webnovel

CHAPTER 16 : CHECKPOINT

Ketua kelas C memimpin penjelajahan goa di lorong kanan. Tak ada hambatan yang signifikan di sini, beberapa kejadian kecil seperti tersandung, dan kaki lecet adalah hal kecil. Sebagai pemimpin ketua kelas tak boleh memperlihatkan kelemahannya, memakai topeng tegar adalah kewajibannya. Jika ia membuka topengnya sekarang… hanyalah cacian yang ia terima. Dengan keyakinan melihat ujung goa adalah pembuktian bahwa dirinya layak jadi ketua kelas.

Realita kadang tak sesuai harapan, manusia hanya berpikir satu-dua langkah ke depan, hanya takdir yang tau segalanya. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin, obor yang dipegangnya terjatuh akibat gravitasi. Matanya mulai berkunang-kunang. Keenam anak dibelakang bergegas lari menyandinginya, bebarengan mereka terkejut tak sempat mengedipkan mata.

Pantas… mereka kedinginan, karena hawa di sini mendekati nol. Bukan jalan keluar yang mereka temui—sebagai gantinya adalah terowongan bawah laut nan luar biasa memegahkan hati. Mata kawanan itu menjadi manja, rasa kegembiraan perlahan meluap-luap. Langkah kaki Dav ingin berhenti… tak kuasa lagi berjalan. Kepala kian mengangguk saja, tampak berbagai macam ikan dibalik kaca. Ini seperti akuarium yang sangat besar, bahkan salah satu dari mereka menunjukkan jemarinya pada hewan langka yaitu, ikan pari albino. Itu adalah spesies yang jarang ditemui, siripnya yang berlambai-lambai itu tampak seperti terbang bukan berenang.

Keindahan terumbu karang menggoda nemo untuk bersarang di sana. Ikan-ikan pun berkelompok berenang ke sana dan ke sini, berusaha lepas dari kejaran predator. Sesekali penyu yang naik ke permukaan untuk mengambil napas, sayangnya terowongan yang mereka lalui segera berakhir. Sebuah pintu menyambut mereka, udara yang lembab ini sudah cukup membuat mereka sesak napas. Ingin atau tak ingin mereka meninggalkan kejutan yang indah itu.

Sepuluh meter jauhnya, ketua menyipitkan matanya melihat seseorang. Lalu ia berlarian menghampiri orang tersebut. Tak lain itu adalah seorang guru dari Singhasari High School.

"Selamat datang di checkpoint, sebutkan nama dan kelas!"

"nama saya Davinci… dari kelas C"

"baiklah ini adalah checkpoint pertama kalian. Ada yang perlu saya jelaskan pada kalian. Tapi sebelumnya bisakah kalian duduk saja—melihat kalian berdiri membuatku capek. Seperti yang dijelaskan kalian akan menemukan tiga kali checkpoint, masing-masing memiliki nilai tiga puluh point. Sepuluh point akan diberikan, jika kalian berhasil membawa pin ke garis Finish. Aku memberi penawaran bagi kalian yaitu, kalian bisa menukar tiga puluh point dengan kebutuhan yang kalian inginkan. Misalnya makanan, alat mandi, pembalut, dan sebagainya. Bagaimana apakah tertarik?"

Mendengar penawaran tersebut kelompok kecil itu menjadi goyah, perasaan egois mulai bergejolak menginginkan sesuatu yang pribadi. Setelah satu hari satu malam berada di tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Keenam remaja pastilah merasa lelah mengalami culture shock yang hebat. Mungkin beberapa bisa bertahan untuk tidak mengambil penawaran menggiurkan, tapi muka dan gerak-gerik tak bisa dibohongi.

Mau tak mau Davinci harus mengambil keputusan di sini. Mengorbankan nilai yang didapat untuk memuaskan hasrat. Davinci memiliki impression yang bagus dalam hal ini, mendengarkan apa yang dikatakan anggota yang lain merupakan hal yang penting. Tak perlu menentang argumennya, just listen. Seseorang perlu didengar keluh kesahnya, itu membuat keberadaannya diakui. Menyanggah hanya akan memosisikan diri sebagai lawan tanding, takkan bisa mengambil jiwanya.

Kata-kata dari seorang pria menawan layak diindahkan oleh para gadis. Kepribadian naif atau polos tak tau lagi mana yang lebih cocok untuk para wanita. Kata-kata Dav bagai nektar yang manis nan murni memikat kupu-kupu tuk berdatangan. Ini bukan hanya permainan kata-kata—sebuah ilmu politik. Pada dasarnya politik adalah sebuah kuasa yang mampu mempengaruhi seseorang… itulah kuasa yang dimiliki Dav.

Dav adalah pria yang pintar membaca situasi, hanya dengan diiming-iming kenikmatan sementara tak kan menggoyahkan pendiriannya. Sebuah sosok pemimpin yang bijaksana, apalagi point yang didapat harus melalui perjuangan yang panjang, takkan semudah itu untuk ditukar secara cuma-cuma, apalagi hadiah utama yang berada di pusat tower lebih menjanjikan daripada sampah-sampah yang ditawarkan di pos penjagaan.

Penawaran dari guru tak diindahkan oleh Dav, tiga puluh point lebih penting daripada semua itu. Memasukkan kedua tangan ke kantong celana, lantas Dav memimpin grup kecil menuju tower—tempat para calon juara berkumpul.

Di sisi lain kelas A sudah terlebih dulu melewati pos penjagaan. Terdiri dari anggota kelompok yang solid bukan masalah besar untuk melewati lembah maupun rawa-rawa di hutan. Para anggota kelas A sangat yakin bisa memenangkan lencana di pusat tower. Realita di dunia ini mengatakan bahwa hanya sedikit orang yang mampu sampai di puncak. Kelas sosial yang terwujud di masyarakat bagaikan piramida, semakin tinggi piramida maka semakin sedikit orang yang bisa meraihnya.

Artinya banyak sekali musuh yang berkeliaran bersaing untuk meraih puncak tersebut. Banyak sekali orang yang menjadi pengikut, tapi hanya satu orang yang menjadi pemimpin, begitulah dunia ini bekerja. Posisi kelas A sekarang ini adalah kandidat yang paling kuat untuk dimusuhi oleh kelas lain, sangat memungkinkan bagi kelas lain saling bekerjasama untuk menjatuhkan kelas A.

Sebagai ketua kelas A seorang gadis twintail harus sanggup mengatasi semua rintangan dari internal maupun eksternal. Lokasi kelas A kini sudah berada di tengah hutan, hanya tinggal satu checkpoint lagi mereka akan sampai di pusat tower.

Sang ketua kelas mengajak beberapa orang yang ia percaya untuk melakukan rapat mengenai strategi yang akan diterapkan dalam perebutan lencana di pusat tower. Lepas dari deduksi tadi, si gadis twintail bersama empat gadis lainnya tiba-tiba mendapat serangan kejutan dari orang luar. Ini adalah penyergapan yang sempurna, bahkan seorang gadis yang menduduk rank nomor satu di sekolah tak menyadari hawa keberadaan penyergap. Dari belakang serangan mengenai kaki, hingga lututnya menghantam tanah. Sekilas mencoba meilhat seseorang dihadapannya—pukulan pada kepala langsung merobohkan dirinya. Si twintail bahkan tak sempat melihat wajah orang yang menyerangnya.

Remang-remang ia melihat badan si pelaku, sesaat ia berpikir apa mungkin murid kelas lain yang menyerangnya? Jika benar—maka ini benar-benar cara yang terburuk, lalu ia tersenyum lemah.

Enam puluh menit telah berlalu—goncangan akibat melintas medan bebatuan membangunan gadis twintail dari pingsannya. Mulutnya telah dibungkam oleh sebuah kain, serta tangannya terikat di belakang. Ia bersyukur masih hidup sejauh ini, begitu pula dengan teman-teman di depannya.

Sebuah truk telah membawa pergi kelima orang tersebut. Ia merasa gelisah—juga bersalah, merasa gagal atas keputusannya yang berdampak buruk pada kelas A. lalu seseorang di sebelahnya menyenggol bahunya, dan mengedipkan sebelah mata. 'tidak apa-apa kok, jangan bersedih'

Persaaan optimis mulai muncul, gadis twintail membangun ulang strateginya. Ia bermaksud menguping pembicaraan orang yang menyetir truk. Suara mereka keras, terlalu ceroboh bagi seorang penculik berbicara panjang lebar, negatifnya yang terdengar hanyalah obrolan mesum dari om-om yang ingin segera mendapatkan imbalan dari hasil tangkapannya.

Mesin truk sudah berhenti, suara gebrakkan pintu meyakinkannya bahwa seseorang akan segera menemuinya. Dua orang brewokan menyuruh kelima orang turun dari truk. Tampangnya begitu garang juga sadis, benar-benar memancarkan orang jahat. Bukti ini meyakinkan bahwa ada pihak lain yang ikut campur dalam ujian kali ini. Tapi masih belum bisa dipastikan bahwa ini perbuatan kelas lain, meski presentase kemungkinan kian menurun.

Kecantikan gadis twintail bahkan memikat salah seorang itu, lantas orang tersebut mengelus pipi gadis twintail. Pelecehan ini benar-benar menjijikan, ia tak bisa membiarkannya. Penuh amarah gadis twintail menendang kemaluan orang di hadapannya itu. Seorang lagi mengehentikan keributan yang terjadi, selalu waspada dengan kondisi sekitar. Mengarahkan senjatanya, kegeraman menggiring mereka semua ke dalam hutan, meninggalkan truk di pinggir jalan.

Kemengan telah surut, rencana kelas A gagal total tanpa adanya si gadis twintail. Tapi semangat gadis twintail belum padam, lirikan matanya begitu gigih mencari celah untuk kabur dan membuat rute pelarian. Akan lebih mudah jika anggota yang lainnya memiliki niat yang sama—itulah yang dipikirkan sang ratu lebah.

Pemikiran kabur dari penjahat terlalu naif, kini kelima gadis itu harus berhadapan satu sama lain. Mereka ditempatkan pada sebuah arena pertarungan, saling melawan menjadi yang terkuat. Jelas kelima gadis itu takkan mau melawan temannya sendiri—justru pemikiran itulah yang menjerumuskan mereka.

Siksaan mulai dilakukan oleh para algojo hingga mereka mau bertarung satu sama lain. Para penonton semakin bersemangat melihat hiburan yang disajikan, bahkan mulai mengumpulkan uang taruhan.

Hantaman dan pecutan telah membekas di bagian tubuh mereka, hingga akhirnya si gadis twintail menyerang kawannya. Hanya inilah jalan satu-satunya menyelamatkan temannya dari siksaan para penjahat, yaitu mengakhiri keempat gadis itu dengan tangannya sendiri.

Kini alur pertandingan sudah sesuai dengan harapan penonton, kelima gadis itu hanya membela dirinya masing-masing untuk menyelamatkan nyawanya sendiri. Siapapun yang menjadi pemenang dialah yang berhak hidup.

Hantaman dan bantingan merobek baju merobek baju mereka. Baju yang dikenakan sudah tak ada artinya, si gadis twintail melepasnya tanpa malu karena ia masih memakai tank-top. Tubuh gadis twintail membangkitkan selera para lelaki, namun ia tak peduli lalu mengangkat telunjuknya ke atas yang berarti dia yakin bahwa dia yang akan keluar sebagai pemenang.

Sifat dengki keluar dari keempat gadis lainnya yang merasa diremehkan. Alur permainan berubah menjadi satu lawan empat.

Dua orang lawan maju menyerang mengunci kedua lengan twintail. Seorang lagi melanjutkan penyerangan dari depan, lalu si twintail menggunakan kedua lawan di sampingnya sebagai tumpuan untuk menendang lawan dari depan tepat mengenai perutnya.

Kedua lawan berusah menjatuhkan twintail, ia melawan dengan menggigit salah satu dari mereka sehingga kunciannya terlepas lalu menendang kepalanya hingga tubuhnya berputar seratus delapan puluh derajat.

Tinggal satu lawan di sisi kirinya, mencoba menyerang menggunakan lutut. Kali ini twintail tak berhasil menahannya. Serangan beruntun telah dilancarkan oleh lawan.

Ia mundur beberapa langkah ke belakang memandang tajam lawan di hadapan untuk mengintimidasi. Sang lawan maju sekuat tenaga, twintail berhasil memegang lengan lawan, dan melemparkannya keluar arena.

Sekarang hanya tinggal dua gadis di arena. Penonton semakin bersemangat, dan memasang taruhan lebih tinggi lagi.

Si twintail membersihkan luka di bibirnya.

"sudah kuduga murid nomor satu di sekolah bukan isapan jempol belaka"

"tak usah banyak bicara—mari kita selesaikan!"

Next chapter