"Hahaha... Kalian pikir semudah itu?" suara yang terdengar asing membuat Zei dan Dion terkejut.
"Bawa jin peniru itu!" perintah Jin pemimpin menyuruh satu anak buahnya.
"Baik." pengawal suruhan itu kemudian mengubah Jin peniru menjadi jelmaan Jin.
"Oh.. oh.. Mau kau bawa kemana sandera kami?!" Dion menahan tubuh Jin peniru saat pengawal suruhan ingin menggendong Jin peniru.
"Lepaskan! Manusia lemah!" Pengawal mendorong tubuh Dion hingga terlempar ke pinggiran nakas. Dion terbatuk, terasa dadanya sesak karena dorongan yang cukup kuat dan membuat cidera punggungnya.
"Dion!" Zei mendekati Dion khawatir.
"Apa yang kalian lakukan? Menyakiti manusia akan membuat bangsa kalian terancam! Ingat itu. Kami lemah dalam fisik tapi dengan ilmu nenek moyang kami, kalian semua akan hancur!" Zei membuka suara dengan nada menekankan.
Pemimpin pengawal itu menarik sudut bibirnya, "Kami tidak takut. Kau tahu? Bahkan Raja kami menyuruh membunuh manusia yang ditiru oleh Jin peniru itu."
"(Nain?)" Zei tergelak, tubuhnya gemetaran mengetahui Nain yang di maksud Jin pemimpin itu adalah Nain, pacarnya. "(Membunuh? Karena itukah Nain terluka saat itu?)" Zei mencoba mengingat kembali saat Nain terbangun dari tidur dengan luka di kepala dan tubuhnya.
"Jangan mencampuri urusan kami! Atau kalian akan mati!" sambung Jin pemimpin itu lagi. Sementara anak buahnya telah siap membawa Jin peniru dan berdiri tegap di belakang pemimpinnya.
"Aku tidak akan membiarkannya!" Zei berdiri menantang. Tubuhnya yang gemetaran berhasil ia sembunyikan.
"Cih! Cari mati ya?" Lagi-lagi Jin pemimpin itu menarik sudut bibirnya.
Sementara Zei mulai merapalkan sesuatu dan saat itu juga Jin itu mulai merasa sakit. Tubuhnya seperti terbakar, dan semakin lama semakin panas.
"Si*l! Hentikan! Atau kau akan benar-benar mati!" Jin pemimpin itu menatap Zei penuh dendam. Tangan mereka tak berhenti mengusap tubuhnya karena panas. Zei tetap merapalkan mantranya dan membuat Jin itu semakin kesakitan dan terus merasa terbakar.
"Zei! Hentikan!"
Zei seketika kehilangan fokus saat mendengar suara yang sangat familiar.
"Nain?"
Kesempatan bagus. Jin itu langsung meluncurkan pukulan kerasnya selama Zei kehilangan fokusnya. Zei terpental kuat ke dinding, kepalanya terbentur hingga mengeluarkan darah segar.
"A-akh!"
"Zei!" Nain berlari menghampiri Zei yang cukup terluka parah. Ia hanya melihat Zei tiba-tiba terbentur sendiri tanpa melihat seorangpun di sana kecuali Dion yang masih meringis kesakitan. "Zei?"
"Ah! Di sini kau rupanya. Setelah berhasil membunuh prajuritku, beraninya kau masih bernapas." Jin pemimpin itu berjalan mendekati Nain bersama tatapan sinisnya.
"Lebih baik kau mati saja!" belum sempat tangan Jin pemimpin itu menyentuh wajah Nain, lagi-lagi sebuah rapalan menghentikannya dan membuat seluruh tubuh Jin itu kaku dan panas. Rapalan itu berasal dari Dion.
"Manusia lemah! Kalian tidak akan bisa membunuhku, rapalan kalian tidak cukup untuk membunuhku!" Jin pemimpin itu meninggikan nadanya.
Zei tersenyum lirih, "Hh! Membunuh? Siapa yang ingin membunuh? Bukankah rapalan itu menyakitkan?"
"Si*l! Ayo!" Seketika ke tiga Jin itu menghilang bagaikan asap yang cukup tebal dan samar.
"Zei? Kumohon, hentikan. Apa yang kau bicarakan? Jangan membuat dirimu terluka lagi." Nain berkata lirih. Melihat Zei terluka parah membuat hati Nain seperti terlilit.
Zei meraih kepala Nain perlahan dalam pelukannya, "Semua baik-baik saja, Nai. Mereka sudah pergi." kata Zei lirih sambil menahan rasa sakitnya.
"Jangan lakukan apapun, kumohon. Mimpi itu, aku akan menyelesaikannya. Jangan libatkan dirimu, Zei."
"Hei, bagaimana mungkin aku bisa membiarkanmu menghadapinya sendiri. Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Akan kupastikan ini terakhir kalinya aku terluka." Zei berusaha menenangkan sambil mengusap puncak kepala Nain.
Nain mengangguk pelan. "Bangunlah. Kau harus ke rumah sakit." Nain mencoba merangkul tubuh Zei, sementara Zei berdiri perlahan sambil memegang kepalanya yang berdarah.
"Ayo! Aku akan membawa mobil. Punggungku hanya cidera sedikit, aku masih bisa membawanya." sambung Dion.
"Baiklah." Jawab Nain bersama anggukan setelah berhasil merangkul tubuh Zei.
"Terima kasih, sudah mengkhawatirkanku." Zei tersenyum lembut, seolah-olah kepalanya yang terluka dan terus mengeluarkan darah tidak terasa sakit karena bahagia dengan perhatian Nain padanya.
*TheSecretOfMyDream*
Galtain berjalan mondar-mandir dekat ranjang letak Fiyyin di baringkan, cemas karena Fiyyin belum bangun-bangun juga sejak tadi. Sementara Hartis duduk di sofa, wajahnya pun terlihat cemas. Luka yang cukup parah benar-benar membuat mereka risau.
"Ayah? Kenapa hantu ini belum bangun-bangun juga?" tanya Galtain di sela jalan mondar-mandirnya.
"Kau membuat ayah semakin pusing dengan tidak mau diam seperti itu. Duduklah, atau ayah akan mendangmu!" Wajah Hartis terlihat kesal melihat anaknya tidak mau diam sejak tadi.
"Aish!" Galtain berdecak kesal. Ingin sekali ia mengumpat dalam hati, tapi tidak bisa karena Hartis bisa mendengarnya.
Hartis berdiri dari duduknya tepat setelah Galtain mendaratkan pantatnya di sofa, "Ayah akan menunggu di luar."
Galtain menatap sisnis, "Apa karena aku duduk di sini jadi ayah pindah?!"
"Ouhh!" Hartis memukul kepala Galtain dan membuat Galtain menjerit pelan, "Kau pikir ayah tidak punya kerjaan lain? Ayah harus menerima laporan tentang keluhan rakyat. Kau akan merasakannya ketika menjadi Raja nanti!"
Galtain mengusap kasar kepalanya yang terasa sakit, "Berhentilah memukul kepalaku! Aku tidak akan bisa menjadi Raja jika sampai otak ku geser."
Hartis tak memperdulikan ocehan Galtain dan berjalan keluar.
"Menjadi Raja? Aku tidak pernah membayangkannya,"
Hartis menghentikan langkahnya dan menoleh, "Jangan membayangkannya sekarang, anak kurang a*ar! Kau ingin ayah cepat-cepat mati, hah!"
"Ouh! Astaga! Ayah keluar saja. Sebelum dosaku bertambah banyak." Galtain mendorong Hartis keluar kamar dan menutup pintunya segera.
"Ya! Ya!" Hartis berteriak karena kesal.
Bonus eps karena ganti cover.
Thank you for reading teman-teman...
Mohon selalu suport dan memberikan bintang :) :)