webnovel

~

🌹 Yuna Pov~

Ya malam minggu, ya kelabu, ya di rumah sendiri pula Cuma ditemani televisi menyala. Auggghh menyedihkan, apalagi perut keroncongan kini sedang melandaku. Aku yang awalnya tiduran di sofa kemudian berdiri melangkah menuju dapur mencari makanan. Karena lupa belanja, alhasil tidak ada makanan apapun, bahkan mie instan yang always on kini sudah tak tersisa lagi walau hanya satu. Sekalipun lapar, rasa malas tetap menang melawan apapun dan ujungnya kembali berbaring di sofa menonton tv. Ponselku berdering, panggilan masuk dari Dean.

Aku mengambil ponsel, menerima panggilan dari Dean. "Halo?"

"Kamu lagi di mana??" tanya Dean.

"Di rumah. Ada apa??"

"Sudah aku duga"

"Ada apa??" tanyaku kembali

"Ada yang mau aku tanyain, sekarang lagi di jalan menuju rumah kamu"

"Bentar! Aku butuh bantuan kamu. Beliin aku makanan ya? Aku laper. Beliin yah??" pintaku dengan nada manja memanfaatkan situasi sebelum Dean menutup panggilan.

"iya iya" singkatnya yang diakhiri menutup panggilan.

Aku kembali fokus menonton televisi, bahkan tak terasa 20 menit sudah berlalu namun Dean masih belum datang.

'Tok, tok, tok' bunyi ketukan pintu rumahku, aku segera membuka pintu. Dean datang membawa sesuatu dalam kantung keresek.

"kok lama ya??" tanyaku sembari menyilangkan tangan dan menempatkan di bawah ketiak

"jalanan macet, ya orang pada malam mingguan semua. Emangnya kamu!" sindir Dean yang masih berdiri di depan pintu. "Ini makanannya!!" memberikan padaku.

"pokoknya makasih!!" menerima kantung plastik yang di kasih Dean. "Mau nanya apa??" lanjutku.

"Udah dibeliin makanan, bukannya suruh duduk dulu kek, ambilin minum kek, ini malah langsung to the point. Tega kamu ya!!" balas Dean dengan wajah judes.

"oh iya. Kalau gitu, silakan duduk!" ucapku dengan membersihkan tempat duduk dulu sebelum Dean duduk di kursi yang sudah biasa tersedia di luar.

"Nah gitu dong!" kata Dean sembari hendak duduk

"Mau minum apa??" tawarku pada Dean.

"Nggak usah!"

Akupun turut duduk di kursi sebelahnya dan menaruh pemberian Dean tadi di atas meja, aku mulai bertanya "mau tanya apa??"

"Biasanya, cewek suka dikasih hadiah apa sama cowok??"

"Apaan sih, ngapain tanya ke aku??" jawaban sinis

"kamu kan cewek, masa iya aku nanya kayak gini ke si Heru??"

"Ya enggak gitu juga" pungkasku. "Apa ya??" Sembari mikir.

"Ahh,,, sepatu" pungkasku

"Sepatu??"

"Iya sepatu, biasanya cewek suka kalau cowok itu ngasih sepatu, sepatu cantik layaknya sepatu Cynderella" lanjutku.

"maksud kamu sepatu kaca??" tanya kelewat polos Dean

"Ya enggak usah sepatu kaca juga De!" geramku kepada Dean.

"Oh gitu??".

Memang tidak setiap perempuan menyukai sepatu, tapi berhubung aku menyukai sepatu maka aku menyarankan Dean untuk memberikan sepatu, sepatu cantik. Setelah Dean pulang dan menghabiskan makanan yang ia bawa, aku berbaring di kasur merenungkan ucapan Dean perihal pertanyaannya tadi. "Siapa maksud 'cewek' dan 'cowok' itu??" gumamku sambil berpikir "ahh entah!" jawaban gumam tak peduliku padahal agak berharap ia memberikan itu padaku.

Hanya untuk mendapatkan sebuah putusan tidak bersalah, aku rela mengisi waktu libur berhargaku ini untuk bekerja. Bahkan, Tiara pun sanggup menemaniku hari ini. Karena hari libur, dengan begitu aku memintanya untuk bertemu di sebuah kafe yang cukup di favoritkan anak zaman sekarang untuk nongkrong. Selama aku memintanya untuk datang, Tiara tidak akan pernah telat walau hanya satu menit. Ia selalu datang tepat waktu, seperti kali ini.

"Gak kira-kira ya, kamu nyuruh aku kerja di hari minggu" ucap kesal Tiara sebelum duduk.

"Duduk dulu! Baru ngomong!" balasku yang kemudian menyedot minuman yang sudah dipesan lebih dulu.

Tiara duduk di kursi yang posisinya menghadapku.

"Jangan salah paham!! Aku minta kamu datang bukan buat kerja" ucapku berikutnya.

"Kalau emang bukan buat kerja, terus apa??" ketus Tiara.

"buat nemenin aku! Pokoknya makasih udah mau dateng" balasku dengan sebuah senyuman.

"Ini Americanonya" suguh dari pelayan, lalu pergi.

"apa ini?" Tiara memegang kemasan Americano "kamu menyogokku hanya dengan ini??"

"Oke, nanti aku beliin makanan enak"

Walaupun bersikap demikian, tetap saja Tiara bakal bantuin aku.

"Aku bisa bantu apa??" tanya selow Tiara.

"Kemarin, aku ketemu dengan temen 'korban'"

"Terus??"

"Dia gak tau kalau 'korban' sedang hamil. Bukannya itu aneh??"

"Bisa jadi 'korban' menutupi kehamilannya" jawab Tiara

"Kenapa??"

"Karena dia hamil di luar nikah" jawab cerdas Tiara.

"Itu dia" yakinku

"Dia punya pacar??" tanya penasaran Tiara

"Pastinya"

"Ngapain kamu nyelidiki ini??"

"Karena ada hubungannya dengan klienku" balasku.

"Ohh gitu. Siapa nama pacarnya??" tanya Tiara selanjutnya.

"Namanya Juna" ucapku sembari mengirim foto Juna kepada Tiara yang kudapat dari teman korban.

Tiara membuka foto yang aku kirim melalui pesan whatsap. "Tunggu!"

"Kenapa?" tanyaku dengan penasaran

"Kayaknya aku pernah liat orang ini" ucap Tiara yang terus memandangi foto yang ku kirim.

"Kamu kenal dia??"

"Ahhh" dengan mulut nganga "orang ini, yang waktu itu datang ke TKP yang pernah aku laporin sama kamu itu" jelas Tiara

"Beneran?? Kamu yakin dia orangnya??"

"aku yakin, aku bahkan sempat memfotonya" ringkas Tiara, dengan mengirim fotonya ke ponselku via whatsap. Dan setelah aku melihat foto orang yang Tiara kirimkan di whatsapp, benar-benar mirip dengan Juna.

"Selama sidang, aku belum pernah melihatnya. Kenapa dia gak penasaran dengan sidang kematian pacarnya sendiri??"

"Kamu mau mencari dia??" tanya Tiara.

"Tentu aja. Kamu gak tau, pelaku sebenarnya selalu datang untuk memastikan kembali tempat kejadian perkara??" tanya balikku kepada Tiara, "ayo!!" ajakku meninggalkan kafe.

Aku meminta Tiara untuk mengantarku ke sebuah alamat yang sebelumnya sudah aku pinta dari teman korban, alamat itu tak lain dan tak bukan adalah alamat Juna, kekasih korban. Karena kecurigaanku inilah, sehingga membawaku ke alamat tersebut.

Tiba di sebuah perumahan yang terbilang mewah bagi masyarakat sipil. Kami berdua turun dari mobil dan berjalan mendekati pintu pagar gerbang sebuah rumah dengan nomor '81' yang sama dengan nomor yang tertulis disebuah catatan kecil yang diberikan teman korban. Aku menekan bel rumah ini, yang posisinya menempel di tembok gerbang.

"Kamu yakin ini rumahnya??" tanya Tiara.

"Alamat dan no rumahnya sama" balasku.

'Ting nong' bunyi bel yang ku tekan kedua kalinya. Lingkungan yang sepi membuatku susah bertanya kepada masyarakat sekitar. 'Ting nong ting nong' bunyi bel itu yang ku tekan dua kali sekaligus.

"Assalamualaikum?? Ada orang??" teriakku

"Assalamualaikum??" dilanjut teriakan Tiara.

"Waalaikumsalam. Iya sebentar!!" ucap suara yang tampak seperti perempuan berada di dalam batas pagar rumah ini. Orang itu membuka pintu pagar, herannya orang yang kami lihat bukannya Juna, melainkan gadis muda yang berpakaian modis dengan paras cantik. Tentunya dengan ini kami mengira alamat yang kami terima adalah sebuah alamat palsu.

"Siapa ya??" tanya keheranan gadis itu yang berdiri di depan pintu pagar.

"Saya Yuna, dan ini rekan kerja saya. Saya seorang pengacara" pungkasku. Kemudian bertanya "apa ini rumahnya Juna??"

"Iya, benar!! Ada urusan apa ya??" tanya kembali wanita itu.

"Begini, Juna nya ada?? Ada yang mau saya bicarakan dengan dia"

"Tunggu sebentar!" pinta gadis itu, lalu ia kembali masuk ke dalam rumah.

Sudah 5 menit menunggunya di luar, namun dia belum menunjukkan batang hidungnya. Sampai-sampai aku kembali menekan bel untuk ke sekian kalinya. Tak lama seseorang datang menggunakan pakaian kasual dalam bentuk celana trening dan sebatas menggunakan baju dari bahan kaos dengan penampilan rambut basah.

"Maaf sudah menunggu lama, saya baru beres mandi" ucap Juna

"Tidak apa-apa. Maaf sudah mengganggu waktu kalian" pungkas basa-basiku.

Untuk menanyakan perihal demikian, tidak mungkin kami membicarakannya dengan posisi berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Dengan kesadaran beliau, akhirnya ia menjamu kedatangan kami dengan memberikan tempat duduk yang nyaman di teras miliknya dengan cuaca yang cukup sejuk karena terdapat sebuah pohon. Gadis itu menyediakan teh hangat untuk kami.

"Terima kasih" ucap Tiara kepada gadis cantik itu

"Benar-benar istri yang baik" ucapku sembari tersenyum melihat gadis itu

"terima kasih" jawab si gadis yang memang istri Juna, kemudian pergi setelah mendapat kode dari Juna.

"Ada apa ya kalian mencari saya??" tanya Juna setelah wanita itu pergi menjauhi kami

"ada hal yang mau saya tanyakan, apa kah kamu mengenal orang ini??" menaruh foto 'korban' di atas meja.

Pertanyaanku ini membuat dia tersedak ketika sedang minum. Ia melihat foto 'korban' yang aku taruh itu. Dengan sikapnya yang seperti itu membuatku mengungkapkan kalimat

"enggak, saya tidak mengenalnya"

"kalau gitu, bisa kamu jelaskan foto ini??" tanyaku dengan memperlihatkan foto bersama di mana ada dia dan korban.

Juna tak bisa menjelaskan apa pun setelah aku menyodorkan foto itu.

"saya tahu kamu pacar Melinda!!" kemudian di lanjut "bagaimana bisa kamu memiliki perempuan lain??" dengan ekspresi jijik

"Belum lama ini, hubungan kami berakhir" ringkas Juna

"Ahh" balasku

"Kenapa kalian mengakhiri hubungan??" tanya Tiara kepada Juna

"Akhir-akhir ini kami sering berselisih paham, oleh karena itu kami memilih untuk mengakhirinya" jelasnya.

"apa itu tentang menggugurkan atau tidak??" tanyaku mematahkan asumsinya.

"Itu apa maksudnya??" balik tanya Juna

"Berhenti berpura-pura. Bahkan ada saksi yang melihat kamu menyuruh dia menggugurkan kandungannya. Kenapa kamu melakukannya??" Tanyaku kembali.

"Kalian benar-benar keterlaluan" ucapan kecewa Juna mendengar pertanyaanku.

"Belum lama ini 'korban' ditemukan tewas di rumahnya" ungkap Tiara

"Apa? Tewas??" jawab kaget Juna.

"Iya. Tepatnya pada tanggal 10 Januari. Hari itu, kamu pergi kemana??" tanyaku

"Euhhh... euhh" gelagap Juna "hari itu aku berkumpul dengan teman-teman"

"di mana??"

"Di tempat biasa kami nongkrong" jawab Juna, "kenapa??" lanjut penasarannya.

Berpura-pura tidak tahu atau bahkan memang benar-benar tidak tahu, aku tidak bisa membaca bahasa tubuhnya dengan baik. Pertemuanku dengan pria itu berakhir sampai disana, mendengar pertanyaan-pertanyaanku terlihat membuatnya tidak nyaman. Perjalanan kembali dilanjutkan, Tiara mengantarku pulang menggunakan mobil miliknya. Di tengah perjalanan, aku memintanya untuk mencarikan alibi Juna di hari kematian 'korban' sedangkan aku berencana menemui terdakwa di lapas esok hari.

Hari persidangan kedua semakin dekat, tapi hasil forensik mengenai alat bukti belum juga keluar. Baik dari pihakku maupun jaksa semakin dibuat was-was. Terlepas dari itu semua, aku harus memberitahu setiap informasi yang sudah aku dapat kepada terdakwa. Oleh sebab itu, aku datang untuk kesekian kalinya dan duduk di ruang ini berhadapan dengan terdakwa.

"Yang kemarin bapak bicarakan, benar. Korban meninggal dalam keadaan hamil" ujarku yang berhenti sejenak, lalu menyambung "ada hal lain yang belum bapak bicarakan kepada saya??"

"Sejauh ini, saya sudah mengatakan semuanya" pungkas terdakwa

"disidang nanti, saya akan meminta keterangan dari bapak. Bapak tidak keberatan??"

"iya, saya tidak keberatan" Responsnya yang kalem, karena rasa penasarannya beliau bertanya "saya penasaran, apa hasil pemeriksaan alat buktinya sudah keluar??"

"Sampai sekarang, saya belum mendapat laporan"

"Bagaimana kalau hasilnya, tidak ada sidik jari siapapun??" lanjut pertanyaan nyeleneh terdakwa

"...." ekspresiku yang tak dapat terdefinisikan.

Waktuku untuk menyiapkan sidang kedua sudah hampir usai, karena esok adalah sidangnya. Namun anehnya belum ada pemberitahuan mengenai hasil pemeriksaan alat bukti itu. Walaupun aku yakin klienku tidak bersalah, tetap saja aku takut tiba-tiba ia mengkhianatiku atas kepercayaan yang sudah aku berikan, aku cemas jika hasil yang keluar ternyata cocok dengan terdakwa, maka segala usahaku akan sia-sia. Bukan hanya aku, mungkin Irene juga sedang menunggu panggilan dari badan forensik.

Panggilan yang akhir-akhir ini aku tunggu, datang juga. Pihak badan forensik menghubungiku. Tanpa berlama-lama, aku menjawab panggilan itu. Namun pernyataan yang dia ucapkan sama sekali jauh dari ekspektasi. Ia menyatakan "kami meminta maaf atas keterlambatan ini, hasil pemeriksaan alat bukti belum bisa kami kirim hari ini karena ada sedikit kendala. Untuk itu kami benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya. Pihak kami akan mengusahakan hasilnya keluar sebelum persidangan". Mendengar itu, ingin rasanya memukul seseorang sebagai bentuk pelampiasan.

"Auggghh gimana ini??" pertanyaan yang terpikir olehku sampai mau tidurpun sulit.

Ponselku bergetar, ada pesan masuk via whatsapp dari Dean yang mengirimkan sebuah foto sepatu cantik dengan caption "gimana??", aku membalasnya "cantik". Rasa cemas berkepanjangan sekaligus perasaan aneh hanya karena dikirim sebuah foto sepatu oleh Dean membuatku susah tidur dan akibatnya mata panda jelas sekali merusak wajah cantikku ini. Sidang kedua dilaksanakan sesuai dengan agenda yang ada. Strategiku untuk mematahkan tuntutan jaksa penuntut umum dengan mengahadirkan terdakwa layaknya menjadi saksi yang aku mintai keterangan.

"Saudara 'terdakwa', apakah benar pada tanggal 10 januari anda berada di rumah korban??"

"Iya, benar!" jawab terdakwa

"Sedang apa bapak ada di rumah korban??"

"Saya hendak mencuri, makanya hari itu saya disana"

Ternyata jawaban yang dilontarkan terdakwa membuat kaget seisi ruangan, termasuk Irene.

"Jadi bapak mengaku sebagai pencuri bukan pembunuh??"

"Keberatan!! Pertanyaan pembela tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini" ujar Irene dengan suara lantang dan tegas

"Hakim yang terhormat, bukankah kita harus mengetahui dari dua sudut pandang, agar kebenaran benar-benar terkuak dari persidangan ini??" pungkasku dengan mata tajam melihat hakim.

"Pembela, silakan lanjutkan!!" suruh hakim

Pertanyaanku berikutnya ialah "apa yang bapak curi dari rumah korban??"

"Tidak ada"

"Kenapa??"

"Karena saya terlanjur melihat korban tergeletak dilantai dengan penuh darah, maka dari itu saya langsung pergi dari rumah korban"

"Kenapa bapak lebih memilih mengintai rumah korban terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mencuri??"

"Agar saya mencuri tanpa diketahui dan tanpa melukai pemilik"

"Jika memang demikian, kenapa bapak masuk ketika pemilik berada di rumah"

"Saya tidak tahu kalau ia ada di rumah. Karena setau saya ia selalu keluar pada jam segitu"

"ketika sedang mengintai, siapa saja yang pernah bertamu ke rumahnya??" tanyaku

"ada seseorang yang pernah datang"

"Apakah anda tau orang itu??" kembali tanyaku yang sudah jelas mendapat pertentangan dari Irene.

"Pembela berspekulasi bahwa terdapat terdakwa lain tanpa didasari dengan bukti" ucap Irene.

Pernyataannya membuat Hakim melarangku untuk bertanya perihal ini, untuk itu aku menyudahi pertanyaan hanya sampai disitu. Belum adanya hasil dari badan forensik menyulitkanku untuk berargumen lebih jauh.

Aku menutupnya dengan sebuah argumen "memang terdengar mengada-ada, namun kita juga tidak bisa menutupi kebenaran yang ada. Sekian"

Sekarang giliran untuk jaksa penuntut umum bertanya mengenai tuduhan tersebut. Irene bersiap untuk bertanya. Sebelum bertanya, nampak jelas ia melihatku dengan sorotan mata yang tajam yang bercita-cita ingin menyudutkan terdakwa.

"Saudara terdakwa, tadi anda mengaku sebagai pencuri. Benar??" dengan nada cukup santai

"Iya"

"Anda juga mengatakan 'saya melihat korban tergeletak dilantai dengan penuh darah, maka dari itu saya langsung pergi dari rumah korban'. Jika memang demikian, kenapa noda darah korban tertempel di baju anda??"

Terdakwa hanya mampu tertegun yang seakan sulit mengungkapkan apa yang terjadi padanya.

"kenapa anda tidak menjawabnya? Jangan-jangan anda berbohong??" ucap sombong Irene

"Hakim yang terhormat, jaksa terlalu mendesak terdakwa" belaku

Sebelum hakim berbicara, justru Irene terlihat berambisi mengalahkanku di sidang ini dengan memotong pembicaraan hakim.

"Berhubung terdakwa tidak mampu mendeskripsikan pertanyaan saya, maka ini memiliki makna yang terlihat jelas. Dengan itu saya menutup pertanyaan kepada terdakwa" tutup Irene.

Tak disangka, skenario yang sudah aku rencanakan hancur hanya karena pertanyaan mematikan itu. Saya harap hasil tes forensik datang dengan membuktikan ketidakbersalahan terdakwa.

Tepat kemarin sebelum sidang, Tiara datang kepadaku dan mengabarkan bahwa alibi yang dikatakan Pacar korban sama sekali tidak mendasar, sebaliknya Tiara menjelaskan kecocokan alibi pacar korban hari itu dengan teman-temannya.

"aku sudah mencari tahu, pacar korban sama sekali tidak berkumpul dengan temannya" ujar Tiara

"beneran?? Ada buktinya??" tanyaku

Berhubung Tiara sudah melaporkan apa yang didapatnya, aku memberanikan diri untuk menemui Irene di kantor pengadilan. Ia nampak sedang berbincang dengan temannya yang sama-sama berprofesi sebagai jaksa penuntut umum. Aku menghentikan langkah mereka dengan berdiri tepat di depan Irene yang hanya berjarak sekitar satu meter. Karena kepekaan temannya itu, maka ia langsung pergi meninggalkan kami berdua.

Terdapat sebuah bangku yang tersedia di ruang publik yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Kami pun duduk di bangku itu. Sikapku yang tak biasanya menemui Irene menjadi perhatian khusus baginya.

"Ada apa??" tanya Irene.

Aku hanya memberikan beberapa lembar foto padanya, foto pertama ialah foto sebuah mobil yang terekam cctv melaju dari arah rumah korban dan foto berikutnya ialah foto kebersamaan beberapa orang yang diduga teman pacar korban. Kedua foto itu didapat berkat keteladanan Tiara mencari informasi.

"Apa ini??" tanya bingung Irene sembari melihat kedua foto itu.

"ini foto mobil pacar korban yang berhasil terekam cctv pada hari itu. Dan ini alibi pacar korban"

"Terus??"

"Aku harap kamu menangkap pelaku sebenarnya!"

"Aku sudah menangkapnya, tapi kamu menghalangiku untuk menjebloskan dia ke jeruji besi" pungkas Irene.

"Kamu salah. Dia tidak melakukan apapun"

Sayangnya pertemuanku kemarin dengan Irene sama sekali tidak berpengaruh di sidang hari ini. Irene tetap ngotot dengan segala bukti yang sudah ia temukan. Bagaimanapun aku harus tetap membela terdakwa. Aku kembali bertanya kepada terdakwa berupaya mematahkan asumsi jaksa.

"Ke arah mana anda pergi meninggalkan rumah korban??" tanyaku

"Ke arah barat" jawaban yang sama pada sidang pertama

"Berdasarkan pernyataan saksi ke dua dan terdakwa yang sama-sama mengatakan bahwa saudara terdakwa pergi meninggalkan rumah korban ke arah barat, namun ternyata senjata yang ditemukan justru berada di arah timur yang letaknya tidak jauh dari rumah korban maka secara tidak langsung fakta ini menunjukkan bahwa terdakwa tidak mengetahui tentang senjata itu". Argumenku

"Memang benar senjata yang ditemukan berada di arah timur rumah korban, namun tidak menutup kemungkinan bahwa terdakwa yang membunuh korban. Semuanya bisa terjadi dengan kecerdasan terdakwa yang mampu memainkan perannya secara totalitas" bantah Irene.

Seorang petugas dari tim forensik datang mendekati jaksa dengan membawa sebuah map, seorang yang bertugas menjaga persidangan turut mengambil map itu dan segera memberikan kepada Jaksa penuntut umum. Tanpa berlama-lama, Irene membuka map itu kemudian membacanya. Ekspresi yang ia pasang jelas tak bisa terbaca olehku, bahkan cocok atau tidaknya aku tidak tahu. Seusai membaca, Irene memberikannya kepada hakim yang terhormat.

"Dari hasil tes yang ada, sidik jarinya sama sekali tidak cocok dengan terdakwa. Yang berarti terdapat sidik jari seseorang yang belum diketahui identitasnya" ujar sang hakim.

Rasa syukur aku panjatkan kepada Allah SWT. Usaha yang selama ini aku perjuangkan ternyata hasilnya begitu memuaskan. Dengan begini maka secara tidak langsung terdakwa terbukti tidak bersalah walaupun hakim belum memberikan putusan. Perasaan lega juga nampak jelas dari wajah korban.

"Hakim yang terhormat, saya harus meminta keterangan saksi kunci atas kasus ini" ucapku.

"Siapa saksi kuncinya??" tanya hakim

"Saudara terdakwa yang tertuduh atas kasus ini, tidak lain dan tidak bukan adalah 'terdakwa'".

Sidang yang telah kulalui sudah berhasil dimenangkan. Kejujuran terdakwa telah membuktikan ketidakbersalahannya. Aku bersyukur sudah membuat keputusan dengan mempercayai terdakwa bahwa ia bukan pembunuh. Kalau saja aku mengambil keputusan yang salah, maka bisa saja ia menghabiskan masa tuanya dengan mendekam di penjara.

Karena gila kerja, aku melupakan sesuatu. Masuk ke ruangan kerja, aku dikagetkan oleh rekan-rekanku yakni Tiara, Febri dan Rizky. Mereka menyanyikan sebuah lagu ulang tahun, tanpa tertinggal kue disertai tancapan lilin yang berangka 42, padahal seharusnya angka 24. Ya benar, hari ini tepat dimana aku dilahirkan ke dunia.

"Selamat ulang tahun" ucap mereka bertiga, disambung Tiara "selamat juga udah menangin kasusnya"

"Terima kasih" balasku semabari tersenyum

"Tiup dulu lilinnya, jangan lupa make a wish nya" kata Febri

Aku memejamkan mata dan berucap dalam benak "terima kasih Tuhan sudah memberikan kebahagiaan ini padaku, aku gak akan pernah lupa untuk tetap bersyukur atas pemberianmu ini" kemudian membuka mata dan tak lupa meniup lilin.

Aneh sekali di kala hari yang spesial ini, Dean belum menampakkan batang hidungnya di depan aku. Spekulasi terhadapnya mulai bermunculan dari mulai dia lupa, dia sibuk dan spekulasi lainnya. Turun dari bus yang membawaku pulang, aku harus berjalan lagi menuju rumah dan ternyata begitu hampir sampai, terlihat dari jauh Dean sedang berdiri menungguku di depan rumah.

"Ngapain kamu disini??" tanyaku dengan wajah senyum, langsung menghampirinya

"Aku telepon kok gak aktif terus??" dengan posisi tangan yang tersembunyi di belakang

"Iya gitu??" membuka tas untuk mengambil ponsel, aku aku tekan-tekan ponselnya "ahh baterainya habis"

"Gimana sidangnya??" tanya Dean yang masih dalam posisi sama

"Aku memenangkannya" tembalku

"Ohh ya?? Selamat ya!!"

"Euhh" dibarengi dengan mengangguk

Percakapan kami terjeda hampir satu menit yang artinya terjadi sebuah keheningan.

"Nggak ada yang mau kamu ucapin gitu??"

Tapi keheningan tetap berlanjut, waktu menunjuk pukul 23:58 dan aku rasa sudah sepantasnya untuk masuk rumah.

"Kalau gitu aku masuk dulu!!" ujarku

"Sudah pukul 23:59" ucapan Dean melihat jam yang berada di tangan kirinya

"Terus??"

"Itu artinya hari ini akan berlalu" jawabnya yang disambung "selamat ulang tahun!!"

Aku tersenyum mendengar ucapannya "terima kasih!! Aku kira kamu bakal lupa"

"Aku mau jadi yang terakhir buat kamu" ujarnya yang membuatku tersipu. "Ini!!" memberikan tas yang selama ini ia sembunyikan dibelakang.

"Apa ini??" Menerima tas

"Hadiah ulang tahun"

"Ya ampun, makasih loh. Aku boleh buka sekarang??" tanyaku sambil senyum-senyum

"Buka aja!"

Di dalam tas itu berisi sebuah kotak kado yang dilengkapi pernik pita berwarna merah muda. Aku mulai membuka kotak itu, isinya adalah sebuah sepatu. Sayangnya bukan sepatu yang selama ini aku bicarakan. Ini hanya sebatas sepatu sneakers biasa. Yang awalnya senyum-senyum, setelah kadonya dibuka anehnya aku memasang wajah kecewa, padahal selama ini aku suka mengoleksi sepatu seperti ini.

"Gimana?? Kamu suka??" tanya jelas Dean

"Iya, suka. Terima kasih" balasku menghargai niat baiknya.

Memangnya aku berharap apa padanya sampai-sampai tidak bisa mengendalikan ekspresi. Bahkan tidak seharusnya aku berharap lebih kepada seseorang tanpa menyadari batasanku berada dimana.

Next chapter