Matahari bersinar terik dengan tiga warna cantik sebagai lingkaran luarnya. Suara ombak yang jarang didengarnya terdengar merdu di telinga. Butiran pasir halus di kaki membuat West bersaudara bersemangat bermain disana.
Hari itu, CEO mereka, Benjamin Paxton memberi hari libur khusus pada karyawan yang telah ikut andil dalam menyukseskan acara pembukaan. Mereka berlibur di pantai yang berjarak tiga puluh menit dari hotel dengan menggunakan mobil hotel.
Anna beserta si kembar segera berlari menuju ke tepi pantai untuk merasakan air laut dan mereka berteriak diikuti tawa saat air datang membasahi kaki mereka.
Berbeda dengan Cathy. Dia merasa tidak nyaman dengan kilauan matahari. Sinarnya sangat menyakiti matanya membuatnya tidak mampu membuka kelopak matanya. Akhirnya dia menggunakan kacamata hitam untuk mengurangi rasa sakit pada matanya.
Barulah dia bisa melihat ketiga adiknya yang sedang bersenang-senang dari jarak cukup jauh. Cathy tersenyum dengan lebar melihat tingkah laku adik-adiknya.
Klik! Terdengar suara kamera didekatnya. Saat dia menoleh ke arah suara tersebut, dia melihat Vincent sedang sibuk memotret suasana di sekitar mereka.
"Kenapa kau juga ikut kesini?"
"Ouch.. aku sangat tersinggung dengan ucapanmu. Kenapa aku tidak boleh disini?"
Cathy memutar matanya mendengar humornya yang garing. Sejak acara pembukaan dua hari yang lalu, Cathy jarang melihat Vincent di siang hari atau sore hari. Kemudian mendapat kabar bahwa Vincent sedang tidak enak badan dan bed rest di kamarnya.
Anehnya malam hari di hari yang sama Vincent keluar dengan wajah ceria seolah-olah tidak terserang penyakit apapun. Keesokan harinya, Vincent sering muncul dihadapannya dan terkadang menemaninya saat dia mengerjakan laporan di ruang kerjanya.
Setelah seharian ditemani pria itu dengan percakapan yang kadang tidak masuk akal; termasuk humor yang dianggapnya tidak lucu, sudah membuatnya terbiasa dengan keberadaan pria disebelahnya.
"Kau tahu betul bukan itu maksudku."
"Kalian diberi liburan oleh pimpinan, kenapa aku tidak boleh mendapatkannya?"
"Kau kan bukan karyawan Star Risen."
"Aku juga ikut andil dalam menyukseskan acara."
"Kapan?" Cathy segera mengatupkan kedua bibirnya sadar ia telah melakukan kesalahan. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah adik-adiknya.
Sayangnya sudah terlambat, kini Vincent memandangnya dengan tatapan curiga.
"Apa kau sedang bersikap sarcastik denganku?"
"Tidak." jawab Cathy singkat masih menolak memandang pria disampingnya. "Ah, panas sekali. Kenapa matahari disini menyengat ya?" Cathy berpura-pura tidak menyadari tatapan tak percaya pria disampingnya dan berjalan ke arah payung tenda yang dipasang oleh Pak Dan. Beberapa rekan kerja meletakkan tas mereka di bawah payung dan berbaring menjemur diri. Cathy memutuskan duduk di sana sambil menjaga tas rekannya beserta milik adiknya.
Begitu matanya tidak terkena sinar matahari, dia melepaskan kacamata hitamnya dan mengaitkannya di saku jaketnya sambil melihat keceriaan adik-adiknya.
Dia melihat si kembar sedang menimbun tubuh Anna dengan pasir dan membangun sebuah istana diatasnya. Anna berpura-pura merengek untuk bangun membuat si kembar tambah semangat membangun istana pasir sambil tertawa cekikikan. Bahkan Cathy sendiri ikut tertawa geli melihat kenakalan si kembar yang jahil pada Anna.
Klik! Sekali lagi terdengar suara shutter kamera di sebelahnya.
"Kenapa kau ikut duduk disini?"
Vincent mendesah pasrah, "Aku sedang tidak ingin menjawab pertanyaanmu." jawabnya sambil cemberut.
Huh? Apa ini hanya perasaannya ataukah pria aneh ini sedang cemberut? Kenapa dia merasa dirinyalah penyebab pria itu sedang menggerutu? Kenapa pula dia merasa bersalah terhadap pria ini?
Cathy hendak meminta maaf saat namanya dipanggil oleh salah satu rekannya yang sedang berbaring untuk berjemur di pasir dengan beralaskan handuk.
"Cathy bisa tolong ambilkan lotionku di dalam tas? Tasku yang bewarna kuning di belakangmu."
Cathy menoleh ke belakang dan melihat ada lebih dari lima tas dibelakangnya. Dia bisa mengenali dua tas yang merupakan milik si kembar, dan tas selempang milik Anna. Kemudian tas milik Pak Dan dan juga miliknya sendiri. Sisa dua tas yang tidak dikenalinya. Yang satu abu-abu gelap dan yang satu abu-abu terang. Jadi yang mana yang bewarna kuning?
Cathy menangkap sesuatu dari matanya pada salah satu tas yang tidak dikenalnya. Cathy merasa lega dan dengan cerdiknya dia bertanya kembali pada rekannya.
"Aku tidak tahu kau mengidolakan Steve Mango." ucapnya dengan nada jahil.
"Huh? Aku tidak mengidolakannya. Pasti milik Tanya. Dia selalu memasang foto Steve Mango di barang-barangnya."
Oke. Berarti tas yang terpasang foto Steve Mango bukan bewarna kuning. Cathy membuka resleting tas lain yang diduganya bewarna kuning dan langsung menemukan apa yang dicari.
Setelah memberikan lotion pada rekannya Cathy kembali duduk di tempat tadi. Dia menyadari tatapan pria itu memandangnya dengan bingung.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Apa kau juga mengidolakan Steve Mango?"
"Tidak. Kenapa memangnya?"
"Tidak apa-apa. Hanya heran saja kenapa kau harus menanyakan foto itu daripada langsung membuka tasnya. Kan yang bewarna kuning cuman satu."
Deg..deg.. Cathy berusaha menenangkan dirinya untuk menyembunyikan kegugupannya. Selama ini dia berhasil menyembunyikan kenyataan bahwa dia buta warna. Selama ini tidak ada yang menyadari gerak-gerik halusnya saat menghindari pertanyaan mengenai warna.
Bahkan Kitty beserta adik-adiknya juga tidak menyadarinya. Tapi kenapa pria ini bisa menyadarinya? Dia harus lebih berhati-hati.
"Aku hanya penasaran saja. Steve Mango adalah model fashion yang terkenal. Aku banyak mendengarnya dari rekan kerjaku di kota. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Steve juga terkenal di tempat ini."
Vincent mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti dan kembali memotret sesuatu dilihatnya.
Cathy merasa lega Vincent tidak lagi bertanya lebih lanjut ataupun memasang wajah cemberut lagi. Setidaknya mereka masih bisa mengobrol dengan santai.
Vincent akan bertanya mengenai hal umum seperti hal-hal kesukaan Cathy atau mengenai adik-adiknya. Rupanya Cathy tidak memiliki spesifikasi khusus mengenai hal kesukaannya. Anehnya, mata gadis itu berbinar-binar dan lebih bersemangat saat mereka membicarakan adik-adiknya. Vincent juga tidak keberatan. Dia suka mendengar suaranya.
Vincent ingin mengenal Cathy lebih dalam lagi, tapi dia mengendalikan dirinya untuk tidak bertanya sesuatu yang terlalu pribadi. Lagipula, Cathy tidak bertanya apapun mengenai dirinya. Tampaknya gadis disebelahnya tidak memiliki rasa ketertarikan seperti dirinya.
Karena itu Vincent menjaga obrolan mereka terus berjalan tanpa menyinggung sesuatu yang sensitif.
Tidak lama kemudian, Helena datang menghampiri mereka.
"Cathy, kau bisa bermain voli?"
"Aku tidak pernah bermain voli di pantai."
"Ayolah.. Kita kekurangan pemain. Tiga lawan tiga."
"Perempuan semua?"
"Tentu saja. Tidak akan seru kalau para pria yang main terus. Ayo!" Helena setengah memaksa Cathy untuk bangkit berdiri dengan menarik lengannya.
"Tunggu, biarkan aku melepaskan jaketku." ujar Cathy sambil melepaskan jaket abu-abunya.
Cathy memakai kaos ringan dengan corak warna-warni diseluruh kain. Kaos tersebut tidak memiliki lengan hanya dua buah tali yang diikatkan ke belakang leher membentuk segitiga sementara punggung belakang Cathy terbuka menunjukkan kulit halusnya. Kaos tersebut juga tidak panjang, tapi cukup menutup perutnya agar tidak terekspos. Sebagai tambahan Cathy memakai hot pants yang membuatnya terlihat manis dan seksi.
Cathy mengikat rambutnya yang sebelumnya terurai menjadi gumpalan acak di atas kepalanya. Dia membiarkan sebagian poni terlepas dari ikatannya dan terjatuh disisi wajahnya dengan cantik.
Melihat adegan perubahan drastis Cathy membuat Vincent terbatuk-batuk tidak tahu kearah mana dia harus mengalihkan pandangannya.
"Ada apa?" tanya Cathy terheran-heran.
Apakah dia ini bukan malaikat biasa? Apakah dia malaikat cinta? Kenapa gadis ini bisa membuat jantungnya berdebar-debar tidak karuan tiap kali mereka bertemu? Selalu saja ada yang membuatnya tidak sanggup melepaskan pandangannya dari gadis mungil itu.
"Tidak. Aku baik-baik saja." Vincent mendesah sadar suaranya menjadi serak. Dia berharap Cathy tidak berpikiran aneh terhadapnya. "Sana pergi. Selamat bersenang-senang."
"Ada minuman didalam kardus. Ambil saja kalau kau haus." jawab Cathy terburu-buru karena tangannya sudah ditarik oleh Helena.
Vincent menutup wajahnya dengan kedua tangannya sebelum mengambil napas yang panjang. Setelah menunggu debaran jantungnya kembali normal, barulah dia berdiri dan berjalan untuk menyaksikan pertandingan voli tersebut.
Karena pulau ini bisa dibilang pulau pribadi dan hanya kalangan atas yang bisa mengakses pulau ini, jadi para pengunjung pantai hanyalah karyawan dan beberapa tamu hotel yang belum pulang.
Melihat enam gadis cantik sedang bersiap memulai pertandingan mereka, banyak penonton yang penasaran dan mendekat ke 'arena pertandingan'.
"Kak Cathy! Ayo hajar mereka! Wooo!"
Vincent melihat ketiga adik Cathy bersorak memberi dukungan pada kakak sulungnya.
Sekali lagi Vincent memotret disekitarnya dengan tiga adik Cathy menjadi pusatnya.
Peluit wasit berbunyi dan pertandingan dimulai.
Vincent nyaris tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Dari enam pemain, hanya satu yang menonjol. Lima pemain lainnya memukul bola dengan sekuat tenaga tapi tidak dengan teknik yang betul. Alhasil, terkadang mereka mendapatkan bola dan menjatuhkan bola dengan tepat di area lawan, terkadang mereka memukul bola yang akhirnya terjatuh sebelum melewati net.
Yah, tentu saja kebanyakan mereka gagal menangkap bola yang terlempar ke arahnya. Mereka bukanlah pemain voli yang handal. Sekali lihat, Vincent tahu para perempuan ini bermain voli hanya untuk bersenang-senang saja.
Tapi ada satu perempuan. Pukulannya sangat keras dan selalu mengincar titik kelemahan lawan. Perempuan satu ini merupakan kunci utama kemenangan timnya. Meskipun lima perempuan lainnya tidak selevel dirinya, perempuan itu tidak mengambil kendali timnya. Dia tetap melempar bola pada temannya dan sengaja memukul bola tidak terlalu keras agar lawan bisa membalas lemparannya.
Perempuan ini tidak egois ataupun sombong. Dia ikut tertawa bersama rekan timnya dengan senang. Perempuan ini bahkan tersenyum lebih lebar lagi saat ada tiga gadis muda menyorakinya dengan antusias.
Untuk sekian kalinya Vincent tidak bisa mengalihkan pandangannya dari perempuan yang satu ini.
Vincent bertanya-tanya, kapan perempuan bernama Catherine West ini baru merasa puas membuatnya terpesona seperti ini?
-
Tepat pukul empat sore, para karyawan Star Risen kembali ke hotel. Vincent tidak pernah berhenti tersenyum selama perjalanan pulang. Dia tidak pernah sebahagia ini atau merasa sepuas seperti yang dirasakannya sepanjang ingatannya.
Seperti yang diduganya, salah satu cara membuat seorang Catherine menunjukkan senyuman bahagia adalah membuatnya melihat ketiga adik-adiknya tertawa.
Selama ini Cathy memang tersenyum, tapi itu hanyalah senyuman profesionalnya... Senyuman kerjanya. Namun tiap kali Cathy melihat adik-adiknya, Cathy akan menunjukkan senyuman yang sebenarnya. Bahkan gadis itu akan ikut tertawa saat melihat adik-adiknya tertawa.
Apakah ada orang yang begitu menyayangi saudara-saudaranya seperti ini?
Vincent memang menyayangi kakaknya dan dia tahu Vanessa juga menyayanginya. Tapi dia yakin rasa sayang persaudaraannya dengan Vanessa kalah jauh dibandingkan Cathy terhadap adik-adiknya.
Mobil telah tiba di depan lobi, dan satu persatu penumpang turun dari mobil.
"Kakak, punyaku kan yang warna ungu."
"Hahaha,maaf..maaf.. kakak selalu lupa."
Entah kenapa percakapan ini menarik perhatiannya. Bukan. Suara seseoranglah yang menarik perhatiannya.
"Kakak aneh sekali." goda salah satu si kembar. "Kalau model tas kami berbeda kakak tidak pernah lupa. Sekarang hanya warna yang berbeda kakak sering lupa."
Hanya Vincent yang menyadari tawa gugup dari suara Cathy.
"Hanya perasaanmu saja." jawab Cathy sambil mengacak-acak rambut adiknya.
"Ah, kakak." gerutu adiknya sambil merapikan kembali rambutnya.
Vincent berdiri tak bergerak di tempatnya.
'Kalau model tas kami berbeda kakak tidak pernah lupa. Sekarang hanya warna yang berbeda kakak sering lupa'
Apa maksud kalimat ini? Vincent tidak mengerti dan tidak terlalu memikirkannya. Saat dia sadar dari lamunannya, Cathy beserta adik-adiknya sudah menghilang dari hadapannya.
Yang dia lihat adalah seseorang yang bertugas di resepsionis keluar menghampiri mereka.
"Dimana nona Catherine?" tanya gadis resepsionis itu.
"Mungkin sudah kembali ke kamarnya." jawab Pak Dan. "Ada apa?"
"Ah tidak. Pak Manager membelikan ini untuk kita semua. Yang lain sudah dapat, tinggal kalian dan nona Catherine beserta adik-adiknya." jelas gadis resepsionis sambil menunjukkan gantungan kunci dengan aksesoris lumba-lumba.
Ada banyak macam warna yang menghiasi tubuh lumba-lumba itu. Vincent tertawa geli melihat warna merah, ungu, hijau dan warna lainnya yang sangat tidak biasa untuk tubuh lumba-lumba.
"Biar aku yang memberikannya." sahut Vincent tidak peduli keterkejutan Pak Dan dan gadis resepsionis tersebut.
"Kalau begitu bisa sekalian untuk adik-adiknya? Anna suka warna merah, Carolina warna merah muda, Elizabeth warna ungu. Aku tidak tahu warna kesukaan nona Cathy. Kau pilih warna kesukaanmu dan sekalian pilihkan untuknya."
Vincent berpikir sejenak. Apa warna kesukaan gadis itu? Dia teringat malam pertama mereka bertemu di sebuah acara, gadis itu memakai baju putih polos dengan sepatu merah. Kenapa pula dia masih ingat warna sepatu gadis itu?
Kemudian dua hari lalu saat acara pembukaan, gadis itu memakai gaun abu-abu dan jaketnya tadi juga bewarna abu-abu. Mungkin tanpa disadari warna kesukaan gadis itu adalah abu-abu?
Jadi dia mengambil gantungan kunci dengan lumba-lumba bewarna biru laut untuk dirinya dan abu-abu untuk Cathy.
Kemudian dia mengambil ponselnya dan mencari nama Cathy. Dia sama sekali tidak tahu ternyata memiliki nomor gadis itu di hapenya membuatnya sesenang ini.
Untung saja dia meminta nomor gadis itu selesai pertandingan voli tadi. Dia cukup beruntung gadis itu memberikannya tanpa banyak tanya.
"Halo, ini aku, Vincent.. ada souvenir dari manajer. Baiklah, aku kesana sekarang."
Vincent berjalan dengan cepat ke arah ruang kerja Catherine yang ternyata kosong. Sepertinya gadis itu memang sudah masuk ke kamarnya dan tiba-tiba saja dia merasa bersalah karena harus menganggu istirahat gadis itu. Gadis itu pasti kelelahan setelah bermain voli selama berjam-jam.
Lima menit kemudian, Catherine masuk ke ruang kerjanya. Vincent segera memberikan tiga gantungan kunci bewarna merah, pink dan ungu pada Cathy kemudian menunjukkan dua gantungan kunci warna biru laut dan abu-abu di telapak tangannya.
"Satu untukmu dan satu untukku. Aku tidak tahu kau suka yang mana, jadi pilihlah dulu."
Tanpa ragu Cathy mengambil satu dari atas telapak tangan. "Terima kasih."
"Kau menyukai warna abu-abu?"
Untuk sesaat Cathy memandang gantungan kunci di tangannya. "Tidak juga. Aku memilihnya karena warnanya cocok denganku."
Cathy tidak menyadari perubahan ekspresi Vincent dan langsung keluar dari ruangan untuk kembali ke kamarnya.
Vincent menatap sisa gantungan kunci di tangannya dengan tatapan kosong. Lumba-lumba ditangannya adalah bewarna abu-abu yang berarti Cathy mengambil yang bewarna biru.
Vincent mendesah pelan menyadari sesuatu. Kini dia mengerti. Untuk pertama kalinya sejak dia melihat ekspresi dingin di Green Park, dan kalimat gadis itu yang mengucapkan tidak akan bisa menikmati keindahan sekitarnya... kini dia sudah memahaminya.
Ups.. Vincent mengetahui kelemahan Cathy yang tidak diketahui siapapun. Kira-kira bagaimana ya kelanjutannya?
Semoga kalian suka
Mohon bantuan vote dan review ya
Terimakasih banyak.