webnovel

Bab 51

Dinda menunggu di ruang tunggu, tidak di temani tuan Arjun Saputra. Karena memang itu permintaannya sendiri. Dinda ingin privasi antara kakak dan adik.

"Okta.." Dinda berhambur memeluk adiknya yang akhirnya muncul di hadapannya itu.

"Mbak Dinda. Hiks.." Okta tidak bisa membendung air matanya, berbulan-bulan ia telah di penjara. Baru kali ini ada yang datang Menjenguknya lagi.

"Bagaimana kabarmu hah? Kenapa kamu jadi kurus sekali. Apakah kamu tidak puas makan di sini? Duduklah, mbak membawakan mu makanan yang sangat banyak."

Dinda duduk di samping Okta. Terus menempel dan mendampinginya untuk memberikan dukungan moral pada adiknya itu.

Hatinya sangat sakit ketika melihat Okta yang dengan lahap memakan makanan bawaannya. Mengusap pelan rambut adik kesayangannya itu.

"Pelan-pelan tidak akan ada yang merebutnya darimu."

"Ini sangat enak mbak. Ini juga rambutnya banyak sekali."

"Nanti kamu bisa membaginya dengan kawan-kawan di dalam."

Okta menatap Dinda sedih "Maafkan aku mbak, karena pasti mbak Dinda kecewa padaku kan?"

"Tidak ada yang kecewa padamu. Mbak justru bangga padamu. Kamu pria jantan Okta."

Okta menunduk, meremas jemarinya sendiri.

"Okta tidak bersalah untuk semua ini, ini fitnah mbak."

"Mbak percaya padamu. Kamu adik mbak yang baik. Mana mungkin bertindak seceroboh itu."

"Ini semua ulah Bima sialan itu. Dia juga yang telah membuat mbak Ambar menderita. Sekali lagi maafkan Okta mbak, karena tidak bisa melindungi mbak Ambar."

"Sebenarnya apa yang terjadi Okta."

"Ini semua berawal saat papa tau rahasia besar pak Gatot mbak. Rahasia apa itu Okta juga tidak tau pasti. Yang jelas, jika rahasia itu terbongkar maka nasib pak tua bangka itu di pastikan akan hancur."

"Jadi bagaimana bisa papa tau rahasia itu?"

"Okta juga tidak tau mbak."

Dinda menatap Okta. Dia sangat tau watak adiknya itu. Ada sesuatu yang belum ia sampaikan padanya. Tentang apa? Dinda memutuskan untuk tidak menanyakannya kali ini. Dia masih punya banyak kesempatan untuk membuat Okta membuka mulut.

"Mbak tidak bisa terlalu lama di sini. Sebentar lagi harus pergi."

"Mbak?"

"Ada apa? Apakah ada yang ingin kamu katakan?"

"Tolong jangan mencari tau tentang Bima. Dia sangat berbahaya. Okta khawatir jika mbak Dinda mencari masalah dengannya. Mbak akan bernasib sama seperti kami."

"Kamu tidak perlu khawatir untuk itu. Aku akan menjaga kakakmu dengan baik." tuan Arjun Saputra menyela pembicaraan kakak beradik itu.

"Kamu siapa?"

Okta tentu saja merasa asing dengan pria yang kini duduk di hadapannya. Dengan setelan kemeja mewahnya tuan Arjun Saputra berhasil membuat Okta takjub dalam sekejap mata.

"Dia adalah kakak iparmu Okta." Dinda memperkenalkan.

"Jangan bohong deh mbak. Bukannya mbak Dinda menikah dengan om om ya?"

"Lah memangnya dia bukan om om?"

"Dia kelihatannya masih seumuran denganku mbak."

Tuan Arjun Saputra terkekeh mendengar jawaban polos dari Okta. Seperti Dinda, ternyata Okta juga suka bicara asal-asalan.

"Kamu ini seharusnya memujiku bukannya menghina ku. Dasar kamu ini payah sekali. Apakah aku yang terlihat seperti tante-tante."

"Sudah kalian ini. Okta, yang di katakan kakakmu benar. Aku adalah kakak iparmu. Jadi jangan sungkan padaku ya."

"Iya kakak ipar."

"Benar ya sudah tidak ada yang ingin kamu ceritakan lagi padaku?" tanya Dinda.

Okta tidak menjawab. Terlihat merenung memikirkan sesuatu yang rumit. Sesekali Okta melirik ke arah tuan Arjun yang terus menatapnya.

"Katakan saja apa yang ingin kamu ceritakan. Kami siap untuk membantumu." kata tuan Arjun Saputra meyakinkan adik iparnya.

"Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu mbak." Okta menatap Dinda.

"Katakan saja Okta. Aku mbakmu kan? Bukankah kamu selalu mengandalkan ku."

Okta menggenggam kedua tangan Dinda dengan erat.

"Mbak Dinda tolong selamatkan Tania."

"Tania kekasihmu itu?"

Okta mengangguk.

"Memangnya apa yang terjadi padanya?"

"Dia akan di nikahi pria jahat Bima mbak."

"Hah? Bima? Tau darimana kamu berita itu."

"Tania yang bilang sendiri, kemarin dia datang ke sini dan menceritakan semua itu. Katanya dia di paksa untuk menikah dengan Bima. Kalau dia tidak bersedia Bima akan membunuh kedua orang tuanya."

"Kurang ajar sekali bedebah itu." umpat Dinda.

"Kamu yakin jika kekasihmu itu di ancam?" tanya tuan Arjun.

"Iya benar kakak ipar. Dia bahkan menangis kemarin. Aku yakin dan percaya jika dia tidak berbohong."

"Itu berarti kedua orang tuanya ada di dalam sanderaannya. Bima itu pria yang sangat licik dan suka bermain wanita."

"Kakak ipar, tolong bantu Tania. Kasihan dia jika harus menderita."

"Ini rumit, tapi kamu jangan khawatir Okta. Aku akan memikirkan cara agar Bima tidak bisa menikahi kekasihmu itu."

Dinda mengusap punggung adiknya itu dengan penuh kasih sayang.

"Waktu besuk sudah habis, kamu kembalilah dulu. Kami pasti akan menjenguk mu di lain waktu. Dan untuk Tania, kamu percayakan saja pada kakak iparmu itu. Dia pria yang bisa di andalkan."

"Terimakasih mbak, terimakasih juga kakak ipar." Okta membungkuk kemudian beranjak pergi untuk kembali ke dalam sel tahanannya.

----

"Sudah sayang jangan terlalu di pikirkan. Aku akan menyuruh Rendi dan anak buahnya membebaskan orang tua gadis itu. Lalu kita bisa diam-diam menyelamatkan gadis itu pergi dari jeratan Bima."

"Tapi sayang, bukankah dia itu adik sepupu mu?" tanya Dinda.

"Memangnya kenapa sayang kalau dia itu adik sepupuku. Yang jahat tentu harus di musnahkan bukan?"

"Tapi bagaimana jika ibu mertua tau."

"Kamu tidak perlu memikirkan sejauh itu sayang. Kamu cukup duduk manis dan melihat hasilnya saja."

Dinda menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong, bahkan saat tuan Arjun terus berbicara padanya saja ia tidak bisa fokus mendengarkan.

"Sayang kamu dengar aku? Hey jangan melamun begitu."

Dinda tersadar kemudian tersenyum pada suaminya.

"Bisakah kita mampir sebentar, aku sangat rindu rumahku."

"Kamu yakin ingin ke sana sayang?"

Bukan apa-apa, tuan Arjun juga tidak bermaksud untuk menghalanginya. Dia hanya khawatir, jika mereka pergi ke rumah sudah pasti Dinda akan uring-uringan dan merasa sangat sedih.

"Aku ingin melihat mama dan kakak sepupuku." kata Dinda lirih.

"Baiklah sayang kalau kamu mau ke sana, kita akan ke sana sekarang juga."

Tuan Arjun Saputra memutar setirnya, melaju cukup kencang pergi ke arah rumah masa kecil Dinda.

Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di tempat tujuan. Rumah sederhana dengan gaya minimalis yang terdiri dari tiga lantai itu cukup membuat dada Dinda berdesir.

"Selamat sore tuan."

Para pengawal itu memberi hormat pada tuan mereka. Mempersilahkannya dan Dinda masuk ke dalam rumah.

Dinda sempat ragu, namun berkat dukungan tuan Arjun Saputra yang terus menguatkannya. Dengan memantapkan hatinya, Dinda akhirnya masuk ke dalam rumah orang tuanya.

Bukan Ambar yang menyambut kedatangan mereka. Melainkan bu Rahmi yang duduk di kursi roda. Wajah tanpa ekspresi itu membuat Dinda terenyuh.

Dinda berjalan mendekati ibunya yang kini kehilangan kewarasannya.

"Mama.." panggil Dinda.

Bu Rahmi hanya menatap Dinda sebentar lalu berpaling lagi. Tatapan kosong, menatap ke arah pintu masuk rumahnya.

Dinda bersimpuh di kaki bu Rahmi. Merintih menahan getir yang menyerang sanubarinya.

"Mama, ini Dinda."

Dinda membelai wajah bu Rahmi dengan lembut. Berharap ibunya akan mengenalinya saat tangannya berhasil menyentuhnya.

Next chapter