webnovel

Bukan Dia

Good Mother

Ruang bawah tanah.

Ada delapan mayat dalam kondisi mengenaskan tergelatak di lantai marmer usang. Satu yang masih hidup tengah dipukuli. Suara hantaman tongkat pemukul melecit memenuhi udara, bercampur erangan tertahan.

Mencapai ambang batas, Ellan tidak mampu lagi mempertahankan kesadaran. Kepalanya jatuh terkulai. Sudah terlalu banyak menerima hantaman maupun pukulan yang mendera. Lecet serta lebam di mana-mana, menghiasi tubuhnya.

Dua prajurit yang memegangi tubuh Ellan agar tetap tegak duduk berlutut, saling memandang. Di dalam hati, mereka merasa kasihan. Namun, tidak memiliki nyali untuk menolong. Bahkan, sekadar membela pun tidak berani.

"Sayang, kurasa ini sudah cukup. Bagaimana pun, dia putraku. Ingat, kau sudah berjanji untuk melepaskannya." Anna memandang tegas sekaligus menuntut. Ia meraih lengan kekar berbalut kemeja tipis berwarna putih.

Mendengus tidak suka, Dean melempar serampangan tongkat pemukul. "Aku hanya berjanji tidak akan menghabisi nyawanya. Tidak berarti akan melepaskannya begitu saja."

Menatap tajam, kedua alis Anna mengernyit. "Maksudmu?"

Mengalihkan pandang, Dean menatap kedua prajurit yang masih memegangi tubuh Ellan. "Masukan dia ke dalam penjara."

Kompak, kedua prajurit mengangguk. Cekatan memapah Ellan, bertolak dari sana.

Tatapan Dean beralih pada puluhan prajurit di sudut ruangan. "Kalian semua, urus mayat-mayat ini."

Para prajurit bergegas menggusur atau menggotong ke delapan mayat. Menyisakan ceceran darah beraroma amis. Membuat udara semakin terasa pengap. Lalat yang masuk melalui ventilasi udara berdatangan mengerumuni cairan merah tersebut.

Menghela napas, Dean memandang wanita di sisinya. "Apa kau kecewa padaku?"

Tidak menjawab, Anna hanya menggeleng lemah.

"Lalu?"

"Bila bukan salah satu dari mereka yang menodai Naila. Artinya, kita masih memiliki tugas mencari keparat itu."

"Kau sungguh percaya pada pengakuan mereka?"

Mengangguk yakin, Anna memandang tajam ke depan. "Target Altan adalah kau, bukan Naila. Aku hafal dengan tabiat orang itu karena pernah hidup bersamanya. Dia tidak akan menyakiti siapa pun yang bukan sasarannya. Aku juga bisa menjamin kalau semua perkataan Ellan pasti jujur."

Menghela napas, Dean merengkuh istrinya. "Aku senang memiliki kau di sisiku."

Tersenyum kaku, Anna melesakkan wajah ke dada bidang suaminya. "Orang yang menodai Naila sangat licin seperti belut. Tidak akan mudah menemukannya. Namun, bagaimana pun caranya, kita harus tetap mendapatkannya."

"Itu pasti." Dean mengecup lembut puncak kepala wanita dalam dekapannya.

Menengadah, Anna memandang penuh kelembutan. "Sayang, apa kau akan memenjarakan Ellan selamanya."

"Apa kau sangat mengkhawatirkannya?"

Menghela napas berat, Anna menunduk dalam. "Bagaimana pun, dia putraku."

Maklum, Dean membawa kepala sang istri agar kembali menyandar di dada bidangnya. "Begitu aku berhasil menghancurkan bisnis ayahnya, dia akan segera dibebaskan. Namun, sampai saat itu tiba, kau harus rela membiarkan putramu mendekam di penjara. Ini semua bukan salahku, tapi salah mantan suamimu yang bodoh dan ceroboh itu. Bisa-bisanya dia membiarkan putranya memasuki kandang singa."

"Kau benar ...." Anna mendesis, jari-jemarinya mengepal ketat. Api kemerahan melintas di kedua mata cokelatnya.

Hela napas mengalun lirih.

Hening.

<>

Penjara bawah tanah.

Langkah lebar Naila menggema di seluruh koridor. Empat prajurit mengikuti di belakang. Paras gadis jelita itu memerah di bawah sinar temaram pelita. Sorot matanya memancarkan kemurkaan yang menggebu-gebu.

Di balik jeruji besi, pemuda berusia dua puluh tahunan lebih, tergeletak tanpa daya. Seorang prajurit membuka gembok dan yang lain lekas membuka pintu. Naila memasuki ruang sel, memandang datar Ellan yang masih pingsan.

"Ambilkan aku air," pinta Naila.

Prajurit bertubuh proporsional mengangguk dan bergegas pergi.

Naila meneliti Ellan, memerhatikan dan mengamati dengan cermat. Sejak pertama kali bertemu, ia sudah merasa janggal. Pemuda yang kini meringkuk tak sadarkan diri, terlalu bersih untuk menjadi pengurus kandang kuda. Kemarin, sebelum lebam-lebam, penyaru amatir yang mengaku bernama Adrian itu malah tampak memiliki tubuh yang terawat baik.

Prajurit yang bertugas mengambil air sudah kembali.

Tanpa ragu, Naila langsung menyiramkan seember air ke wajah Ellan.

Mengerjap, Ellan mendengus beberapa kali, hidungnya kemasukan air. Rasa perih menjalar, diikuti nyeri yang menyebar. Ia merintih tertahan, menggertakkan gigi kuat-kuat. Bergelung di atas jerami-jerami kering.

Memandang dingin, Naila mengeluarkan belati kecil dari saku mantel. Ia melangkah ke belakang Ellan yang meringkuk. Serampang, gadis itu merobek kaus kumal dan kotor di area bahu sebelah kiri. Lantaran menorehkan bilah dengan asal-asalan, tak ayal kulit daging pun ikut tersayat.

Meringis, Ellan hanya menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan. Tidak berusaha memberontak. Lagi pula, tidak akan berhasil. Selain di sana ada empat prajurit, ia juga tidak memiliki tenaga. Ditambah, sudah cedera pula.

Naila sudah selesai merobek. Ia dapat melihat bahu yang dipenuhi lebam dan garis merah-merah bekas pukulan tongkat. Namun, tidak ada luka cakaran di sana.  Mengesah kecewa, ia melempar belati sembarangan.

Kala itu, Naila ingat mencakar bahu si pelaku yang menodainya. Ia memiliki kuku-kuku lumayan panjang di jemari kiri. Jadi, bisa dipastikan luka cakaran akan membekas. Lebih-lebih, bekas cakaran kuku biasanya tidak mudah dihilangkan.

"Kalian semua tunggu aku di luar!" pinta Naila pada keempat prajurit.

"Tapi, tapi Nona?" Prajurit bertahi lalat di sudut bibir menampilkan raut ragu. Pun, ketiga lainnya.

"Dia dalam kondisi lemah. Tidak akan mungkin mampu macam-macam." Naila memandang tajam bergantian keempat prajurit. "Kalian semua pasti tahu, 'kan? Bawahan yang terlalu banyak mengetahui persoalan majikan biasanya lebih baik dibungkam. Dan ... cara membungkam paling efektif adalah dengan mencabut nyawa."

Menelan ludah, keempat prajurit itu langsung membungkuk undur diri.

Menghela napas, Naila memandangi pria yang tampak sangat letih. Ia melangkah lalu berjongkok. Ada senoktah iba menjejak di relung hati melihat kondisi makhluk di hadapannya. Memprihatinkan dan mengenaskan.

"Katakan, untuk apa kau menyusup kemari?"

Ellan yang sedari tadi memejam, membuka mata perlahan. Memandang sayu wanita di hadapannya. "Ayahku, ingin membunuh ayahmu. Aku ... menyusup untuk memberi tahu Ibu."

"Kenapa? Tidakkah kau membenci ibumu, huh?"

"Membenci? Tidak." Ellan menggeleng-gelengkan kepala, tersenyum ketir. Manik hitamnya menerawang, merindukan kasih sayang. "Dia ... dia ibu terbaik yang pernah kumiliki. Karena itu ... aku nekat datang ke sini untuk memberi tahu rencana Ayah pada Ibu. Aku ... aku tidak ingin Ibu sedih karena suaminya meninggal."

Membeku, Naila tidak mampu berkata-kata sampai beberapa waktu. Ia dapat melihat ketulusan dalam pancaran mata Ellan. Kasih sayang yang sangat dalam. Ketulusan itu mampu menyentuh kemurnian relung hati. Entah kenapa, ia percaya. Menghela napas, Naila mengusap pelan pipi lebam pemuda di hadapannya.

"Aku akan coba membujuk Ayah untuk meringankan hukumanmu, Adrian."

Tersenyum getir, Ellan menggeleng. "Tidak perlu ... aku sudah tahu risiko nekat masuk ke kandang singa. Aku siap. Dan, ya, namaku Ellan. Ellan Aloysius."

"Tidak penting siapa namamu." Naila berdiri, beranjak keluar sel.

Keempat prajurit yang menunggu di ujung lorong lekas menghampiri. Salah satu dari mereka menggembok kembali pintu sel.

Naila diikuti keempat prajurit meninggalkan sel.

Menyisakan keheningan.

<>

Ruang bermotif bunga tulip.

Membuka kancing terakhir, Johan melepas kemeja hitam tipis dari tubuhnya. Luka cakaran di bahu kiri sudah mengering, menghitam. Ia melangkah ke ranjang, duduk bersila di atas kasur. Memejam, seperti orang tengah bermeditasi.

Selimut tebal tiba-tiba tersingkap, menampilkan sosok wanita muda. Mata bulat wanita bergincu merah berbinar. Buru-buru ia bangkit, duduk. Menatap pria bertelanjang dada di sisinya. Tersenyum semringah.

"Veera, sudah kukatakan. Jangan lagi memasuki kamarku sembarangan." Johan menggerakkan wajah seperti menoleh, tetapi tetap memejam.

Cemberut, Veera malah merangkul Johan dari belakang. "Kau sangat jahat. Aku yang selama ini ada di sisimu. Kenapa malah menikahi gadis lain? Apa karena kau mengincar jabatan yang lebih tinggi, huh? Katakan!"

"Vee, keluarlah."

Mendengus, Veera semakin merengut. Namun, patuh. Akan tetapi, sebelum beranjak pergi ia menyempatkan menempelkan bibirnya ke pipi Johan.

Seakan tidak terganggu sama sekali, Johan tetap bergeming. Mengembuskan napas perlahan setelah ruangan benar-benar senyap. Tinggal dirinya seorang. Membuka mata perlahan, ia memutar tubuh. Memandangi diri di cermin besar.

Mengambil peles berisi gel di atas nakas, Johan kembali memutar tubuh membelakangi cermin. Ia mengoleskan gel penghilang bekas luka pada luka cakaran di bahu kirinya.

______

Bersambung ....

______

Next chapter