webnovel

DENDAM ORANG ORANG SAKTI

ANTARA sungai Cidangkelok di sebelah timur dan sungai Cimanuk di sebelah barat, terbentanglah satu daerah yang sangat subur. Ladang-ladang menghijau oleh hasil yang menakjubkan. Sawah-sawah menguning laksana hamparan permadani emas. Lumbung-lumbung padi petani penuh, tak akan habis dimakan selama satu dua tahun. Penduduknya sendiri hidup dalam tingkat kehidupan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk daerah sekitar lainnya. Mereka sehat-sehat, ramah dan rajin bekerja.

Desa Bojongnipah adalah desa yang paling utama pada daerah yang membentang antara sungai Cidangke!ok dan sungai Cimanuk itu. Hasil ladang, hasil sawah dan hasil tebat­tebat pemeliharaan ikan penduduk tumpah ruah tiada terkirakan dan desa ini dikepalai oleh seorang Lurah yang bijaksana dan cakap bernama Ki Lurah Kundrawana. Begitu bijaksana dan pandainya Ki Lurah Kundrawana mengatur desa dan penduduknya sehingga banyak Lurah-lurah dari desa lain yang datang untuk meminta bantuan Kundrawana dalam hal yang ada hubungannya dengan kehidupan penduduk , dan pengaturan hidup agar bisa makmur serta tenteram.

Di satu malam yang mendung gelap dan berangin kencarig dingin, Ki Lurah Kundrawana masih kelihatan duduk-duduk di langkan rumahnya yang sederhana, bercakap­cakap dengan isterinya Warih Sinten. Di sela bibir Ki Lurah Kundrawana yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu terselip sebuah pipa yang api tembakaunya hampir mati. "Dingin di luar ini, kakang…," kata Warih Sinten sambil, merapatkan kainnya yang agak me­nyingkapkan betisnya yang putih bagus.

"Ya. Tampaknya mau hujan. Kita masuk saja…," sahut Ki Lurah Kundrawana seraya berdiri.

Namun belum lagi kedua suami isteri itu melangkah ke pintu mendadak sekali tiga sosok bayangan hitam berkelebat. Tubuh mereka rata-rata tinggi kekar dan tampang-tampang mereka buruk serta angker !

Melihat ini, Ki Lurah Kundrawana yang tahu gelagat segera ulurkan tangan kanan ke pinggang di mana kerisnya tersisip. Namun dengan kecepatan yang luar biasa salah seorang dari manusia-manusia berpakaian hitam itu tahu-tahu sudah melintangkan sebatang golok di batang leher. Ki Lurah Kundrawana! Warih Sinten yang hendak berteriak ditekap mulutnya oleh laki-laki yang laini Ki Lurah Kundrawana maklum bahwa ketiga orang itu tentulah dari satu komplotan rampok terkutuk. Tapi ini adalah untuk pertama kalinya desanya didatangi rampok-rampok macam begini pada hal sejak selama dalam pegangannya desa senantiasa aman tenteram.

Namun demikian Ki Lurah Kundrawana dengan mempertenang diri coba bicara.

"Kalian siapa, ada maksud apa datang ke sini…?!"

Orang yang melintang golok di leher Lurah Bojongnipah itu menyeringai menggidikan. Giginya yang tersungging kelihatan hitam, sehitam pakaian yang dikenakannya.

"Aha… bagus kau tanya begitu. Tapi sebelum aku berikan jawaban kau musti ingat satu hal. Jika kau banyak tingkah dan membantah segala apa yang kami perintahkan, jangan menyesal bila melihat anak laki-lakimu yang tidur di dalam sana ku pantek di tiang rumah!"

Terkejutlah Ki Lurah Kundrawana. Warih Sinten sendiri menggigil. Laki-laki berpakaian hitam menyeringai lagi.

"Sekarang tentang siapa kami. Kau pernah dengar nama Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel?"

Paras Ki Lurah Kundrawana memucat.

"Saat ini kau berhadapan dengan mereka, Kundrawana. Aku Tapak Luwing adalah pemimpin mereka !"

Ki Lurah Kundrawana tahu betul dan sering mendengar tentang Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel itu. Mereka adalah tiga rampok jahat dan ganas yang malang melintang disepanjang Kali Comel bahkan sampai ke perbatasan. Kali Comel jauh sekali dari desa Bojongnipah, kenapa tiga manusia bejat ini bisa sampai ke sini, demikian pikir Kundrawana.

'Tapak Luwing! Kalau kau mau merampok, lakukanlah! Bawa apa yang kalian bisa ambil dan berlalu dari sini dengan cepat !"

Kepala Komplotan Tiga Hitam itu tertawa. "Kami selama ini memang dikenal sebagai perampok. Tapi dengan Ki Lurah Kundrawana, hari ini kami datang bukan untuk melakukan perampokan!"

Tentu saja ucapan ini mengherankan Ki Lurah Kundrawana. "Jadi apa mau kalian ?!" tanyanya.

"Kami datang untuk bikin perjanjian dengan kau !"

"Perjanjian apa…?"

"Mulai hari ini, kau musti tunduk kepada segala apa yang kami atur dan perintahkan, mengerti!"

Ki Lurah Kundrawana menelan ludahnya. "Aturan dan perintah macam mana maksudmu?" tanyanya. Sementara itu diam-diam tangan kanannya kembali bergerak dan menyusup ke pinggangnya: Kepala desa Bojongnipah ini sudah bertekat bulat untuk melakukan perlawanan meski saat itu golok Tapak Luwing masih menempel di batang lehernya sedang isterinya sendiri masih disekap oleh salah seorang anak buah Tapak Luwing".

Ki Lurah Kundrawana berhasil memegang hulu kerisnya. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya ke perut Tapak Luwing. Namun Kepala Komplotan Tiga Hitam ini tidaklah sebodoh dan selengah yang diperkirakan oleh Ki Lurah Kundrawana. Sekali tangan kanannya bergerak turun menyapu ke bawah maka terdengarlah suara beradunya senjata dan percikan bunga api. Disusul oleh jeritan tertahan dari Warih Sinten, yang mulutnya disekap.

Golok Tapak Luwing membuat mental keris di tangan Ki Lurah Kundrawana sedang ibu jari laki-laki ikut terbabat putus ujungnya sampai ke kuku. Ki Lurah Kundrawana merintih kesakitan. Darah mengucur dari ibu jarinya yang putus. Sementara itu golok Tapak Luwing telah menempel kembali pada batang lehernya !

"Agaknya kau minta batang lehermu cepat-cepat ditebas huh?," bentak Tapak Luwing.

"Tebaslah, aku tidak takut! Kalian manusia, manusia lak…."

Tamparan tangan kiri Kepala Komplotan Tiga Hitam itu menghajar pipi Kundrawana. Pandangannya berkunang, pipinya merah sekali dan sudut bibirnya pecah berdarah!

"Masih mau buka mulut?!" tanya Tapak Luwing.

Ki Lurah Kundrawana menggeram dalam hatinya. Tapi tak berkata apa-apa.

"Kau mau dengar dan turut perintahku atau pilih mati?!"

"Aku tidak takut mati! Isteriku juga tidak takut mati" jawab Ki Lurah pula.

Tapak Luwing menyeringai. "Kalian memang tak takut mati. Tapi apa kalian sanggup menyaksikan anakmu yang di dalam sana kubikin menggelinding kepalanya di lantai ini?!"

Ki Lurah Kundrawana terdiam.

Tapak Luwing kemudian mendorong, laki-laki itu ke dalam dan memerintahkan duduk di kursi. "Demi nyawamu dan nyawa keluargamu, ada bagusnya kita bicara baik­baik Ki Lurah! Dengar, mulai hari ini ke atas kau harus tunduk kepadaku. Aku tanya kapan pemungutan pajak penduduk kau lakukan setiap bulan…?"

Ki Lurah Kundrawana tak mengerti maksud pertanyaan ini tapi dia menjawab juga: "Hari Senin minggu pertama". "Bila pajak-pajak itu sudah terkumpul, ke mana kau serahkan?," tanya Tapak Luwing lagi. "Pada Adipati di Linggajati dan Adipati itu kemudian meneruskannya ke Kotaraja".

"Hem… begitu … Itu satu aturan yang bagus. Tapi mulai penarikan pajak bulan yang akan datang jumlah pajak yang harus dipungut adalah sepuluh kali lebih besar dari yang sudah-sudah…!"

Ki Lurah Kundrawana terkejut.

Dia tambah terkejut lagi ketika Tapak Luwing menyambung kalimatnya tadi: "Pajak itu harus kau pungut tiga kali dalam satu bulan! Mengerti…?!"

"Aturan macam mana ini ?!"

"Tak usah tanya aturan macam mana, yang penting lakukan perintahku!," sahut Tapak Luwing, "Kau tak bisa berbuat seenaknya, Tapak Luwing! Salah-salah kau bisa berurusan dengan Adipati Linggajati, bisa berurusan dengan Kerajaan!" "Urusan dengan Adipati, itu urusanmu, juga urusan dengan Kerajaan. Tapi jika kau berani mengadukan hal ini kepada siapa saja, kulabrak seluruh keluargamu! Mengerti?!" "Kalian bisa melabrak keluargaku. Tapak Luwing, tapi kalian tak bisa melabrak Adipati dan Kerajaan!" "Aku sudah bilang urusan dengan Adipati adalah urusanmu, juga dengan Kerajaan! Aku hanya tahu bahwa tiga kali dalam satu bulan aku harus terima sejumlah

uang yang besarnya sepuluh kali besar pajak yang kau pungut selama ini dari penduduk desa!"

"Keterlaluan! Keterlaluan kau Tapak Luwing! Tak satu pendudukpun yang sanggup membayar pajak sekian besarnya itu !"

"Penduduk di sini kaya-kaya! Punya sawah, punya ladang, punya kerbau, sapi, kambing dan ayam serta itik!!"

"Tapi sepuluh kali, mana mereka…"

Tapak Luwing memotong dengan cepat: "Apa aku musti paksa kau memungut lima belas kali lebih banyak, atau dua puluh kali?!"

"Aku tak akan lakukan perintahmu ini Tapak Luwing! Aku tak sanggup memeras rakyat!"

"Perduli amat! Kalau tak saggup memeras rakyat apa kau sanggup menyaksikan kematian anak laki-laki mu?"

Kalau Kepala Komplotan Tiga Hitam itu sudah mengancam demikian rupa, mau tak mau Ki Lurah Kundrawana terdiam bungkam.

Tapak Luwing menggoyangkan kepalanya pada anak buahnya yang berdiri dekat pintu. Melihat isyarat ini laki-laki itu segera masuk ke dalam kamar tidur Ki Lurah Kundrawana. Kundrawana berdiri dari kursinya. "Kau mau buat apa…!," bentaknya.

Tapak Luwing mendorong laki-laki itu hingga Kundrawana terduduk kembali ke kursi. Tak lama kemudian anak buah Tapak Luwing yang masuk kamar muncul di ruangan itu kembali dengan mendukung anak laki-laki Ki Lurah Kundrawana. Anak laki-laki ini baru berumur empat tahun. Dalam di dukung itu dia masih tertidur nyenyak, tak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Kecemasan segera terbayang diparas Warih Sinten dan Kundrawana.

"Kalian mau bikin apa dengan anakku?!" tanya Kundrawana.

"Selama kau mengikuti perintahku, anakmu akan selamat tak kurang suatu apa.

Dia kubawa untuk sementara sebagai jaminan bahwa kau tidak akan mengadukan persoalan ini pada siapa pun! Kau dengar Ki Lurah Kundrawana!"

Laki-laki itu tak menjawab.

"Dengar?!" ulang Tapak Luwing membentak. Ki Lurah Kundrawana mau tak mau terpaksa mengangguk pelahan.

"Hasil-hasil pungutan pajak itu selambat-lambatnya harus kau serahkan kepadaku satu hari sesudah terkumpulnya. Antarkan ke satu pondok tua di persimpangan jalan yang menuju ke Linggajati. Aku sendiri yang akan menunggu kau di sana pada tengah hari tepat!"

"Aku tak akan mengantarkannya!" kata Ki Lurah Kundrawana. "Silahkan datang sendiri kesini!"

Tapak Luwing tertawa dingin. "Jangan lupa keselamatan anakmu, Ki Lurah," katanya. Kemudian Kepala Komplotan Tiga Hitam dari. Kali Comel ini berikan isyarat dan bersama kedua anak buahnya segera meninggalkan rumah Ki Lurah. Kundrawana.

–== 0O0 == —

Next chapter