webnovel

Bab 54

Melakukan pemanasan di tengah udara pagi yang sangat dingin.

"Kalau seperti ini kenapa aku kaya lagi tukar shift ya sama mbak kunti. Si mbak kunti pulang, aku datang. Hahahaha."

Melepaskan alas kakinya dan melemparkan ke sembarang arah. Kini Dinda berjalan tanpa alas kaki. Meski masih subuh, tapi di luar sudah terang. Cahaya bulan dan bintang masih setia berjaga di angkasa.

"Arjun pasti belum bangun."

Dinda berniat untuk pergi ke tempat tuan Arjun. Namun di tengah perjalanannya ia tidak sengaja melihat seseorang berjalan dengan tergesa-gesa.

"Itu bukannya Denok, abdi dalem Dona ya?"

Karena merasa curiga, Dinda memutuskan untuk mengikuti kemana Denok pergi.

Berjalan mengendap-endap layaknya pencuri yang tidak ingin di amuk para warga. Dinda berusaha tidak menimbulkan keributan.

Ternyata Denok pergi ke tempat Dona. Ketika sampai, Dinda melihat Dona yang sudah siap untuk pergi.

Berjalan dengan tongkatnya, Dona di bantu Denok pergi ke arah area belakang paviliun tuan Arjun.

"Bukannya ke tempat Arjun? Tapi kok malah mereka berdua ke belakang sih."

Dinda semakin penasaran dengan apa yang hendak di lakukan Dona dan Denok di sana.

Dinda bersembunyi di balik pohon untuk mengamati gerak-gerik kedua wanita itu.

Tampak Denok susah payah menggeser sebuah batu hingga tampak sebuah lubang sebesar badan anjing dari balik baru itu.

"Sejak kapan di sana ada celah?"

Dinda melihat Dona dan Denok keluar melewati celah dinding itu.

Bukan Dinda namanya, jika dia tidak berani mengambil resiko.

Dinda mengikuti mereka dengan menerangkan melewati celah itu.

"Untung saja aku sudah turun enam kilogram. Kalau tidak, mungkin pantatku ini akan nyangkut di sana." gumam Dinda sambil cekikikan.

Untunglah sebelum pergi keluar, Dinda memakai hoodie milik tuan Arjun yang ia rebut paksa. Karena di kediaman itu hanya ada baju tipis menerawang di lemarinya. Bukan karakter Dinda memakai pakaian seperti itu, tapi apa daya. Hanya ada itu di sana, sehingga mau tidak mau Dinda terpaksa harus beradaptasi dengan kemauan suaminya.

"Duh jalannya cepat sekali sih mereka. Sudah sendal enggak tau kemana tadi."

Ingin berhenti tapi penasaran. Ingin lanjut tapi resiko kakinya terluka terpampang nyata di depannya.

"Sebenarnya mereka mau kemana sih?"

Denok dan Dona berjalan cukup cepat di depan. Nampaknya mereka belum menyadari ada seseorang yang mengikuti mereka di belakangnya.

Dinda berhenti ketika kakinya tidak sengaja menginjak sebuah ranjau yang sepertinya dengan sengaja di pasang di sana. Ketika di perhatikan memang di sana ada banyak sekali jebakan yang di buat oleh para pengawal tuan Arjun Saputra untuk berjaga-jaga.

"Cih sialan. Jebakan mu terkena istrimu sendiri om Arjun. Kamu harus bertanggung jawab soal ini nanti."

Dinda tidak begitu mempedulikan luka yang ada di telapak kakinya. Buru-buru ia mengejar kembali Denok dan Dona karena di rasa sudah tertinggal cukup jauh.

Dinda tercengang. Bersembunyi di semak belukar ketika melihat Dona tengah mengobrol dengan seorang pria di sana.

"Dia Bima? Orang yang hendak membunuhku waktu itu."

Dona tampak serius mengobrol dengan pria itu. Menyerahkan sebuah amplop coklat pada pria itu.

"Kena kau Dona. Ternyata kamu yang mencuri dokumen itu. Awas saja kau."

Dinda gegas pergi sebelum ia tertangkap basah. Karena dengan mata kepalanya sendiri ia melihat ada beberapa pengawal yang waspada di sekitar mereka.

Dinda buru-buru berlari ke kediaman kembali. Lagi-lagi harus merangkak kembali di celah sempit itu.

"Ah padahal tadi aku bisa dengan mudah melewati lubang ini. Kenapa sekarang susah sekali."

Dinda berusaha keras melewatinya hingga berhasil "Nasib jadi aku memang. Nafas saja jadi daging. Haaaapp kenyaaangg."

Dengan terseok-seok Dinda kembali ke paviliunnya.

----

"Astaghfirullah darah siapa ini?" Daniar yang datang dengan membawa sarapan sempat terkejut ketika melihat noda darah di lantai.

"Daaniiaaaarrrr.. Huwaaaa.."

Mendengar Dinda yang memanggil membuat Daniar cepat-cepat berlari pada majikannya itu.

"Ya allah Dinda." Daniar terkejut ketika melihat darah yang mengalir dari telapak kaki Dinda. Meski sudah di balut kain, namun sepertinya tidak bisa menyumbat pendarahan itu.

"Cepatlah kamu panggil dokter. Atau aku akan mati kehabisan darah."

"Hah, ba-baik. Kamu harus bertahan nyonya."

----

"Jadi bagaimana? Apa sudah ada kabar dari anak buahmu?" tanya tuan Arjun pada Rendi.

Mereka sedang berbincang tepat di ruang utama kediaman. Membicarakan hal penting dengan menikmati secangkir teh hangat di suasana pagi yang cukup tenang itu.

"Belum ada kabar tuan. Sepertinya di suka berpindah-pindah tempat untuk mengelabui musuh. Jadi kami juga agak kerepotan untuk segera menemukannya." jawab Rendi.

"Kau harus memasang mata tajam-tajam Rendi."

"Baik tuan."

Klok.. Klok.. Klok.. Klok..

Samar-samar dari kejauhan terdengar bunyi sepatu yang beradu dengan paving blok kediaman.

"Bukankah itu abdi dalem nyonya Dinda?" kata Rendi mengamati benar-benar.

"Ya dia Daniar."

Saking kencangnya ia berlari, Daniar sampai tidak sadar ketika melewati tuan Arjun dan Rendi yang tercengang menyaksikan kepanikan di wajahnya.

"Ada apa ini? Kenapa dia berlari seperti itu." tanya tuan Arjun.

"Hanya ada dua alasan kenapa dia berlari secepat itu tuan." jawab Rendi.

"Apa?"

"Pertama dia sedang panik karena terjadi padanya. Dan kedua.."

Rendi sepertinya ragu untuk melanjutkan perkataannya.

Tuan Arjun dan Rendi saling bertatapan. Seperti terjadi interaksi dengan melibatkan batin mereka.

Tuan Arjun segera berdiri dari kursinya, lalu berlari sekencang mungkin meninggalkan Rendi. Terlihat dengan jelas raut wajah tuan Arjun Saputra yang berubah panik saat menyadari sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Dindaaaa.." tuan Arjun Saputra berlari sambil meneriaki nama istri kecilnya itu.

"Sejak kapan tuan jadi manis begitu, sepertinya nyonya kecil itu berhasil menumbuhkan bunga di hati tuanku yang kejam itu." gumam Rendi sembari terpaku menatap tuanya berlari sekencang itu. Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya karena tingkah tuan Arjun yang semakin hangat ia rasakan itu.

"Diindaaaa..!!"

Sayup-sayup dari kejauhan Dinda mendengar namanya di teriaki. Bukannya senang, Dinda justru merasa risih. Karena dia setengah mati sedang panik, darah itu masih tetap keluar meski dengan sekuat tenaga sudah mencoba untuk menyumbatnya.

"Dinda sayaaaang kamu kenapa?"

Bukan hanya Dinda, tuan Arjun Saputra juga panik saat melihat gulungan kain yang berserakan penuh noda darah.

"Lihat, kakiku berdarah Arjun." Dinda menunjukan luka di telapak kakinya.

"Kenapa bisa robek seperti itu sayang?" tanya tuan Arjun Saputra khawatir.

"Terkena ranjau yang pengawalmu pasang." kata Dinda dengan nada jengkel.

"Mana ada ranjau di dalam kediaman ini sayang. Kamu bercanda ya?"

"Siapa yang bilang di dalam kediaman Arjun. Sudah ah mana dokternya."

"Ah iya juga, mana abdi dalem mu itu? Kenapa belum juga kunjung tiba."

Tuan Arjun Saputra segera memerintahkan pengawal untuk menjemput Daniar dan dokter yang ia panggil. Kembali kepada istrinya untuk membantunya menghentikan pendarahan.

"Kamu tahan ya. Ini agak sakit sayang."

Dengan sekuat tenaga tuan Arjun Saputra menyumpal telapak kaki Dinda dengan kain.

Itu sedikit membantu karena darahnya tidak lagi mengalir.

"Sssshh.. Sakit sekali. Kamu harus bertanggung jawab untuk ini Arjun!!"

Next chapter