webnovel

CHAPTER 1

Singapore, November, 2003

Seorang wanita separuh baya, berumur lima puluh lima tahun tampak sibuk membangunkan putranya. Tangannya asik mengetok-ngetok pintu kamar putranya dengan keras agar putranya itu segera bangun dari tidurnya. Namun, sepertinya usahanya sia-sia saja. Semakin ia berusaha mengetok, semakin nyenyak pula tidur putranya. Ia pun berhenti mengetok pintu, sebelum tangannya bengkak sendiri. Ia diam sejenak di depan pintu kamar, memikirkan cara lain agar putranya itu segera bangun dari tidurnya. Ia berpikir dengan kedua tangan di pinggang. Ia harus segera membangunkan putranya.

"Dave... are you hear me, Baby?" teriak nyonya Gina kencang. "Dave... wake up!"

Nyonya Gina masih berteriak, berusaha membangunkan putranya itu. Ia berteriak memanggil-manggil nama putranya.

"Dave... bangun, Sayang. Sebelum kamu telat nanti," teriak nyonya Gina lagi. Kemudian, ia sesekali mengetok kembali pintu kamar putranya itu.

"Wake up... wake up, Dave!" panggil nyonya Gina lagi. Tetap tidak ada respon dari dalam kamar.

"Daveeee...!" pekik nyonya Gina kencang. Ia terlihat kesal karena putranya sama sekali tidak bergeming dari tidurnya.

"Damn it!" umpat nyonya Gina emosi. Kemudian, ia menendang pintu kamar putranya itu kencang.

"Mom...? Are you kidding me? Sekarang itu masih pagi, Ma? Tidak perlu teriak-teriak? Aku bisa tuli jika setiap pagi Mama selalu begini," sahut Dave tiba-tiba membuka pintu kamarnya. Ia juga tampak kesal mendengar teriakan mamanya barusan.

"Apa? Masih pagi kata mu? Ini sudah jam 10, Dave?!" ujar nyonya Gina masih emosi. Ia membelalakkan matanya menatap Dave.

"Iya, aku tahu!" timpal Dave santai.

Nyonya Gina tampak menarik napas dalam melihat sikap cuek putranya itu.

"Mau sampai kapan kau begini, ha? Apa kau tidak ingin meneruskan masa depan Oxley, Dave?" tanya nyonya Gina sedikit serius. Ia berharap putranya ini bisa meneruskan masa depan perusahaan keluarganya yang sudah puluhan tahun dijaga dan dipertahankan oleh suaminya, Harry.

"Ma, tolong jangan mulai lagi! Aku bukan Papa yang selalu mementingkan Oxley dibandingkan kesehatannya sendiri. Aku tidak mau mati muda," ujar Dave lancang. Ia tampak tidak memperdulikan roman wajah mamanya yang sudah emosi.

Plak!

Tangan nyonya Gina dengan cepat mendarat di pipi kanan putranya.

"Beraninya kau berkata seperti itu tentang Papa mu, Dave...?" tanya nyonya Gina tanpa sadar sudah menitikkan air mata di depan putranya. Ia kecewa mendengar ucapan putranya tadi.

"Heh, terserah mama mau bilang apa? Tapi yang jelas, aku bukan papa." Dave malah tersenyum miring setelah mendapat tamparan mamanya barusan.

"Kau sudah keterlaluan, Dave. Mama kira kau bisa seperti abang mu, Raymon. Tapi, mama salah. Kau memang jauh berbeda dengan dia. Raymon selalu membanggakan kami, sedangkan kau selalu saja membuat mama kecewa," lanjut nyonya Gina mengutarakan isi hatinya yang sudah emosi.

"Terserah mama mau bilang apa? Aku tidak peduli, yang jelas aku bukan Ray atau pun papa," balas Dave. "Dan satu hal yang perlu mama sadari, mereka berdua sudah lama meninggal. Jadi jangan samakan aku dengan orang mati," ujar Dave melawan perkataan mamanya. Kemudian, ia membanting pintu kamarnya dengan kencang.

"Kau sudah keterlaluan! Buka pintunya, Dave!" teriak mamanya lagi.

Dave tidak memperdulikan teriakkan mamanya di luar kamar. Ia tahu, mamanya itu pasti sekarang sudah sangat emosi setelah mendengar perkataannya tadi. Ia tetap berada di dalam kamar dan tidak membukakan pintu.

"Dave, open the door!" pekik mamanya. Tampaknya nyonya Gina tidak terima dengan sikap putra satu-satunya itu sekarang. Ia sangat emosi sampai-sampai menangis di depan kamar.

Dave memang sangat berbeda dengan almarhum putra pertamanya, Raymon. Raymon adalah anak yang penurut dan selalu membanggakan kedua orang tuanya. Ia selalu berprestasi semenjak duduk bangku sekolah dulu. Sampai ia lulus kuliah pun, ia masih memberikan prestasi yang luar biasa dalam menjalankan perusahaan Papanya, Oxley. Sayangnya, ia tidak lama dalam menjalankan bisnis keluarganya itu. Ray mengalami kecelakaan pesawat saat mengikuti business trip ke London. Pesawat yang ia tumpangi, tiba-tiba saja mengalami kegagalan fungsi dan terbakar habis ketika mengudara. Ia beserta kesepuluh rekan kerjanya pun, tidak selamat dari kecelakaan tersebut.

Kematian Raymon, sangat membuat keluarganya terpukul. Pasalnya, Ray adalah anak kebanggaan mereka. Ia masih terlalu muda saat pergi meninggalkan mereka semua untuk selamanya. Apalagi, tuan Harry. Ia sangat terpukul dan kehilangan putra sulungnya itu. Ia tidak menyangka, Ray akan secepat itu meninggal. Ia sangat sayang kepada Ray. Sampai-sampai, ia mendedikasikan hari kematian putranya sebagai hari libur bagi seluruh karyawannya di Oxley.

Tuan Harry pun kembali menjabat sebagai CEO di Oxley. Namun, tidak lama sepeninggalan Ray, tuan Harry jadi sering sakit-sakitan. Tampaknya usia menjadikan kesehatannya menurun. Ditambah lagi, ia terlalu memporsir kerjaannya. Ia jadi sering lupa makan dan sedikit waktu istirahat. Lambat laun, penyakit yang ada di dalam tubuhnya menggerogoti dengan sangat cepat.

Sampai suatu hari, tuan Harry terkena serangan jantung secara mendadak di kantornya. Ia tidak sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama. Ia pun meninggal dunia.

Kehilangan suami dan seorang putra, membuat nyonya Gina sangat sedih. Ia sempat putus asa dan bermurung durja selama beberapa bulan lamanya. Ia pun berniat menjual saham Oxley. Untungnya, niat itu tidak sempat dilaksanakannya. Ia masih memiliki harapan baru setelah Dave lulus kuliah. Meskipun, ia tahu putra bungsunya itu akan membangkang perkataannya.

Terang saja, Dave pun langsung menolak permintaan mamanya untuk memimpin Oxley. Ia sama sekali tidak tertarik dengan kelangsungan bisnis keluarganya itu. Ia bahkan tidak peduli, jika Oxley bangkrut sekalipun. Dave hanya ingin bersenang-senang, memikirkan dirinya sendiri.

Nyonya Gina pun membujuk Dave secara paksa agar mau meneruskan masa depan Oxley. Karena memang kini, tinggal Dave-lah yang bisa diharapkannya sebagai penerus Oxley. Akhirnya, Dave mau mengambil alih perusahaan Oxley. Ia terpaksa melakukannya, sebelum mamanya benar-benar menutup semua akses keuangan buat dirinya.

***

Bali, November, 2003

Udara pagi kala itu berhembus semilir lembut, terasa sangat sejuk ketika membelai kulit. Sinar matahari di Bali pun tampak sempurna berada di titik koordinatnya, sehingga terasa hangat saat menyentuh kulit di pagi hari.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Para siswa di sebuah sekolah kejuruan swasta pun tampak sudah banyak yang berdatangan. Seorang gadis berambut pendek dan bertubuh mungil, namun berwajah agak sendu tampak melangkah mengikuti seorang siswi yang berada di depannya. Siswi itu berjalan tepat di depannya. Dan gadis itu, berjalan dengan kepala menunduk. Sementara, berpasang-pasang mata, tampak mengarahkan pandangannya ke arah mereka.

Flora, itulah nama gadis berwajah sendu itu. Sementara, siswi yang berada di depannya itu, adalah Clara. Mereka berdua, adalah kakak-beradik yang menjadi pusat perhatian di sekolahnya. Bukan karena mereka satu sekolah, tapi memang perbedaan sifat di antaranya saling bersebrangan satu sama lain. Clara, sebagai adik tampak lebih spesial dibandingkan Flora. Ia selalu merajai kakaknya di sekolah.

"Kau duluan saja. Aku mau ke kantin dulu bersama teman-teman ku. Tolong bawakan tas ku ke dalam kelas," perintah Clara dengan gaya nge-bos. Kemudian, ia menyerahkan tasnya kepada Flora setelah ia mengambil dompetnya. Ia pun berhambus pergi meninggalkan Flora.

Flora hanya bisa bersabar, ketika mendapat perlakuan semena-mena dari adiknya. Ia melanjutkan langkahnya dengan kepala menunduk. Wajahnya begitu sendu pagi itu. Entah kenapa, wajah sendunya itu seakan menjadi pusat perhatian para siswa lainnya di sekolah itu. Ia tetap berjalan terus ke depan, tanpa menghiraukan pandangan mata siswa-siswa lainnya.

"Dia cantik, ya?" puji seorang siswa yang duduk di bangku panjang yang sengaja disediakan pihak sekolah, di setiap koridor kelas.

"Ho'oh! Cantik," sahut teman siswa itu pula. "Tapi, kenapa wajahnya selalu sedih?"

"Entahlah..." jawab yang lainnya pula.

Mereka selalu heran, setiap melihat wajah sendu Flora.

Flora pun tiba di depan sebuah kelas. Ia menarik napas dalam ketika hendak memasuki ruangan kelasnya itu. Ia masuk ke dalam kelas, masih dengan kepala menunduk. Tiba-tiba dari dalam ruang kelas seseorang berjalan keluar dengan tergesa-gesa. Ia hampir saja menubruk badan Flora.

"Hei... hati-hati!" Flora terkejut seraya menyurut mundur. Kemudian, ia menatap pada orang itu. Dan di saat yang sama, orang itu juga sedang menatap Flora.

"Kamu?" desis Flora.

"Kamu, kan...?" balas pria itu juga terperanjat.

Mereka tampak saling menatap. Mereka sepertinya pernah bertemu di sebuah perpustakaan kota. Malah mereka sempat mengobrol sebentar di sana.

Pria bertubuh atletis itu terus-menerus memandang Flora. Ia seolah-seolah tidak percaya pada pandangan matanya.

"Kamu... sekolah disini juga?" tanya si pria itu.

Flora mengangguk, kemudian bertanya balik, "Dan kamu?"

"Yah, seperti yang kamu lihat. Aku juga bersekolah di sini," jawab pria itu dengan sedikit senyuman.

"Tapi, bukannya kamu tinggal di Jakarta?" tanya Flora sambil mengingat tempat pertemuan mereka pertama kali.

"Oh, itu..." seru pria itu. Lalu melanjutkan perkataannya, "Iya, aku tadinya tinggal di Jakarta. Tapi, karena sesuatu aku pindah ke sini, deh..."

Pria itu tertawa kecil.

"Lalu kelas mu yang ini?" tanya Flora sambil menunjuk ke arah kelas yang ada di depannya.

"Ho'oh...!" jawab pria itu.

"Kalau begitu, kita sekelas, dong!" kata Flora manggut-manggut.

"Oh, ya?" tanya pria itu. "Kamu ambil jurusan manajemen ekonomi juga?"

"Iya. Aku ambil jurusan manajemen ekonomi," jawab Flora.

"Wah... sama, dong!" sahut pria itu.

Sesaat keduanya tertawa sebentar, lalu mulai diam. Hanya mata mereka saja yang saling memandang. Tapi, itu pun tidak berlangsung lama. Karena Flora kembali menundukkan kepalanya. Ia seakan tidak ingin berlama-lama memandang pria itu. Wajahnya perlahan menunjukkan kesenduan lagi.

"Ah, aku tidak menyangka akan bertemu dengan mu lagi di sini," ujar pria itu lagi. Ia terlihat sangat gembira bertemu dengan Flora. Apalagi mereka satu sekolah dan satu kelas pula. Hatinya bertambah girang bersekolah di sana.

"Ya..." Flora masih menunduk dengan wajah sendunya. Pria itu memandang dalam wajah sendu Flora.

"Kamu kenapa? Sakit?" tanya pria itu dengan menempelkan telapak tangannya di kening Flora. Ia tidak merasakan suhu panas di kening Flora. "Kamu tidak panas. Tapi, kok lemas begitu?"

Pria itu mencoba menggoda Flora agar tersenyum.

"Tidak. Aku tidak sakit. Aku hanya..." suara Flora tersendat saat ingin melanjutkannya.

"Kenapa? Kok diam?" tanya pria itu balik.

"Tidak. Tidak ada apa-apa," jawab Flora tidak jadi melanjutkan perkataannya.

"Ya, sudah. Kalau tidak mau cerita juga tidak apa-apa, kok..." sahut pria itu tersenyum. Ia tahu, bahwa Flora tidak ingin mengatakannya sekarang. Dan, ia juga tidak akan memaksa Flora mengatakannya.

Flora tersenyum begitu mendengar ucapan pria itu. Kemudian, ia berkata lagi, "Waktu itu... kenapa kau pergi secara tiba-tiba?"

"Oh... waktu itu aku memang sengaja pergi diam-diam. Habis teman-teman mu sudah pada datang, jadi aku takut mengganggu waktu kalian," tutur pria itu menerangkan kejadian sewaktu di perpustakaan dulu. "Kenapa? Kamu merasa kehilangan, ya?"

Pria itu mencoba menggoda Flora dengan tawa yang terkekeh memandang wajah Flora.

"Apa?" Flora tampak kaget saat mendengar ucapan pria itu.

"Tidak ada. Sudah lewat," timpal pria itu pula. Padahal, ia berharap Flora akan berkata iya, saat mendengar pertanyaan tadi. Kemudian, ia bertanya dengan wajah yang malu. "Dulu kita belum sempat berkenalan. Aku lupa menanyakan nama mu. Sekarang, apa boleh aku tahu nama mu siapa?"

Senyum manis terpancar dari wajah Flora. "Tentu saja, boleh."

"Perkenalkan, namaku Radit. Kamu cukup panggil aku dengan, Adit." Pria itu memperkenalkan dirinya pertama kali.

"Namaku, Flora."

Mereka kemudian bersalaman satu sama lain. Flora merasakan genggaman tangan Adit untuk pertama kalinya. Tangannya begitu besar dan hangat. Ia tersipu malu ketika bersalaman dengan Adit.

Tak ingin berlama-lama bersalaman, Flora menarik kembali tangannya. Ia menunduk malu.

Adit pun menarik kembali tangannya dan menaruhnya di dalam saku celananya. Ia kemudian menatap Flora dengan heran. Ia pun bertanya, "Kalau boleh tahu, kenapa kamu membawa dua tas sekaligus? Apa itu tas mu?"

Flora diam. Wajahnya sendu kembali.

"Hm, ini bukan tas ku. Ini tas adik ku," jawab Flora dengan menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap wajah Adit. Ia berpikir, pasti Adit akan mengatainya bodoh karena mau diperintah oleh adiknya sendiri.

"Oh... kamu baik sekali mau membawakan tas adik mu. Mau aku bantu? Sepertinya tentengan kamu berat sekali?" tanya Adit menawarkan sedikit bantuan.

"Tidak perlu, Dit. Aku bisa bawa sendiri, kok. Ini masih ringan," jawab Flora menolak halus pertolongan Adit.

Sementara itu, dari belakang Flora datang seorang siswi yang merupakan pemilik tas yang sedang dibawa oleh Flora. Ia dan kedua gengnya tampak melalui Flora dan Adit begitu saja. Padahal, mereka sedang berada di depan pintu kelas.

Flora semakin menunduk, ketika mengetahui Clara sudah masuk ke dalam kelas. Ia menatap Clara yang sudah duduk di kursinya. Kedua gengnya pun duduk di antara, Clara.

"Adit..."

"Ya? Ada apa?" tanya Adit balik.

"Aku masuk dulu, ya..." jawab Flora lembut.

Adit mengangguk pelan tanda setuju.

Bersamaan dengan itu, dari dalam kelas mata Clara menatap Flora dengan dingin dan penuh kebencian. Flora yang menyadari tatapan sinis adiknya itu, hanya bisa menunduk dengan sabar. Hatinya tidak tenang dan selalu bertanya-tanya mengapa Clara begitu membencinya? Padahal, ia selalu mengalah kepada adiknya itu.

***

"Morning, Sir..." sapa para staff ketika Dave berjalan masuk menuju ruangannya.

Dave berjalan terus ke depan, tidak menjawab sapaan para staff-nya itu. Ia memang terkenal sombong di Oxley. Ia berjalan masuk sambil dikawal oleh dua orang pengawal pribadi alias bodyguard. Para bodyguard-nya itu bertubuh besar dan memiliki otot-otot seperti binaragawan. Mereka siap menghajar siapa pun yang berani mengganggu bosnya itu.

"Sangat membosankan," ucap Dave setelah masuk ke dalam ruangan kerjanya. Ia memiliki ruangan kerja yang sangat luas dan besar. Ia berjalan menuju meja kerjanya lalu duduk di kursi kebanggaannya itu. Ia mengangkat kakinya ke atas meja.

"Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk?" tanya seorang wanita sambil mengetok pelan pintu ruangan Dave. Wanita itu, merupakan sekretaris pribadinya. Ia masih berdiri di depan pintu ruangan Dave.

Dave mempersilahkan wanita itu masuk.

Wanita itu pun baru boleh masuk ketika Dave sudah mengijinkannya masuk. Wanita bernama Alice itu berjalan menuju meja kerja Dave. Ia berjalan bak model papan atas. Penampilannya selalu sama seperti biasanya. Pakaiannya selalu seksi dan super ketat. Hari itu, Alice memakai kemeja lengan panjang berwarna putih dengan bawahan rok sepan coklat di atas lutut. Kakinya yang jenjang membuat ia terlihat seksi saat berjalan. Ditambah lagi, ia tampak sengaja membuka tiga kancing atas kemeja putihnya, sehingga membuat belahan dadanya terlihat jelas. Mata Dave tentu sangat menikmati pemandangan tubuh indah sekretarisnya itu.

"Maaf, Pak. Ini ada sedikit dokumen yang perlu Bapak tandatanganin," ucap Alice setelah duduk di kursi di depan meja Dave.

"Dokumen apa ini?" tanya Dave sambil menurunkan kakinya dari atas meja.

"Ini dokumen tentang pembelian saham perusahaan Sylup, Pak." Alice tampak membusungkan dadanya ke depan saat menunjukkan isi dokumen tersebut. Dave tersenyum miring ketika melihat aksi menggoda sekretarisnya itu.

"Dimana saya harus menandatanganinya?" tanya Dave to the point. Ia memang malas berlama-lama membaca setiap dokumen penting yang akan dia tandatanganin.

Alice berdiri dari posisi duduknya sambil menunduk ke depan Dave. "Di sebelah sini, Pak." Alice menunjukkan space buat tandatangan bosnya itu.

Mata Dave langsung tergoda begitu melihat kedua payudara Alice. Rupanya saat menunduk tadi, Alice dengan sengaja memperlihatkan isi kemejanya. Kemeja putih yang memang tidak dikancingnya itu, dengan sangat gamblang menunjukkan kedua buah payudaranya yang menggantung disana. Dave tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia lalu menyuruh kedua pengawalnya keluar dan berjaga di luar.

"Kalian berdua, boleh keluar. Dan jangan biarkan orang lain masuk. Paham?" perintah Dave tegas.

"Baik, Tuan. Kami paham," ucap salah seorang pengawalnya lalu beranjak dari tempatnya. Mereka pun berjaga-jaga di luar pintu ruangan.

Begitu kedua pengawalnya pergi, Dave tersenyum miring memandang Alice.

"Jadi, katakan? Apa kau ingin aku melanjutkannya?" tanya Dave masih to the point.

Alice yang paham kemauan bosnya itu, langsung berdiri dari kursinya. Ia berjalan menghampiri Dave di kursinya. Ia duduk dengan manja di pangkuan Dave, sambil membuka simpul dasi Dave secara perlahan.

"Ya, aku ingin kau melakukannya, Babe. Aku sudah tidak tahan, ingin merasakan junior mu," ucap Alice sedikit mendesah di telinga Dave. Tangannya lalu mulai menjalar ke bagian bawah, menuju junior Dave. Ia membuka ikat pinggang celana Dave dengan cepat, lalu menariknya keluar. Alice tersenyum nakal memandang Dave ketika sudah berhasil membuka sleting celananya.

"Kau sudah membangunkan singa dari tidurnya, Baby." Dave mendekatkan tubuh Alice kehadapannya, lalu mencium bibir Alice dengan hasrat mengebu-gebu. Ia melumat bibir Alice tanpa ampun. Sementara, tangan Alice sudah sangat nakal di bawah sana, membuat junior Dave berdiri dan mengeras.

"Kau sangat nakal, Alice..." ucap Dave menarik bibirnya dari bibir Alice. Kemudian, ia membiarkan Alice turun ke bawah, menghisap juniornya. Dave sangat suka saat Alice bermain di bawah sana.

Tangan Dave menjambak pelan rambut Alice ketika kepalanya sudah berada di tengah juniornya. Ia menikmati jilatan-jilatan lembut di bawah sana. Alice rupanya pandai bermain bersama junior para lelaki. Ia membuat Dave pada pelapasan pertamanya.

"Come on, Babe..." pinta Dave sambil menekan kepala Alice ke dalam pangkal pahanya itu. Alice pun semakin gencar menghisap junior Dave.

"Come on, Babe...!" pinta Dave lagi.

Alice semakin semangat di bawah sana, bermain dengan junior Dave. Namun, tiba-tiba ponsel Dave bergetar dan berbunyi.

Dreeet…dreettt!

Suara deringan ponsel Dave terdengar mengganggu aksi panas mereka. Ia sempat membiarkan ponsel itu, tapi lama-kelamaan deringan itu cukup mengganggu kosentrasi percintaan mereka. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Alice pun berhenti menjilati junior Dave. Ia kembali duduk manis di pangkuan Dave, sambil sesekali mencium leher Dave.

"Ya, ada apa?" jawab Dave kesal dengan si penelepon itu.

"Hi, Bro. What's up, Man? Where are you?" tanya si penelepon itu.

"Lagi di kantor. Kenapa?" jawab Dave sambil bertanya balik kepada penelepon itu.

"Kantor? Are you kidding me?" tanya si penelepon tidak percaya.

"Ada apa, Wil? Cepat katakan? Karena kau sudah menggangguku sekarang," ucap Dave tampak kesal dengan sahabatnya itu, Willy.

"Haha..." tawa Willy dari seberang telepon. Lalu berkata, "Bro... Bro! Kau tidak pernah bisa diajak bercanda?!"

Willy tampak mengejek sifat serius sahabatnya itu.

"Waktumu tinggal lima detik. Lima, empat..." ujar Dave menghitung mundur.

"Eh, eh...! Tunggu dulu, Bro. Jangan langsung dimatikan," sahut Willy menghentikan hitung mundur Dave.

Akan tetapi, Dave tetap pada ucapannya. Ia masih menghitung mundur, "Tiga... dua..." lanjut Dave menakut-nakuti Willy.

"Oke, wait!" seru Willy serius. Kemudian, ia mengatakan maksud dirinya menelepon. "Aku hanya ingin memastikan tentang rencana kita nanti?"

"Rencana apa?" tanya Dave sedikit lupa.

"Jangan bilang kau sudah lupa dengan rencana kita kemarin malam?" tanya Willy balik.

"Iya, aku sudah lupa," jawab Dave santai. Ia memang tidak ingat dengan kejadian kemarin malam. Ia terlalu banyak minum kala itu, sampai mabuk. Ia hanya mengingat, bahwa kemarin malam ia dan dua orang sahabatnya sedang berpesta di sebuah club malam. Selebihnya, ia lupa dengan semua kejadian malam itu. Termasuk dengan rencana yang Willy katakan barusan.

"Kau memang gampang lupa, Bro. Kau seperti nenek-nenek saja." Willy tampak mengejek Dave.

"Apa kau bilang? Kau akan menyesal dengan perkataan mu tadi, Wil." Dave tidak suka bila diejek oleh siapa pun. Ia mengancam Willy dengan sikap sombongnya.

"Eits... sabar, Bro. Sorry…sorry. Aku hanya bercanda, Man." Willy menghentikan ancaman Dave. Dengan cepat ia meminta maaf sebelum, Dave serius dengan ucapannya. Di antara persahabatan mereka, memang Dave-lah yang paling berkuasa. Ia jauh lebih kaya raya dibanding kedua sahabatnya itu. Jadi, sebelum bisnis mereka dihancurkan oleh Dave, mereka lebih sering mengalah dibandingkan dengan Dave.

"Apa kau sudah selesai bicara?" tanya Dave setelah menerima permintaan maaf Willy.

"Sebenarnya aku belum selesai bicara, Bro. Masih banyak yang ingin aku diskusikan dengan mu?" sahut Willy.

"Kalau begitu, sebelum makan siang, aku akan menemui kalian nanti." Dave mengakhiri teleponnya. Ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia memandang Alice yang sudah tersenyum manja di pangkuannya.

"Kau ingin melanjutkannya, Sayang?" goda Alice sambil mencium bibir Dave.

"Tentu saja," sahut Dave pula. Kali ini, ia yang merajai tubuh Alice. Dengan cepat, ia melepaskan baju Alice dan menggendongnya ke atas sofa yang ada di ruangan kerjanya. Ia melampiaskan hasratnya yang terpotong tadi. Alice pun menerima dengan pasrah setiap sentuhan Dave di tubuhnya. Ia membiarkan Dave berkuasa penuh atas dirinya. Dan ketika mereka sudah berada pada puncak pelepasan, mereka semakin semangat dalam bercinta.

***

Seorang guru wanita berbadan agak pendek dan gemuk tampak memasuki ruangan kelas siswanya, sembari tersenyum-senyum. Flora menghela napas begitu guru tersebut masuk. Guru yang sama dengan mata pelajaran yang sama. Jika bukan karena sakit Thalasemia, yang ia derita, mungkin ia tidak perlu duduk di kelas itu lagi.

"Tahun ini adalah semester akhir buat kalian semua," ucap ibu guru itu. "Saya sangat senang bisa bertemu kalian lagi di hari ini."

Ibu guru itu berkata dengan wajah berseri-seri.

"Saya harap tahun ini kalian semua akan lulus dalam ujian akhir nanti," ujar ibu guru itu lagi masih dengan wajah yang gembira.

"Amin...!"

Seisi kelas menjawab kompak. Mereka semua kemudian bertepuk tangan dengan bersorak gembira. Setelah suara sorakan mulai mengecil, ibu guru itu melanjutkan perkataannya.

"Disini saya akan mengajar kalian tentang metodeologi penelitian, dan tentu saja saya masih akan jadi wali kelas kalian." Ibu guru itu berhenti sejenak, kemudian melihat seisi kelas. "Saya sangat senang melihat kalian semua masih utuh sampai di semester akhir ini."

"Wah, kita ini bukan utuh, Bu. Kita malah nambah satu personil baru disini." Terdengar suara celetukan seorang siswa.

"Yoi, Bu. Ada wajah baru tapi bukan siswa baru," timpal Clara pula.

Seisi kelas kembali riuh dengan tawa mereka masing-masing.

Hati Flora seperti dipukul dengan martil kala itu. Matanya langsung mendelong dan hampir menangis menahan rasa hinaan itu. Ia menunduk malu mendengar tawa mereka.

"Sudah, cukup!" tegur ibu guru dengan lantang. "Siapa tadi yang mulai?"

Semua siswa langsung menunduk. Mereka diam seketika. Tidak ada yang mau mengakui perbuatannya tadi.

"Saya tanya sekali lagi, siapa tadi yang mulai duluan?" tanya ibu guru dengan penuh wibawa. Ia menatap tajam ke arah semua siswanya, berharap ada yang mengakui perbuatannya barusan.

"Saya, Bu. Saya tadi yang mulai," jawab Clara sambil berdiri. Ia tampak berani mengakui perbuatannya.

"Oh. Kamu toh, Clara..." ujar ibu guru. "Atas dasar kamu bilang begitu tadi?"

Ibu guru itu tampak menatap mata Clara dengan tajam.

"Berdasarkan kenyataan yang ada, Bu." Clara tampak berkata dengan entengnya. Sontak seisi kelas tertawa begitu mendengar perkataan Clara.

"Teruskan..." pinta bu guru kepada Clara sambil memandang tajam semua siswa. Mereka pun langsung diam. Hening tanpa ada suara.

"Saya hanya mengatakan yang sebenarnya, Bu. Kakak saya kan memang bukan siswa baru di sini," celetuk Clara sinis. "Dia adalah contoh siswa yang gagal tahun lalu."

Suara Clara sangat nyaring saat mengejek kakaknya sendiri. Semua siswa yang berada di dalam kelas itu pun langsung menatap Flora dengan tatapan menghina. Mereka ikut mengejek Flora dengan celetukan-celetukan kecil.

"Kasian-kasian..." ejek salah seorang geng Clara.

Mereka semua ikut mengejek Flora tanpa tahu penyebab pastinya. Hanya ada satu orang saja yang secara diam-diam menaruh simpatik kepada Flora. Dia adalah Radit.

Adit seakan tidak terima bila Flora diejek oleh mereka. Emosinya naik sampai ke ubun-ubun. Ia mengepalkan tangannya, bersiap berdiri ingin membela Flora.

"Cukup! Kamu boleh duduk, Clara." Ibu guru menyuruh Clara duduk di bangkunya. Adit pun membatalkan niatnya untuk berdiri, begitu mendengar ucapan ibu guru.

Ibu guru lalu berkata kepada semua siswanya. "Memang benar, Flora tidak lulus tahun lalu dalam ujian akhirnya." Ibu guru memandang Flora dengan muka menunduk. Ia tahu, sekarang pasti Flora sangat sedih mendengar ejekan teman-temannya. Kemudian, ia melanjutkan perkataannya dengan berwibawa. "Kalian semua harus tahu, kalau Flora tahun lalu tidak lulus bukan karena kemalasannya ataupun karena mendapat nilai jelek. Ia tidak lulus, dikarenakan sedang sakit keras. Sehingga, ia tidak bisa menghadiri ujian akhirnya tahun lalu."

Ibu guru berhenti sebentar, sambil duduk kembali di kursinya. Lalu ia melanjutkan lagi perkataannya, "Jika seandainya tahun lalu dia tidak sakit, mungkin sekarang dia sudah lulus dengan nilai terbaik. Flora, adalah salah satu siswa teladan di sekolah ini. Bukan tidak mungkin baginya, untuk mendapat nilai tertinggi di sekolah ini."

Secara tidak langsung, ibu guru sudah mengangkat harga diri Flora lagi. Flora yang sempat seperti orang kehilangan nyawa kala itu, akhirnya bisa bernapas lega sejenak. Mukanya seperti dikembalikan lagi oleh ibu guru. Ia mengangkat sedikit wajahnya, lalu memandang Clara. Ia tidak habis pikir, kenapa adiknya itu bisa begitu tega menghinanya di depan semua orang. Padahal, ia tidak pernah menghina Clara sekalipun.

"Sekarang, silahkan buka buku pelajaran kalian masing-masing..." perintah ibu guru kepada seluruh siswanya. Semua siswa, langsung menuruti perintahnya.

Ibu guru pun mulai menerangkan pelajaran di papan tulis.

***

Ketika pulang, Flora berjalan dengan kepala tertunduk. Tiba-tiba, langkahnya terhenti begitu ia mendengar suara di sampingnya.

"Aku tadi selalu memperhatikan mu, Flo."

Flora menoleh. Ia mendapati Adit sudah berjalan di sampingnya. Adit menatapnya dengan perasaan kasian dan penuh simpatik.

"Kalian sepertinya tidak akur?" tanya Adit lansung.

"Maaf, Dit. Aku duluan," ujar Flora sambil menundukkan kepalanya.

"Flo... tunggu!" seru Adit menahan pergelangan tangan Flora.

"Maaf, Dit. Aku harus pulang," kata Flora melepas genggaman tangan Adit secara perlahan. Flora sudah melihat mobil ayahnya menunggu di depan gerbang sekolahnya.

"Apa kalian saudara kandung?" tanya Adit.

"Ya..." jawab Flora simpel.

"Lantas, kenapa tadi kalian tidak akur?" tanya Adit masih penasaran.

"Kata siapa kami tidak akur? Kami cukup akur di rumah," jawab Flora bohong.

Langkah kaki Flora bertambah cepat, begitu pula dengan Adit. Ia terpaksa mempercepat langkah kakinya juga, agar bisa menyusul Flora.

"Apa kau sedang terburu-buru, Flo?" tanya Adit heran.

"Iya, aku sedang terburu-buru." Flora semakin mempercepat langkah kakinya.

"Apa kau sudah dijemput pacar mu?" tanya Adit iseng ingin tahu apakah Flora sudah memiliki pacar atau belum.

Flora berhenti. Ia menoleh ke arah Adit sebentar. "Apa kau selalu seperti ini?" tanya Flora balik.

"Maksudnya?"

"Kau seperti wartawan. Yang terlalu banyak pertanyaan. Apa kau memang selalu begini?" tanya Flora.

"Oh, maaf! Jika aku terlalu banyak bertanya." Adit meminta maaf kepada Flora.

Flora tersenyum tipis memandang Adit. Entah mengapa, Adit selalu bisa membuatnya tersenyum.

"Maaf, Dit. Adikku sudah menunggu di dalam mobil."

Tangan Flora menunjuk kepada sebuah mobil sedan hitam yang sedang terparkir di depan gerbang kampus.

"Oh..." suara Adit perlahan berubah parau. "Kamu ternyata sudah dijemput, ya?"

"Ya..." jawab Flora simpel.

Langkah kaki Adit perlahan mulai melambat. Demikian juga dengan langkah kaki Flora. Ia membalikkan badannya sambil menatap wajah Adit dengan rawan. Mereka saling pandang, namun mulut mereka bungkam seribu bahasa.

"Ya, sudah. Sana..." perintah Adit kepada Flora. "Nanti kamu malah ditinggalin lagi."

Flora mengangguk pelan. Kemudian, ia masuk ke dalam mobil. Sementara, Adit tetap berdiri di tempatnya. Ia melambaikan tangannya kepada Flora.

Flora menoleh dari dalam mobil. Ia melihat wajah Adit begitu tampan saat tersenyum ke arahnya. Ia menyaksikan kelembutan dari diri Adit. Ia pun tersenyum sendiri. Ia lalu melambaikan tangannya dari dalam mobil. Ia tidak yakin, jika Adit melihat lambaian tangannya tersebut.

Mobil jemputan mereka terus meluncur dengan kencang, sampai bayangan Adit tidak terlihat lagi di belakang. Flora duduk di samping Clara sambil senyum-senyum sendiri.

"Dia siapa?" tanya Clara ketus.

"Namanya, Radit. Dia itu teman sekelas kita juga," jawab Flora berusaha lembut kepada adiknya itu.

"Oh... si anak baru yang miskin itu, ya?!" ejek Clara sombong. "Kalian memang cocok, si miskin dan si tukang sakit."

Clara tertawa mengejek Adit dan kakaknya sendiri. Sopir yang berada di depan, hanya geleng-geleng kepala melihat sikap anak majikannya itu. Bapak sopir itu, juga terlihat kasian memandang Flora yang selalu saja dijadikan bahan lelucon oleh Clara.

'Dasar anak tidak tahu sopan santun,' bathin bapak sopir menahan emosinya. Meskipun, bukan dirinya yang dihina, ia dapat merasakan rasa sakit di hati Flora.

"Pantas saja kalian tadi akrab," ejek Clara lagi.

Bapak sopir yang tidak tahan mendengar ocehan Clara, dengan sengaja ngerem mendadak pas lampu merah. Clara yang sedang asik tertawa itu pun, terhempas sedikit ke arah depan. Mukanya hampir saja terhantuk bangku yang ada di depannya. Beruntung, ia masih memakai seatbelt-nya, sehingga wajahnya aman dari benturan.

"Hei, Pak. Hati-hati..." bentak Clara kesal dengan sopirnya.

"Iya, Non. Maaf. Tadi saya tidak sengaja mengincak pedal rem..." sahut sopir sedikit berbohong kepada Clara.

Clara melipat kedua tangannya di depan dada, ia melihat sinis sopir pribadinya itu. Ia juga terdengar mendengus dengan suara hidungnya.