webnovel

Avalona

30 September 1274 AG - 8:30 Am

Katedral Agung Kerajaan Suci Avalona

—————

"Gereja megah ini adalah warisan dari Kekaisaran Suci Curidios..."

Di ujung meja panjang, seseorang berjubah berdiri memberi sambutan. Kepalanya tertutup tudung, sebagian besar wajahnya terpapar bayang karena lilin chandelier. Sosok misterius itu merentangkan tangannya dan menegadahkan muka.

"Saat ini, lebih dari 150 tahun Avalona berdiri sebagai kerajaan tepat di jantung Benua Meropis." Dia berkata sebelum menurunkan tangan dan menyatukannya seperti sedang berdoa. "Saya tidak akan bosan mengingatkan anda meski anda pasti tahu apa yang akan saya katakan." Pria itu menatap ke depan dan menaikkan intonasi suaranya. "Saat ini anda berada di tempat paling suci di seluruh dunia, Tuan-tuan representatif!"

Bentakan itu menggema dan memaksa perhatian semua orang.

Di ruangan luas itu terhampar meja panjang dipenuhi sajian mewah. Di hadapan para peserta, tersedia pula wine mahal yang tertuang di gelas-gelas kristal. Tapi kemewahan itu tidak senada dengan suramnya ruangan yang hanya bercahayakan lilin. Ruangan itu juga makin suram oleh nuansa tegang para peserta jamuan.

Seluruh peserta itu mengenakan jubah yang sama dan menutup kepala mereka dengan tudung dari jubahnya. Mereka menyandarkan kedua sikunya di atas meja dan menyatukan jemari yang sedikit terenggang.

Mereka sedang berdoa?

Tidak. Mereka sedang mencemaskan sesuatu yang akan dibahas di pertemuan itu. Para peserta itu tidak berani menatap sang pembicara yang terlihat sangat kesal.

"Apa anda masih tuli, Tuan-tuan?"

Tidak ada jawaban.

Para peserta semakin terdiam.

Meski ruangan itu terlalu temaram untuk bisa jelas menunjukan wajahnya, tapi dilihat dari sebagian fitur wajah dan suaranya, orang yang jadi pembicara itu nampaknya masih sangat muda. Mungkin berusia awal 20-an atau di sekitarnya. Usia itu juga sangat terasa dari emosinya saat dia berbicara.

"Anda pasti tahu bahkan seorang bishop pun perlu upacara rumit untuk bisa duduk di kursi anda, bukan?"

Semua kepala semakin menunduk.

"Jadi dengarkan ini baik-baik, Tuan-tuan," lanjut pembicara itu mempertegas intonasinya. "Tuan-tuan adalah representasi penting semua kerajaan afiliasi New Age Order. Kami undang anda di tempat paling suci ini untuk membahas topik yang sama seperti lima tahun kemarin." Pemuda itu mulai menyeringai diantara bias cahaya lilin. "Tapi saya yakin kali ini anda tidak berani meremehkan topik ini lagi—

"Cardinal …" Seseorang memotong ucapan pembicara itu dengan rentangan satu tangan.

Pembicara itu sejenak terhenyak. Cardinal muda bertudung pun membungkukkan badan pada orang yang baru saja menegurnya.

"Baiklah, maafkan saya, Bapa," jawabnya sebelum kembali berdiri menatap satu persatu anggota rapat dengan wajah masih terganggu. "Kita langsung ke intinya saja. Saya tidak sedang mengajak anda bicara omong kosong soal Lord dan kaum iblis. Saya juga tidak sedang mendoakan anda untuk meminta sumbangan." Dia menggebrak mejanya. "Kita di sini bahas bisnis!"

Wajah para peserta semakin tegang. Tidak ada satupun dari mereka yang berani bicara. Melihat para pesertanya semakin menundukan kepala, cardinal muda itu pun menunjukan wajah tidak sabaran. Dia menoleh ke orang berjubah paling mewah untuk meminta izin kebebasan bicara.

Begitu mendapat anggukan, cardinal itu menyeringai sinis.

"Lima tahun lalu anda bergaya seperti pemenang perang. Anda berlagak santai minum wine di meja ini. Tapi lihat sekarang! Karena ketololan anda semua meremehkan ucapan saya, anda merasakan sendiri, bukan?" Cardinal itu sekali lagi menggebrak meja. "Ada kata-kata untuk ini!?"

Bentakan itu membuat sebagian orang menyangga dahi di jemari yang terkepal. Suasana heningpun menghiasi pertemuan penting itu seakan besok akan terjadi perang. Tapi tetap saja tidak ada seorang pun yang berani bersuara.

"Baiklah, anggap saya sudah memuaskan kekesalan saya. Maaf sudah menganggap anda bodoh. Anda tidak bodoh, anda hanya tidak pernah sekolah," ujar pemuda itu kembali berdiri dan memasang postur berwibawa. "Kita bahas Kota Maylon. Anda sudah tahu secepat apa kota itu menguasai jalur sutera dan Teluk Parimea, bukan?" Dia membungkukkan badan dan menyangga kedua tangan di meja untuk perkuat intimidasinya. "Saya beri anda kabar buruk lain. Jangan terkejut dengan siapa yang berbicara nanti, Tuan-Tuan Constable."

Cardinal itu memberi anggukan kepada seseorang di meja terjauh. Orang yang dimaksud itu pun berdiri dan membuka jubahnya di hadapan para peserta. Semua peserta kontan terperanjat begitu tahu orang itu siapa.

Melihat respon yang sebenarnya sudah dia duga, cardinal muda kembali bersuara.

"Anda biasa kerjasama dengan orang Qalamist, tapi anda heran saat salah satu dari mereka juga kami undang. Apa anda mau bicara kemarahan Lord?"

"Tapi—

BRAAKKKKKK!!!

"Sudah saya bilang kita bicara bisnis! Lebih baik pakai telinga anda yang tuli itu!" Pria muda itu semakin terganggu oleh selaan salah satu seorang peserta. Dia menoleh ke orang yang baru buka jubah dan memberi dia perintah. "Silahkan bicara, Tuan Khayin bin Qaswani!"

Pria itu berdiri tegap begitu dia dipersilahkan bicara. Seluruh mata spontan melihat postur orang itu yang memiliki fitur rasial berbeda dari seluruh peserta. Pria itu berbadan kekar dan memiliki bulu-bulu hitam lebat yang menghiasi sebagian wajahnya. Hidung mancung dan bulu mata tebal itu jelas menandakan bahwa orang itu merupakan ras Iram yang berasal dari negeri-negeri padang pasir.

Next chapter