webnovel

Bab 66

Dinda menatap lekat tuan Arjun. Kedua netra itu saling memeluk cinta yang melimpah ruah. Mereka merasa beruntung saling memiliki.

---

Dinda hendak ke paviliunnya untuk mandi dan berganti pakaian. Melepas lelah saat tuan Arjun beristirahat.

"Dinda.."

Dinda menoleh saat seseorang meneriaki namanya.

Tampak Dona berjalan kearahnya "Bagaimana keadaan Arjun?"

"Kamu berbicara padaku?"

"Memangnya ada orang lain di sini?"

"Oh.."

"Aku tanya bagaimana keadaan Arjun sekarang?"

"Kalau kamu memang ingin tau, kenapa kamu tidak menjenguknya sekarang."

"Apa boleh?" tanya Dona sungkan.

"Bolehlah, dia suamimu juga kan?"

"Baiklah nanti aku akan menjenguknya." Dona nampak sumringah ketika Dinda mengatakan boleh. Pergi tanpa pamit meninggalkan Dinda yang masih terpaku di tempatnya.

"Apa ini? Kenapa aku jadi akrab dengan ular berbisa itu. Hiiii.." Dinda sedikit berlari ke paviliunnya.

---

Didi sisi lain Dona pergi ketempat tuan Arjun. Seperti apa yang dikatakan Dinda. Tuan Arjun mempersilakan Dona masuk untuk menemuinya.

Dona membawakan beberapa cemilan dan susu hangat untuk tuan Arjun.

"Arjun, ini aku bawakan makanan. Aku letakan di sini saja ya." kata Dona ramah sembari meletakan nampan yang ia bawa di atas meja di samping tempat tidurnya.

Dona duduk di tepian ranjang, memandangi tuan Arjun yang hanya terlalu memandangi langit-langit kamarnya.

"Arjun kamu keringetan." Dona mencoba mengelap keringat di kening tuan Arjun dengan sapu tangannya.

Namun belum sempat ia menyentuhnya, tuan Arjun segera menepis tangannya.

Dona tentu terkejut dengan perlakukan kasar tuan Arjun padanya "Kenapa Arjun?"

"Sudahkan melihatku. Sekarang kamu boleh pergi. Aku ingin tidur."

Dona membisu dengan sikap dingin tuan Arjun. Semakin lama tuan Arjun tidak seramah dulu. Dia semakin dingin saja memperlakukannya.

"Kamu sudah mendengar kematian Bima?" tanya tuan Arjun.

"Bima siapa?" Dona berpura-pura tidak tau.

"Sepupuku. Bukankah dulu pernah bertemu."

"Ah ku kira Bima yang mana. Soalnya aku punya banyak kenalan bernama Bima." jawab Dona dengan begitu canggung. Dia gugup sampai kakinya gemetar.

"Aku mendengar jika dia meninggal karena kecelakaan kemarin." Dona mencoba untuk tidak terlihat gugup.

"Apa kamu mau sesuatu yang ku bawa?" Dona mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Tidak usah. Nanti aku bisa makan ketika Dinda kembali. Biar dia yang menyuapiku."

"Tapi Dinda sedang pergi. Mungkin akan lama. Aku bisa kok menyuapimu. Ayo buka mulutmu Arjun." Dona mencoba memaksa untuk menyuapi tuan Arjun.

"Ku bilang tidak usah ya tidak usah!! Apa kau tuli!!"

"Emmmm baiklah." Dona kembali meletakkan makanan yang ia ambil tadi.

"Kamu cepat keluar, aku ingin istirahat."

"Apakah kamu kepanasan Arjun? Aku bisa mengipasi mu?" Sepertinya Dona tidak jera, mencoba mendapatkan perhatian tuan Arjun yang terus mengacuhkannya.

Ceklek.. Pintu kamar tuan Arjun terbuka saat mereka masih bersama di dalam kamar.

"Ah tenyata mbak Dona masih di sini? Maaf ya menganggu."

Itu adalah Dinda yang kembali dari paviliunnya. Dinda memutuskan untuk hanya berganti pakaian saja. Sebab hatinya tidak tenang saat cintanya tengah bersama wanita lain di kamarnya.

"Kemarilah sayang." tuan Arjun merentangkan kedua tangannya.

"A-apa itu?" tanya Dinda.

"Mau peyuukk."

"Eh tapi.." Dinda melirik Dona.

"Pweaaaassss...." rengek tuan Arjun.

Dinda berusaha menahan tawanya, ketika melihat Dona yang kesal. Tampaknya ia benar-benar tidak di anggap manusia di sana.

"Ayo saayaang." tuan Arjun semakin merengek.

Dinda turut merentangkan tangannya "Aku datang sayang."

Dinda berlari memeluk tuan Arjun dengan erat. Meski tepat di depan mata kepala Dona, justru membuat Dinda semakin mesra memeluk tuan Arjun.

"Baru di tinggal sebentar sudah kangen saja ya?" tanya Dinda manja.

Dinda tersenyum, mendongakkan wajahnya ke atas menghadap tuan Arjun.

Cup.. Tuan Arjun mencium bibir Dinda.

Dona yang melihatnya hanya bisa menunduk.

"Baiklah, sepertinya kamu sudah tidak butuh bantuan ku lagi. Aku pergi." kata Dona kemudian berlari pergi.

Dinda melepas ciuman itu, mengawasi kepergian Dona sampai menghilang di balik pintu.

"Kamu ini nakal sekali Arjun. Lihat itu cinta pertamamu jadi marah."

"Persetan dengan cinta pertama. Di hatiku sekarang hanya ada setan kecilku saja. Dia bernama Dinda." ledek tuan Arjun.

"Kamu kulkas dua pintu durjana."

"Ah jangan. Itu sakit sekali sayang." tuan Arjun melindungi pahanya ketika Dinda sengaja mengangkat tangannya seperti hendak memukulnya.

---

"Aaaarghhhh.. Lagi-lagi Dinda!! Memangnya apa yang lebih baik dari bocah tengil itu?! Jelas-jelas aku lebih cantik darinya. Tapi Arjun.... Kenapa Arjun? Kenapa hanya Dinda saja yang ada dimatamu!! Aku ini kamu anggap apa sekarang? Katakan!!"

Dona berteriak, meluapkan amarahnya dengan menghancurkan setiap barang di paviliunnya.

"Apa kamu tau sesuatu Arjun? Apa kamu tau tentang hubunganku dengan Bima? Tapi tidak mungkin, aku melakukan semua rencana itu dengan rapi. Pasti ini hanya ulah Dinda saja. Dia terpikat dengan rayuan Dinda saja. Ya, itu pasti alasan yang tepat mengapa kamu mengacuhkan aku Arjun."

"Aku harus membuat Arjun kembali ke sisiku. Dia harus seutuhnya menjadi milikku."

----

Beberapa hari berlalu dengan semestinya. Dinda yang sedang sibuk mengurus bayi besarnya. Nike dengan sibuk mengurus dan menyiapkan keperluan tuan Arjun. Bella yang sibuk dengan hobi melukisnya. Dona yang sibuk dengan rencana jahatnya. Rendi yang sibuk menggantikan posisi tuan Arjun dan menyelesaikan pekerjaan di kantor. Dan Daniar yang sibuk memijit Dinda ketika malam tiba.

"Aduh keatas dikit dong. Nah di situ tuh, mantap banget pijitan mu besti." kata Dinda merem melek menikmati pijitan Daniar.

"Makannya jangan semangat banget kalau siang. Yang ada pas malam tepar kaya gini." keluh Daniar.

"Hehe kerokin aku lah Daniar aku mual nih."

Daniar menghentikan aktifitasnya ketika mendengar keluhan Dinda.

"Sudah hamil lagi?" tanya Daniar.

"Hah? Astaghfirullah pikiranmu. Belum juga skidipapap, hamil sama siapa coba? Nyamuk yang tiap malem ngapelin aku?"

"Kirain kan hamil lagi."

"Ya hamil lagi dong. Tapi nanti kalau sudah skidipapap. Hehe."

"E... Buset dah ah.."

Tok.. Tok.. Tok.. Tok..

Suara ketukan pintu spontan mengagetkan mereka berdua. Gegas Daniar membukakan pintu.

"Dinda ada kan? Aku masuk ya."

"Mbak Bella. Ada apa?" tanya Dinda ketika mengetahui jika Bella yang datang.

"Oh nggak, hanya mampir saja. Kebetulan tadi lewat."

"Oh, ya ya mbak."

"Emmmm, jadi gini. Sebenarnya kedatanganku kesini juga ingin minta tolong sih."

"Minta tolong apa mbak?" Dinda penasaran.

"Bisa nggak minta tolong bilangin ke Arjun untuk mengizinkan aku keluar dari kediaman."

"Hah? Mbak Bella mau kemana memangnya."

"Sebenarnya aku ingin mengikuti kompetisi melukis. Setiap tiga bulan sekali aku selalu mengikutinya. Dan bulan ini.. Kamu tentu tau kan?"

"Ya mbak, tapi sepertinya aku juga tidak yakin Arjun akan mengizinkannya."

"Tolonglah Dinda. Hanya empat hari saja. Setelah itu aku secepatnya akan kembali lagi ke sini. Kalau tidak sehari saja sudah cukup kok."

"Ya sudah, nanti Dinda coba ngomong sama Arjun ya."

Bella memegang tangan Dinda "Tolong banget ya Din."

"Iya mbak."

"Oh ya, bagaimana keadaan Arjun sekarang?" tanya Bella.

"Sudah jauh lebih baik kok mbak. Berjalan juga sudah bisa. Cuma masih rada di seret kakinya."

"Hmm syukurlah. Aku sempat terkejut ketika mendengar perkelahiannya. Sejauh ini sudah lama sekali aku tidak mendengar dia berkelahi. Ku kira dia sudah tidak pandai menghadapi penjahat. Tapi ternyata dia tidak berubah sedikitpun. Kemampuannya menangani musuh masih bisa di puji setinggi langit." terang Bella.

"Apakah dulu dia juga suka berkelahi mbak?" Dinda penasaran.

"Kamu tau, cintaku padanya dulu hanya bertepuk sebelah tangan. Aku begitu mengaguminya, namun Arjun sangat menyukai Dona. Di sisi lain aku dan Dona dulunya adalah teman dekat."

ตอนถัดไป