga Sekar.