webnovel

- Rahasia di Balik Topeng, Tawa di Balik Ancaman

Beberapa Hari Kemudian . . .

Langit senja menyimpan kehangatan di balik perpaduan warna jingga dan ungu, mewarnai langit dengan indah. Di markas pasukan "Horns," suasana tegang terasa di udara. White Dove melangkah mantap melewati lorong-lorong menuju ruangan Sabrina, pemimpin pasukan .

Dengan langkah mantap, White Dove membuka pintu ruangan tersebut dan tanpa ragu langsung bertanya, "Apakah ada misi baru?" Wajahnya yang penuh semangat mencerminkan tekadnya untuk selalu siap menjalankan tugas.

Sabrina, yang tengah sibuk menyusun berkas-berkas, mengangkat pandangannya. Senyuman tipis terukir di bibirnya, namun raut wajahnya juga mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Sabar dulu, Gourm... maaf, maksudku White Dove," ucapnya pelan sambil menegakkan tubuhnya. Ia menjelaskan dengan serius, "Aku memiliki misi yang sungguh penting. Seharusnya pesan ini disampaikan oleh Pasukan Pesan. Namun, aku memutuskan untuk mengirim sebagian dari mereka ke arah utara."

White Dove mengangguk mengerti, merasakan getaran ketegangan dari Sabrina. Ia paham betapa beratnya tanggung jawab yang harus dipikul oleh Sabrina sebagai pemimpin pasukan. Dalam hati, White Dove berjanji akan memberikan segala usahanya sepenuhnya, seperti yang selalu ia lakukan.

Kertas-kertas berantakan di meja Sabrina mulai rapi, setiap lembaran diperlakukan dengan teliti. Keheningan terasa, hanya terganggu oleh desikan angin yang perlahan masuk melalui jendela terbuka. White Dove siap menerima arahan selanjutnya, siap untuk melangkah ke medan tugas baru yang akan menguji nyali dan keterampilannya sekali lagi.

"Kau perlu bantuan?" tanya White Dove dengan nada perhatian, matanya memancarkan kerja sama dan kesiapan. Ruangan itu hening, terasa seperti waktu berhenti saat Sabrina mengeluarkan sepucuk surat dari dalam laci meja. Suasana tegang terasa semakin kuat, seolah ada sesuatu yang besar sedang terjadi di balik layar.

"Dapatkah kau menyampaikan ini pada Kara?" pinta Sabrina, menyerahkan surat itu kepada White Dove. Detik-detik di antara mereka terasa seperti berabad-abad lamanya, penuh pertimbangan yang mendalam. White Dove merasa beratnya tanggung jawab yang diberikan, ia merasakan betapa pentingnya isinya sehingga Sabrina sendiri yang seharusnya melakukannya.

Namun, White Dove merasa ragu sejenak. Sabrina bisa merasakan keraguannya dan dengan cepat mengambil alih pembicaraan, "Aku tahu ini berat bagimu. Oleh karena itu, awalnya aku berniat untuk memerintahkan Pasukan Pesan untuk tugas ini. Namun, sepertinya mereka tidak ada di tempat."

"Kak?" sahut White Dove dari balik topeng yang ia kenakan, suaranya teredam tetapi penuh keterlibatan.

Sabrina menoleh padanya, "Biar aku yang mengantarkan surat itu," putusnya dengan tegas.

Sejenak, ruangan itu seakan terbungkam. White Dove melangkah mendekati Sabrina, perlahan tapi penuh keyakinan, "Kau yakin? Aku tidak ingin identitasku terbongkar. Sedikit saja kesalahan fatal dapat membuat seluruh markas ini menjadi kacau."

Sabrina memandangnya dengan tajam, namun melihat tekad dalam mata White Dove, ia mengalah. "Baiklah," ucapnya akhirnya, "ini suratnya. Pastikan kau sampaikan padanya dengan hati-hati, dan jangan sekali-kali bertindak ceroboh."

White Dove mengulurkan tangannya, menerima surat tersebut dengan penuh hormat. Dengan gerakan yang gesit namun penuh kehati-hatian, ia memasukkan surat itu ke dalam jubahnya. Dengan tulus ia menatap Sabrina, memberikan jaminan dalam tatapannya bahwa ia akan menjalankan tugas ini dengan sepenuhnya.

Setelah berpamitan, White Dove melangkah keluar dari ruangan itu. Hatinya berdebar-debar, merasakan beban tanggung jawab yang besar namun juga merasa dihormati karena dipercayai untuk tugas sedemikian penting. Ia melangkah menjauh dari ruangan itu dengan langkah mantap, siap untuk menjalankan tugas berat yang baru saja diberikan padanya.

Sabrina merasa ragu-ragu, tetapi akhirnya berdiri dan meninggalkan ruangan. Ia berlari mengejar White Dove yang sudah berjalan lebih jauh sambil berkata, "Hei, tunggu aku ikut!" White Dove melambatkan langkahnya, senyum ringan terukir di wajahnya seraya menjawab, "Baiklah."

Mereka berdua berjalan menuju pintu keluar markas. Cahaya senja menyelimuti langkah mereka, dan setiap hembusan angin terasa segar di wajah. Begitu mereka berada di luar, White Dove mendalamkan tarikan nafas lega, merasakan kebebasan yang telah lama ia rindukan. Matanya terpana memandangi langit yang mulai memerah, langit yang terbentang indah di atas hutan dan rerumputan luas.

Sabrina tersenyum mengamati ekspresi White Dove, lalu dengan lembut mengatakan, "Sudah lama, kan? Kau hampir tidak pernah keluar dari markas, seperti mengurung diri dalam bayangan masa lalu." White Dove hanya mengangguk, matanya masih terpaku pada panorama yang mengagumkan di hadapannya.

Tanpa buru-buru, mereka berdua melanjutkan langkah, menuju markas Horns yang terletak tak jauh dari sana. Setiap jejak langkah mereka seakan melambangkan kesiapan baru untuk menghadapi masa depan, menerjang bayang-bayang ketidakpastian.

Di tempat lain, suasana tenang memenuhi ruangan dengan jendela terbuka. Charlie duduk di meja, tenggelam dalam tumpukan berkas-berkas yang tersebar di hadapannya. George, rekan setianya, memberikan bantuan dengan mengatur beberapa berkas tersebut. Udara segar dari luar masuk ke dalam ruangan, mengusir kepenatan akibat pekerjaan mereka.

Tiba-tiba, seorang burung elang mendarat dengan anggun di ambang jendela. George yang peka terhadap tanda-tanda alam segera melihat bahwa ada sesuatu yang diikat pada kaki burung tersebut. Dengan hati-hati, ia melepaskan selembar kertas yang terikat rapi di kaki burung elang itu. Dalam sekejap, burung itu terbang kembali meninggalkan jendela yang terbuka lebar.

Charlie mengangkat kepalanya dari berkas yang sedang dikerjakannya, melihat George membaca kertas yang baru saja ditemukan. "Ada pesan terbaru?" tanyanya dengan mata penuh harap.

George hanya tersenyum sambil terus menatap keluar jendela. "Tidak, ini hanya laporan biasa. Akan kubuat menjadi bagian dari laporan harian pasukan intai," ujarnya sambil merapihkan kertas tersebut.

Keduanya tahu betul, dalam pekerjaan mereka, bahkan yang tampak sepele sekalipun bisa saja memiliki arti penting. Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, menciptakan perpaduan warna-warni yang menakjubkan di langit. Di ruangan itu, Charlie dan George kembali tenggelam dalam tugas mereka, siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Hari semakin gelap dan dalam perjalanan mendekati markas White Dove dengan Sabrina pun berhenti dan mulai melangkah ke arah yang berbeda satu sama lainnya lalu mereka pun masuk melalui pintu rahasia markas.

setelah masuk ke dalam White Dove berusaha untuk membenarkan Topengnya sembari berjalan menyusuri lorong , ia bertemu dengan satu persatu pasukan jaga malam Horns namun mereka tidak menatap White Dove. Salah Seorang dari merekapun memanggilnya semnari berkata"Hei, Apakah Kak Mordon sudah kembali? "Kemudian White Dove pun berhenti dan berkata di balik topengnya" Sepertinya dia masih dalam perjalanan kembali ".White Dove menjawab pertanyaan tersebut sembari berusaha untuk menutupi identitasnya." Baiklah, kalau begitu"Balas Orang tersebut.

Setelah melangkah melewati beberapa lorong, langkah White Dove terhenti tatkala pintu menuju Ruang Pasukan Asistensi terbuka lebar. Di dalam, terlihat Jeniffer tengah berkumpul dengan rekan-rekannya, sedang merencanakan beberapa strategi. White Dove memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dan menuju kamar Kara.

Berada di depan pintu kamar Kara, White Dove berusaha melihat ke dalam, memastikan situasinya. Dengan cermat, dia membenarkan posisinya dan merubah suaranya agar sulit dikenali. Namun, sebelum dia sempat mengetuk pintu, suara Jeniffer terdengar dari kejauhan, "Hei, kau ingin bertemu dengan Kara? Dia sedang ada masalah, jadi biar aku yang menyampaikan pesan itu." Jeniffer meminta surat tersebut dari tangan White Dove. Dengan singkat, White Dove mengangguk dan memberikan pesan tersebut sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya.

Saat akan melangkah pergi, suara Jeniffer terdengar lagi, kali ini dengan nada penasaran, "Kau bukan Gourment kan?" White Dove terdiam sejenak, lalu dengan suara rendah, dia menjawab, "Aku White Dove dari Pasukan Hantu Merah Divisi Perdamaian. Ku rasa kau salah orang." Jeniffer menatap White Dove dengan seksama, mungkin mencari tanda-tanda kebohongan. Kemudian, dengan sedikit kesombongan, dia berkata, "Yah, aku tahu Gourment tidak mungkin berbohong soal dirinya."

Dalam hati, White Dove merasa geram, "Wanita brengsek, aku tidak ingin semua ini terbongkar. Ingin rasanya kubuat dia tahu diri." Namun, dia tetap menjaga ketenangan dan hanya melanjutkan perjalanannya. Jeniffer pun pergi, tetapi kecurigaannya masih terpendam.

Saat White Dove berjalan melewati kafetaria, tanpa sengaja dia menabrak seseorang. Ternyata orang yang ditabrak adalah Brosko. Saat menyadari ini, White Dove buru-buru bergegas pergi sambil berkata, "Maafkan aku, lain kali aku ganti." Dia melangkah cepat menuju lorong, berusaha menjauh dari situasi tersebut.

Di sisi lain, Jeniffer mendekati Brosko dan berkata, "Kau tidak curiga? Gerak-gerik orang itu, sepertinya aku kenal." Dengan sedikit bingung, Brosko menjawab, "Ia menumpahkan kopi yang sudah kubeli untuk kita berempat. Sekarang aku harus memesan lagi." Jeniffer menghentikan kepala Brosko dengan pukulan ringan sambil berkata, "Urusan kopi akan kuganti. Yang terpenting, ikuti dia." Brosko mengangguk, dan mereka berdua bergegas menyusul White Dove.

"Empat kopi pesananku, tolong antarkan ke ruangan Divisi Kavaleri," pesan Brosko kepada petugas kafetaria sebelum mereka berangkat mengikuti White Dove.

Di luar, Brosko dan Jeniffer terus mengikuti langkah-langkah White Dove dengan waspada. Namun, White Dove merasa ada yang mencurigakan dan tiba-tiba berbelok ke sebuah lorong kecil. Di sana, dia bertemu dengan Sabrina, yang tampaknya telah mengantisipasi situasi ini. Jeniffer dan Brosko, yang mencoba mengintip dari balik tembok, mendengar Sabrina berbicara dengan suara tegas, "Jika kalian nekat melakukan hal ini lagi, kalian akan ditendang keluar dengan seragam kalian di kota Khorkan."

Kata-kata Sabrina seakan menyadarkan Jeniffer dan Brosko akan risiko yang mereka ambil, dan mereka pun memutuskan untuk berlari menjauh dari situ, meninggalkan Sabrina dan White Dove sendirian.

Setelah Jeniffer dan Brosko pergi, Sabrina dan White Dove melanjutkan perjalanannya keluar dari markas. Saat dalam perjalanan, Sabrina memutuskan untuk bertanya, "Mereka mengikutimu dari tadi?" White Dove hanya mengangguk sebagai jawaban. Sabrina kemudian memeluknya dengan erat sembari berkata, "Kau pria yang kuat, sangat kuat."

Sekujur tubuh White Dove bergetar, dan di balik topengnya, air mata mulai mengalir deras. Dengan suara lirih, dia menjawab, "Maaf, aku masih belum terbiasa." Sabrina memberikan pengertian, "Tak apa, kau hanya perlu membiasakan diri dan berlatih dengan serius sampai kau menjadi petarung yang tangguh di Divisi Perdamaian."

Setelah momen tersebut, mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju markas Divisi Hantu Merah, dengan tekad yang semakin bulat untuk menghadapi tantangan dan melindungi perdamaian.

Di dalam Markas Khorkan, tepatnya di sebuah kastil yang menjulang tinggi, Sierra duduk di sisi jendela besar, memandangi pemandangan kota yang dijaga ketat oleh Pasukan Khorkan. Sorot matanya kosong, seakan tenggelam dalam kerumitan pikiran yang dalam. Suasana di dalam kamar itu sunyi, hanya ditemani oleh hembusan angin pelan yang menyelinap masuk.

Namun, kedamaian itu langsung terusik ketika pintu kastil terbuka dengan kasar, memunculkan sosok seorang pria yang membawa sebuah buku tebal di tangan. Langkahnya mantap mendekati Sierra, dan suaranya penuh campuran antara kecemasan dan kemarahan, "Kau mau terus seperti ini?"

Sierra hanya diam, matanya tetap terpaku pada pemandangan luar jendela. Wajahnya terlihat datar, tanpa memberikan respons apapun.

Tanpa menunggu jawaban, pria itu meletakkan buku dengan keras di atas meja, hingga terdengar bunyi keras. "Sudah beberapa kali ayah bilang kau tidak boleh jatuh hati pada pria yang salah!" pekiknya, suaranya mencuat penuh amarah. "Apa kau tak ingin mendengarkan ayahmu?!"

Sierra masih tetap diam, sepertinya kata-kata itu hanya melayang begitu saja di udara. Tatapannya terus tertuju pada luar, seolah-olah tak ingin menyentuh urusan ini.

Pria itu semakin tak terkendali, ia membanting buku dengan kasar seraya berteriak, "Sekarang lihat apa yang telah kau perbuat! Seluruh warga yang mulai percaya pada kehadiran kita, kini perlahan-lahan meninggalkan kita. Dan semua itu berkat kebodohanmu yang tidak masuk akal, menemui pria bajingan itu!"

Namun, Sierra masih tetap tidak bergeming, seolah-olah lapisan pertahanan tak terlihat melindunginya dari amarah sang pria.

Pria itu akhirnya meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa-gesa, seakan kesabarannya telah habis. Sebelum benar-benar menghilang, ia berpaling sekilas ke arah Sierra, mata tajamnya penuh ancaman, "Kau dilarang meninggalkan tempat ini. Jika kau berani keluar, pasukan khusus akan mengawalmu dengan ketat. Dan jika kau berani menemui pria anggota musuh kita, aku akan memenggal kepalanya tepat di hadapanmu!"

Dengan ancaman terakhir itu, pria itu akhirnya pergi, meninggalkan Sierra yang tetap duduk di tempatnya, seakan tak tergoyahkan oleh segala ancaman dan amarah yang baru saja dihadapinya.

Namun, seiring langkah pria itu menjauh, munculah dua sosok pengawal yang mengikutinya dengan cermat. Mereka berjaga di kejauhan, mata mereka terus memantau langkah pria itu, siap mengikuti setiap perintah yang diberikan.

Tidak lama setelah itu, Crigia, kakak Sierra, datang menghampiri. Ia melihat adiknya yang duduk sendiri, tampak kewalahan dengan situasi. "Tidak seharusnya kau memarahi adik kesayanganku!" bentak Crigia dengan suara penuh amarah, tatapannya tajam menatap pria yang baru saja pergi, tetapi kata-katanya sepertinya hanya hilang begitu saja di tengah situasi yang tegang itu. Pria itu terus berjalan menjauh, meninggalkan Crigia yang menatapnya dengan ekspresi cemas, tetapi ia tetap tidak dihiraukan oleh pria itu sama sekali.

Dalam keheningan ruangan, Crigia masuk dengan hati yang berat. Matanya penuh kecemasan saat menatap adiknya yang terlihat hancur. Crigia mencoba bicara, namun terhenti oleh tatapan tajam Sierra. Suaranya terputus saat Sierra memotongnya dengan nada tajam, mengungkapkan perasaannya, "Aku tahu ini kesalahanku. Aku sudah melaporkan kejadian ini kepada ayah, dan ia malah menyuruh seorang anggota pasukan mengambil buku harian itu diam-diam dan..."

Tatapan Sierra menghujam tajam ke mata Crigia, mengisyaratkan bahwa ia merasa seperti ada kekecewaan di balik situasi ini. Crigia tergagap mencari kata, kemudian perlahan-lahan menganggukkan kepalanya dengan penuh penyesalan. Namun, ia tidak ingin menunjukkan ekspresi sedihnya di hadapan adiknya. Dengan langkah hati-hati, Crigia berbalik dan melangkah menjauh dari Sierra, lalu bergerak menuju pintu keluar.

Sementara itu, Sierra berbalik untuk menatap jendela, matanya kosong, penuh dengan pemikiran yang tak terbendung. Ruangan itu terasa sunyi dan hampa, seakan mencerminkan keadaan hatinya yang sedang kacau.

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa hidangan makanan dan meletakkannya di atas meja. Ia melihat makanan yang sebelumnya tidak tersentuh, lalu dengan suara lembutnya, ia berkata, "Nona, kau harus makan."

Sierra menoleh ke arah pelayan, matanya menatap dengan tatapan tajam. "Siapa namamu?" tanyanya, ingin tahu siapa sosok yang berani memasuki ruangannya.

"Panggil aku Maria, Nona," jawab pelayan itu dengan sopan.

Sierra terdiam sejenak, matanya kembali terfokus pada jendela. "Maria, apakah kau pernah merasakan hal seperti yang kurasakan?" tanyanya pelan, suaranya penuh dengan kehampaan dan kelelahan.

Maria tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. "Tidak, Nona," katanya akhirnya dengan suara lembut, "Tapi..."

"Kalau begitu, pergilah," potong Sierra tiba-tiba, tatapannya masih tidak beranjak dari jendela. "Dan panggilkan Estherina untukku."

Maria mengangguk dan bergegas keluar dari ruangan.

Sebelum meninggalkan Sierra sendirian, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memberitahukan sesuatu yang mungkin akan membuat Sierra semakin terpuruk. "Nona Estherina telah meninggal karena sakit, maafkan saya karena memberitahumu," ucap Maria pelan dan hati-hati sebelum melangkah pergi.

Di Caffetaria Khorkan, Crigia duduk sendirian di salah satu meja, menyeruput kopi dengan pandangan kosong. Matanya tak sengaja terpandang pada jendela di kejauhan, di mana Sierra duduk sendirian. Dan saat ia melihat adiknya menangis dengan hancur, rasa cemas dalam hatinya semakin mendalam.

Keesokan harinya, hujan turun dengan derasnya, membasahi seluruh kota dan juga Markas Horns Retaliation. Di dalam Caffetaria Horns yang ramai, Jeniffer sedang duduk bersama Brosko, sedang berdiskusi serius terkait kejadian mereka yang membuntuti White Dove. Wajah Brosko terlihat serius, tetapi ada sentuhan konyol dalam ekspresinya. "Aku curiga dengan pria itu," ucapnya, membuat Jeniffer sedikit tergelak.

"Kau ingin dihukum mati?" balas Jeniffer dengan nada mengejek.

Tak lama kemudian, Yuvi bergabung dengan mereka di meja. Dengan gayanya yang santai, ia berkomentar, "Memangnya dia pria bodoh, jadi biasakanlah dengan tingkah konyolnya."

Jeniffer mengangguk setuju sambil menambahkan, "Tapi sebentar lagi, kita akan tahu apa yang sebenarnya sedang ia rencanakan."

Saat itu, Yuvi duduk di samping Jeniffer, sambil merapikan rambutnya dengan santai. "Ada yang menarik di sini?" tanyanya, sambil merasa terganggu dengan tampilan rambutnya.

Jeniffer melihat Yuvi yang sedang membenarkan rambut dengan wajah tidak percaya. "Rambutku berantakan," gerutunya dengan ekspresi agak kesal.

Yuvi pun tertawa dan menjawab, "Yah, aku rasa dia memang pria yang agak bodoh." Mereka berdua pun tertawa bersama, merasa nyaman dengan kehadiran satu sama lain.

Namun, keheningan mereka terputus ketika Lous datang mendekati mereka. Dengan serius, ia berkata kepada Brosko, "Brosko, aku butuh bicara denganmu di ruanganku." Brosko pun berdiri dan meninggalkan meja mereka, menuju ruangan Lous.

Setelah Brosko pergi, Yuvi memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. "Hei, apa yang sedang kalian bicarakan tadi?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.

Jeniffer menjawab dengan santai, "Tidak ada yang serius, hanya membahas terkait kejadian yang menimpa Kara."

Yuvi mengangguk paham, sambil menyampaikan pandangannya, "Ahh, Sersan Kara ya? Aku tidak begitu mengerti dirinya, meskipun kami wanita."

Jeniffer mengangguk setuju, sambil tersenyum, "Well, memang terkadang sulit untuk memahami seseorang sepenuhnya."

Di tengah cuaca hujan yang turun di luar, percakapan mereka terus berlanjut di Caffetaria Horns.

Di dalam ruangan komando, Lous menyerahkan sejumlah dokumen kepada Brosko sambil berkata tegas, "Ini dokumen yang kau minta terkait White Dove. Jaga kerahasiaan ini. Dan ini adalah dokumen tambahan yang harus kau antar kepada Sabrina."

Brosko menerima dokumen-dokumen tersebut dengan tekad dan menganggukkan kepala sebagai tanda pengertian. Setelah instruksi diberikan, ia meninggalkan ruangan dengan langkah mantap, menuju pangkalan kendaraan. Namun, di tengah perjalanannya, ia tak sengaja bertemu dengan Kruchiev, seorang rekan pasukan yang cakap dalam strategi. Kruchiev yang peka segera menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganjal, "Hei, nampaknya kau sedang dalam keadaan tergesa-gesa. Ada apa, Brosko?"

Wajah Brosko mencerminkan keraguan dan kekhawatiran. "Jenderal meminta aku untuk mengantarkan dokumen-dokumen ini ke Divisi Hantu Merah," jawabnya dengan suara rendah.

Kruchiev mengangguk singkat, "Baiklah, aku akan ikut denganmu." Tanpa banyak bicara, keduanya melanjutkan perjalanan ke pangkalan kendaraan untuk menuju tempat tujuan.

Di dalam kendaraan tempur yang mereka tumpangi, Kruchiev tidak bisa tidak memperhatikan ketidakbiasaan Brosko. "Ada yang mengganggumu, Brosko. Ceritakan saja."

Brosko merenung sejenak sebelum menjawab, "Aku hanya tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada yang aneh terkait kematian Gourment."

Kedatangan mereka di lokasi tujuan mengakhiri percakapan mereka. Mereka turun dari kendaraan dan disambut oleh Sabrina dan White Dove yang sudah menunggu. Brosko menyerahkan dokumen-dokumen dengan tegas, namun matanya tak luput memandang tajam kepada White Dove, mencoba meresapi setiap gerak dan sikapnya.

Sabrina, yang peka terhadap ketegangan di udara, bertanya dengan tajam, "Masihkah kau meragukan dia, Brosko?"

Brosko menjawab dengan lugas, "Ini hanyalah tugas, Sabrina. Aku sedang menjalankan tugas."

Setelah tugas selesai, Brosko dan Kruchiev meninggalkan tempat tersebut. Saat mereka kembali ke kendaraan, Brosko masih merenungkan segala tanda tanya yang mengelilingi White Dove, sementara Kruchiev hanya mengangkat bahu, merasa bahwa Brosko mungkin terlalu memperhatikan hal-hal yang sepele.

Setelah keluar dari mobil tempur, Brosko ditarik oleh Kruchiev menuju kursi santai di pangkalan. Dengan ekspresi penuh semangat dan rasa ingin tahu, Kruchiev meminta Brosko untuk membocorkan isi pikirannya, "Oke, oke, ceritakanlah. Apa yang merayap di otakmu?"

Brosko mengambil napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mempersiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat serius, "Dengarlah, Kruchiev, pernahkah kau bertemu dengan Gourment secara langsung?"

Kruchiev mengangguk cepat, "Iya, pernah."

Brosko melanjutkan dengan serius, "aku punya firasat aneh tentang White Dove. Aku merasa ada kemiripan mencolok di antara mereka berdua."

Kruchiev, yang baru saja hendak meraih kotak asbak untuk merokok, mendadak terhenti dalam gerakannya. Matanya melebar dan wajahnya seperti kanvas lukisan yang menampakkan kekacauan. Ia berusaha keras menahan tawanya, tetapi akhirnya tawa itu pecah juga. Suara tawanya terdengar seakan-akan ia sedang berlari maraton dengan para kuda liar.

Brosko, dengan wajah bingung dan agak kesal, bertanya, "Hei, mengapa kau malah tertawa?"

Kruchiev akhirnya meredakan tawanya dan menatap Brosko dengan wajah penuh kekaguman, "Brosko, kau pelawak jenius! Ini lelucon terbaik yang pernah kudengar!"

Brosko memandang Kruchiev dengan bingung, "Lelucon? Aku tidak bercanda, lho."

Kruchiev berusaha keras untuk meredakan tawanya, "Baiklah, Brosko, baiklah. Namun, jika cara terbaik untuk mengatasi pemikiran anehmu adalah ini..." Kruchiev tiba-tiba mengambil kotak asbak di depannya dan memukul pelan kepala Brosko dengannya.

Brosko melonjak dari tempat duduknya, memegangi kepalanya yang terasa sakit akibat benturan dengan kotak asbak, dan berkata dengan nada agak kesal, "kau gila ya?"

Kruchiev berdiri dengan mata berbinar-binar karena tawanya yang terus ingin pecah, "Lihatlah, Brosko, ini adalah metode unik untuk membersihkan pemikiran gila, hanya dengan memukul kepala dengan kotak asbak!"

Brosko memandang Kruchiev dengan ekspresi campuran antara kesal dan bingung, "Kau benar-benar aneh, Kruchiev."

Kruchiev hanya bisa tertawa dengan keras, bahkan hingga ia harus menahan perutnya yang mulai terasa sakit akibat tawanya yang berlebihan dan pergi meninggalkan Brosko dengan ekspresi keheranan.

Sementara itu, Yuvi dan Jeniffer sepakat untuk menemui Kara. Ketika mereka beranjak dari tempat duduknya, tiba-tiba Kara muncul di belakang mereka berdua dengan cepat dan dengan lihai menarik telinga mereka seraya berbicara dengan nada mengejek, "Wah, wah, mari kita saksikan adegan Sersan dan seorang analisis sedang merencanakan sesuatu."

Mereka berdua terkejut dan memutar kepala untuk melihat Kara yang tengah menghadap mereka dengan wajah kesal. Yuvi mencoba membela diri dengan cepat, "Bukan salahku,, tapi dia. Aku hanya merasa penasaran, sungguh!"

Yuvi menunjuk ke arah Jeniffer yang segera mengangguk setuju. Namun, pandangan mereka berdua berubah menjadi cemas saat Kara membunyikan sendi tangannya dengan keras. Dengan wajah yang mempertontonkan campuran ketakutan dan kebingungan, Yuvi menjelaskan, "Kami... kami hanya bercanda."

Jeniffer bergabung dengan alasan Yuvi, "Betul, ini hanya lelucon tak berbahaya, tak lebih."

Namun, senyum mengejek di wajah Kara tak juga menghilang. Ia berkata sambil mengangkat satu alisnya, "Oh, jadi kalian punya cerita aneh tentangku, ya?"

Mendengar pertanyaan itu, lutut Jeniffer mulai bergetar seolah menjadi gempa mini. Ia melihat ke arah Kara dengan pandangan penuh ketidakberdayaan. Yuvi juga tak jauh berbeda, wajahnya mulai memucat.

Namun, sebelum mereka sempat merespons, tiba-tiba tangan cepat Kara sudah terulur dan dengan lembut menepuk kepala mereka berdua. "Tenang saja, aku tahu ini hanya bercanda," ucapnya dengan senyum ramah, meredakan ketegangan.

Namun, bukan berarti mereka lolos dari reaksi Kara. Dengan gesit, Kara memutar tangan dan memberikan dua pukulan ringan di kepala mereka berdua secara bergantian. Jeniffer dan Yuvi hanya bisa merintih pelan akibat pukulan itu, sementara Kara tertawa ringan melihat ekspresi lucu pada wajah mereka.

"Ayo, jangan terlalu khawatir. Kita semua bisa tertawa bersama, kan?" ucap Kara sembari mengedipkan mata dengan penuh arti.

Mereka berdua hanya bisa mengangguk sambil menggosok-gosok kepala mereka yang benjol akibat pukulan ringan dari Kara, namun dalam hati mereka, ada senyum lega dan sedikit canggung karena situasi tadi.

Brosko baru saja memasuki Caffetaria dengan hati-hati, masih meraba-raba benjol di kepalanya akibat pukulan dari Kruchiev. Namun, sebelum ia bisa mengambil tempat duduk, pandangannya tertuju pada adegan yang sungguh tak terduga.

Yuvi dan Jeniffer terduduk di lantai dengan ekspresi meringis, benjol di kepala mereka jelas terlihat akibat pukulan keras dari Kara. Adegan itu terlihat seperti diambil langsung dari halaman komik lucu. Brosko tak bisa menahan senyum kecilnya melihat pemandangan yang kocak ini.

Namun, senyumnya langsung membeku saat ia merasakan pandangan tajam Kara menghujamnya dengan amarah yang membara. Seakan dipenuhi dengan kekuatan setan, Kara mendekatinya dengan langkah pasti yang memancarkan ancaman.

Tanpa memiliki banyak pilihan, Brosko melihat sekeliling dengan cepat, mencari jalan keluar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berdiri dan berlari secepat kilat, seraya berteriak, "Aku tidak tahu apa-apa, Kapten, tolong!"

Namun, semangat pengejaran Kara tak tergoyahkan. Dengan langkah cepat dan tatapan tajam, ia mengejar Brosko sepanjang lorong, menciptakan pemandangan seolah-olah sedang menyaksikan aksi konyol dalam film komedi.

Brosko berlari semampunya, sambil masih merasakan sakit di kepalanya akibat benjol dari Kruchiev, ditambah dengan detakan jantung yang kencang karena ketakutan. Ia terus berteriak, "Aku tidak tahu apa-apa, aku tidak punya urusan dengan semua ini!"

Namun, kata-kata itu hanya semakin memicu amarah Kara. Dengan suara tegas, dia menggumam, "Kulihat ini semua ulahmu!"

Brosko tak mampu berbicara lagi, hanya bisa melanjutkan larinya seolah-olah nyawa tergantung pada seberapa cepat ia bisa berlari. Teriakan paniknya menciptakan riuh rendah yang memantul dari dinding ke dinding, menciptakan suasana riuh di seluruh markas. Meskipun banyak anggota pasukan yang tampak kaget dan bingung, ada beberapa di antara mereka yang tertawa mendengar teriakan Brosko yang kocak.

Kara akhirnya berhenti sejenak, seolah-olah tak percaya dengan apa yang baru saja ia alami. Ia melihat sekitar, dan tak bisa menahan senyuman kecil yang muncul di bibirnya. Teriakan Brosko tadi telah membuat suasana kembali normal, bahkan agak lebih cerah dari sebelumnya.

Dengan napas tersengal-sengal, masih memegang benjol di kepalanya, dan wajah yang kemerahan karena berlari dan malu, Brosko akhirnya berhenti, menatap Kara dengan ekspresi lelah. Ia tersenyum canggung, dan dalam senyum itulah terpancar rasa lega bahwa semuanya berakhir baik. Pagi itu, dengan adegan lucu yang tak terduga, semuanya kembali normal, dan Kara pun bisa melanjutkan tugasnya seperti biasa, seolah-olah tak ada yang pernah terjadi.

ตอนถัดไป