Hanya butuh waktu dua puluh menit dan mereka sudah tiba di depan bandara yang sudah mulai sesak dengan kerumunan manusia yang akan berangkat dan juga yang baru tiba.
Meri menggandeng rido yang sibuk menarik koper meri.
"kau seharusnya menggandeng suamimu" ujar rido
"kakak, apa sekarang kau juga akan memperlakukanku seperti kak randy?"
"tidak, tapi bukankah ini salah. Aku seharusnya memegang tangan megan. Kau mengacaukan semuanya" andre mengatakan itu setengah berbisik.
"jadi, apa kakak yang sengaja mengajaknya untuk mengantarku?" meri berusaha keras mencari informasi dari kakaknya yang bermulut ember itu.
"tidak, aku bahkan terkejut. Lagi pula jika itu aku, aku pasti memintanya datang jam lima ke rumah"
Meri mengangguk mengerti. Dia berbalik melihat kedua makhluk yang membuatnya begitu geram semalaman hingga saat ini.
'dia pria jenius tapi kurang cerdik. Dia pasti mengatakan jadwal pemberangkatannya malam, kemudian berubah pagi. Karena itu dia terlambat' batin meri.
"aku merasa benar-benar buruk"
"apanya yang buruk?" tanya rido mendengar ucapan lirih adiknya itu.
"bukan apa-apa. Kakak, sejujurnya sejak awal aku tidak menyukai megan, tapi karena kau menyukainya berusahalah dengan keras. Oke" meri memeluk rido sebagai tanda perpisahan sambil memberikan wejangan singkat yang di balas anggukan oleh rido.
Meri melambaikan tangannya kepada rido hingga ia hilang di keramaian. Meri menarik kopernya sendiri, walaupun andre berusaha merebutnya. Dia terus menolak, mengatakan andre juga harus mengurus kopernya sendiri. Dia dalam suasana hati yang buruk sehingga yang terjadi diantara mereka hanya emosi yang ditutupi dengan senyuman.
Tak merasa punya pilihan, andre hanya mengikuti perkataan meri agar tak menjadi perdebatan panjang.
Selama di pesawat, meri tidak mengatakan apa-apa. Bibirnya yang biasa licin seperti di olesi oli kini tertutup rapat bagai kaleng karatan yang sulit terbuka. Tak ada komunikasi berarti di antara pasangan itu. Andre sesekali mencoba mencairkan suasana dengan candaan tapi itu semua berujung garing dan lempeng tertiup angin.
'mengapa tingkahnya berubah drastis' batin andre melihat meri terus saja diam.
Mereka tiba di boston pukul sepuluh malam, mereka masih harus menaiki taksi selama dua jam untuk tiba di apartemennya.
Setelah tiba di kamar apartemennya, meri melemparkan kopernya ke sembarang tempat dan bergegas ke kamar mandi. Dia terlalu gerah menahan emosi sepanjang jalan agar tak menganiaya andre.
Dengan menggunakan piyama berlengan panjang serta celana panjang dengan motif doraemon. Meri menuju ruang tamu untuk menonton, dia ingin makan tapi itu sudah larut dan kulkasnya sudah ia kosongkan saat akan berangkat ke omaha waktu itu.
Andre menghampirinya dengan pakaian mandi berbentuk kimono. Dia menarik meri dalam pangkuan nya.
"kau selalu menatapku sinis selama perjalanan. Apa aku berbuat kesalahan?" tanya andre
Tak ingin menanggapi, meri hanya menjawabnya dalam benaknya 'apa kau tidak sadar akan kesalahanmu'
"bicaralah. Aku tak sepintar itu hingga tahu semua isi hatimu" ujar andre seakan tahu meri menjawab dalam hatinya.
"bukan apa-apa. Kau terlalu berlebihan memikirkan tatapanku" jawab meri asal.
"kau tidak bisa terus menghindar begini. Katakan apa yang mengganggumu?"
"andre, apa kau mengenal megan sebelumnya?" malas berbelit-belit, meri langsung kepada inti masalahnya.
Terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu, andre kemudian menjawab "tidak"
"kau tidur di sofa malam ini, jangan coba tidur di ranjangku" ancam meri berlalu menuju kamarnya.
Kesal dengan kebohongan yang terus saja terlontar dari mulut suaminya itu membuatnya benar-benar tidak bisa terima. Dia akan memberi sedikit pelajaran kepada suaminya itu agar mau berkata jujur kepadanya.
Andre diluat kebingungan dengan perkataan meri. Dia sudah menjawab dengan benar menurut pemikirannya tapi istrinya itu justru menyiksanya.
"meri, buka pintunya" andre berusaha membuka pintu yang terkunci dari dalam. 'apa semua wanita sesulit dia saat marah' batin andre.
Malam itu, mereka kembali tidur terpisah. Tak ingin memperkeruh suasana hati meri, andre lagi-lagi mengalah. Ia menyadari beberapa hari ini meri sangat sensitif jadi dia harus menghindar jika tak ingin mendapat masalah yang lebih besar.
Keesokan harinya, meri bangun seperti biasa. Dia sudah berencana akan pergi berbelanja hari itu jadi dia keluar kamar setelah selesai mandi dan berpakaian rapi.
Tak seperti biasanya, andre sudah bangun dan menunggu meri keluar dengan duduk di sofa ruang tamu. Melihat istrinya itu keluar, dia segera menghampirinya dan memeluknya tanpa aba-aba.
"kau selalu saja marah-marah padaku. Kepalaku hampir pecah memikirkanmu semalaman" ujar andre.
"lepaskan aku, aku akan pergi berbelanja kebutuhan rumah. Kau tinggal saja"
"apa sekarang kau tidak memerlukan sponsor dariku lagi?"
"Mmm, ibu sudah tahu aku di sini jadi tak akan ada masalah lagi jika ku gunakan kartuku sendiri" meri bukan tidak membutuhkannya, ia hanya enggan terikat dengan pria yang masih misterius di matanya. Akan lebih aman jika ia menjauhi segala manfaat yang di berikan oleh andre.
"aku sudah berjanji pada kakakmu"
"lupakan itu. Kau terlalu cerewet pagi ini. Berikan aku kartumu"
Andre menyerahkan dompetnya kepada meri tanpa ragu. Meri hanya mengambil kartu debit dan kredit yang sering ia gunakan. Kemudian mengembalikan dompet itu dan pergi begitu saja tanpa berpamitan kepada suaminya.
Di jalan, meri singgah pada sebuah toko ponsel tak jauh dari supermarket tempat biasa ia berbelanja. Dia membeli sebuah ponsel dengan merek yang sama dengan ponsel yang di berikan rido kepadanya. Setelah mengaktifkan nomornya, meri duduk di sebuah cafee sambil menekan nomor maria.
📞"halo maria"
📞"meri, oh god kau akhirnya menelfonku. Kau di mana sekarang?"
📞"aku di cambridge. Lupakan basa basinya, aku ingin meminta bantuanmu sekali lagi" ujar meri tak ingin berbicara panjang lebar.
📞"ada apa?"
📞"aku mau, kau mencari tahu tentang seseorang dan pastikan kau mendapatkan pesan terakhir yang masuk ke ponselnya"
📞"siapa?"
📞"megan desti prahara, aku mau semua informasi mengenai masalalunya. Dan jika bisa, sadap ponselnya dan kirimkan padaku semua riwayat chat dan telfonnya. Ah satu lagi, cari tahu hubungan antara wanita itu dan andre"
Maria tidak heran jika meri memintanya mencari tahu tentang identitas seseorang, tapi mendengar itu berhubungan dengan suaminya sendiri, maria merasa terjadi sesuatu yang tidak pantas.
Namun tak banyak bertanya ia langsung mengiyakan dan menjanjikan hasilnya paling lambat malam ini.
Setelah menutup telfon, meri menatap jalan raya seraya menikmati sarapan paginya. Hari ini, untuk pertama kalinya ia berjalan sebagai seorang perempuan tanpa suami. Ia tak memikirkan jika suaminya akan kelaparan di rumah. Dia hanya akan kembali jika sudah waktunya tidur lagi. Melihat wajah andre seakan memancing emosinya agar meledak.
Untuk menghabiskan waktunya menunggu malam, meri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kepalanya. Beberapa hari ini kepalanya masih tak berhenti nyeri. Setelah mendengar penjelasan dokter meri mengerti dan kembali pada tujuan awalnya.
Tak hanya belanja makanan, meri juga membeli beberapa pakaian baru untuknya. Ia akan mengubah tampilannya dengan menggunakan rok di bawah lutut mulai hari ini atau menggunakan celana panjang lebar. Dia merasa perlu untuk bercermin dari dua kejadian terdahulu. Kali ini, dia akan lebih berhati-hati.
Sudah beberapa jam ia berkeliling, saat menatap jam tangannya ia merasa waktu terlalu lama berlalu. Dia ingin pulang, tapi tak ingin terlalu cepat. Tak ada pilihan lain, meri memutuskan untuk pulang ke apartemennya dengan belanjaan yang ia beli menggunakan kartunya. Tak ingin mendengar ocehan andre, itulah mengapa ia meminta karru suaminya itu. Tapi tetap tak berniat menggunakannya untuk saat ini.
Tiba di apartemen itu baru pukul dua siang. Andre tak berada di apartemen saat meri pulang. Ia merasa lega namun heran kemana suaminya itu pergi di siang hari pada kota asing.
Meri beristirahat di sofa kamarnya menatap dinding kaca dan pemandangan gedung diluarnya. Walau di luar terik, dinding kaca yang di depannya itu mampu menyerap panas hingga 80 persen jadi tak merubah suhu di dalam ruangan.
Sudah jam lima saat meri terbangun mendengar suara dering telfonnya. Telfon yang begitu ia nantikan.
📞"halo maria"
📞"meri, aku sudah mendapatkan datanya. Aku mengirim riwayat chat dan telfonnya ke email mu beserta biodatanya. Mengenai hubungannya dengan suamimu, itu sangatlah rumit. Apa kau mau dengar?" maria merasa ragu memberitahu meri kenyataannya.
📞"katakan saja"
📞"dia kuliah di kampus yang sama dengan suamimu. Hanya berbeda satu tahun lebih muda dari andre. Ku rasa dia seumuran dengan kak rido. Dia pernah menjalin hubungan dengan andre di awal tahun kuliahnya. Itu artinya saat itu kau belum mengenal suamimu. Apa yang mengejutkan adalah dia kekasih pertama andre, soal cinta pertama aku tidak bisa memastikan karena itu perasaan suamimu yang tidak bisa di bajak. Meri apa kau masih mendengar ku?"
📞" Mmm, masih. Lanjutkan"
Meri mendengar hasil pencarian maria dengan menggunakan handsfree dan membuka email yang dikirimkan maria.
📞"dia berpisah setelah enam bulan berpacaran. Dari informasi yang ku dapat itu karena perempuan itu menyukai kakak andre. Aku kesulitan mencari identitas kakaknya, sepertinya dia sangat berpengaruh hingga semua tentangnya di privasi tanpa celah"
📞"Mmm, aku mengenalnya. Kau lanjutkan" meri masih sibuk membaca semua chat dan riwayat panggilan milik megan.
📞"oke, dia di tolak oleh kakak andre, dan pelampiasannya adalah dia menggaet seorang tua bangka kaya raya dan ternyata itu adalah ayah andre. Aku tidak tahu apa dia mengetahui sejak awal atau tidak tapi dia begitu di manjakan. Dia bahkan di bantu selama penyelesaian studynya. Semua biayanya bahkan dia sudah seperti istri simpanan. Aku merasa wanita seperti itu menjijikkan, bagaimana bisa dia menjadi begitu memikat hati suamimu"
📞"tidak hanya suamiku, dia bahkan bisa membuat kak rido tergila-gila padanya. Aku sudah mengerti sekarang"
Meri memutuskan telfon setelah membahas beberapa hal serta saling menyapa dengan baik. Dia baru saja berkomunikasi dengan maria dan hanya memberinya tugas jadi ia setidaknya harus berbasa basi terlebih dahulu.
Mendengar meri yang selalu kurang berkonsentrasi dalam berbicara, maria akhirnya memutuskan telfon dan berjanji akan menelfonnya di lain waktu saat meri sudah mulai tenang.