webnovel
0
BANGTANTV_official

BANGTANTV_official

Lv1
2020-10-08 UnidoGlobal
-d

Escrita

0.1h

de leitura

5

Ler livros

Emblemas
3
Momentos
1
  • BANGTANTV_official
    BANGTANTV_official4 years ago
    Comentou

    COVENTRY PENARI YANG pandai, tapi Billie hanya bisa memberinya sedikit perhatian saat pria itu menuntunnya melewati langkah-langkah cotillion yang rumit. George sudah selesai berbicara dengan pria tua itu, dan sekarang dia membungkuk memberi hormat di depan wanita dengan kecantikan begitu memukau sehingga rasanya mengherankan orang-orang di sekelilingnya tidak merasa perlu menutupi mata dari kilauannya yang menakjubkan. Sesuatu yang mendidih dan memuakkan bergolak dalam diri Billie, dan malam itu, yang sebelumnya terasa begitu magis kini berubah menyebalkan. Billie tahu seharusnya ia tidak mengajak Mr. Coventry berdansa. Lady Manston pasti akan terkena serangan jantung kalau dia berada di sini. Mungkin dia tetap akan terkena serangan jantung begitu gosip sampai di telinganya. Dan gosip itu akan sampai. Billie mungkin sudah menghindari London bertahun-tahun, tapi ia tahu cukup banyak untuk menyadari berita ini akan sampai ke seluruh penjuru ruangan pesta dalam beberapa menit. Dan ke seluruh penjuru kota keesokan paginya. Dirinya akan dicap terlalu berani. Mereka akan mengatakan ia mengejar-ngejar Mr. Coventry, bahwa ia putus asa untuk alasan-alasan yang tidak diketahui, tapi ia pasti memiliki rahasia buruk karena untuk apa lagi ia membuang berabad-abad adat istiadat dan mengajak seorang pria berdansa? Kemudian seseorang akan teringat insiden yang patut disayangkan di istana beberapa tahun yang lalu. Mengerikan, sungguh, mereka semua akan menyambarnya. Gaun Miss Philomena Wren tersambar api, dan pada saat semua orang tahu apa yang terjadi, ada tumpukan wanita muda tertambat tak berdaya ke lantai, tak bisa bergerak melawan berat rok lebar yang membuat gerakan mereka kikuk. Bukankah Miss Bridgerton ada di sana? Bukankah ia berada di atas Miss Wren? Billie mengertakkan rahang hanya agar ia tidak menggeram. Kalau ia berada di atas Philomena Wren, itu untuk memadamkan api, tapi tidak ada yang akan menyinggungnya. Bahwa Billie juga menjadi penyebab api masih menjadi rahasia yang dijaga ketat, untunglah. Tapi sungguh, bagaimana seorang lady bisa diharapkan bergerak dalam gaun resmi dengan rok penuh? Protokol istana menuntut gaun dengan kerangka jauh lebih lebar daripada yang digunakan sehari-hari. Billie biasanya memiliki kesadaran bagus mengenai di mana tubuhnya berada dalam sebuah ruangan—ia orang paling tidak ceroboh yang ia tahu. Tapi siapa yang tidak akan kesulitan bermanuver dalam benda yang membuat pinggulnya mencuat keluar hampir satu meter ke kanan dan ke kiri? Dan lebih penting lagi, orang tolol mana yang mengira menyalakan lilin di ruangan penuh wanita-wanita dengan bentuk tubuh janggal merupakan ide bagus? Ujung gaunnya begitu jauh dari tubuhnya sehingga Billie bahkan tidak merasakannya ketika ia menyenggol lilin. Miss Wren juga tidak bisa merasakan ketika gaunnya mulai terbakar. Dan Miss Wren tak pernah menyadarinya, pikir Billie puas, karena ia cukup berakal sehat untuk melompat ke atas tubuh gadis itu, memadamkan api sebelum sampai ke kulitnya. Meskipun begitu, sepertinya tidak ada yang ingat kalau Billie menyelamatkan Miss Wren dari kematian dan cacat. Tidak, ibunya begitu ngeri dengan seluruh situasi mereka sehingga membuang rencana untuk Season Billie di London. Itu, Billie mencoba mengingatkan diri sendiri, adalah yang ia inginkan selama ini. Ia telah menolak menghadiri Season selama bertahun-tahun. Tapi ia tidak mau mendapatkan keinginannya karena orangtuanya malu dengannya. Sambil mendesah, ia memaksakan perhatiannya kembali ke dansa cotillion yang kelihatannya ia lakukan dengan Mr. Coventry. Billie tidak ingat melakukannya, tapi sepertinya ia telah mengambil langkah-langkah yang benar dan tidak menginjak kaki siapa pun. Untungnya ia tidak harus bercakap-cakap; itu jenis dansa yang memisahkan wanita dari pasangannya sesering membawa mereka bersama. “Lady Weatherby,” kata Mr. Coventry ketika dia cukup dekat untuk berbicara. Billie mendongak kaget; ia cukup yakin Mr. Coventry mengetahui namanya. “Apa?” Mereka berpisah, kemudian kembali mendekat. “Wanita yang berdansa dengan Lord Kennard,” kata Mr. Coventry. “Janda Weatherby.” “Dia janda?” “Baru-baru ini,” Mr. Coventry mengonfirmasi. “Baru saja keluar dari pakaian hitam.” Billie mengertakkan gigi, mencoba menjaga agar ekspresinya tetap ramah. Janda cantik itu sangat muda, mungkin tidak lebih dari lima tahun di atas Billie. Dia mengenakan gaun indah yang Billie sekarang ketahui adalah gaya terbaru, dan kulitnya bagaikan pualam sempurna yang tak akan bisa Billie dapatkan tanpa krim arsenik. Kalau matahari pernah menyentuh pipi Lady Weatherby yang sempurna, Billie akan memakan topinya. “Dia harus menikah lagi,” kata Mr. Coventry. “Dia tidak memberi Weatherby tua pewaris, jadi dia hidup dari sumbangan Lord Weatherby yang baru. Atau lebih tepatnya…” Sekali lagi, dansa cotillion memisahkan mereka, dan Billie nyaris menjerit frustrasi. Kenapa orang-orang mengira mengadakan percakapan penting saat berdansa adalah ide bagus? Apa tidak ada yang peduli soal pemberian informasi yang tepat pada waktunya? Ia melangkah maju, kembali ke area percakapan dengan Mr. Coventry, dan berkata, “Lebih tepatnya…?” Pria itu tersenyum mengerti. “Dia pasti bergantung pada kebaikan istri dari Lord Weatherby yang baru.” “Aku yakin dia akan menikmati kehadiran Lord Kennard,” kata Billie diplomatis. Itu tidak akan bisa membodohi Mr. Coventry; dia tahu persis Billie cemburu setengah mati. Tapi pria itu paling tidak harus mencoba menunjukkan sikap tak peduli. “Aku tidak akan cemas,” kata Mr. Coventry. “Cemas?” Sekali lagi, Billie harus menunggu jawabannya. Ia melangkah dengan manis mengitari wanita lain, seraya memaki-maki dansa cotillion. Bukankah ada dansa baru di benua Eropa yang menahan wanita dan pria bersama-sama sepanjang lagu? Dansa itu digambarkan penuh skandal, tapi sungguh, tidakkah semua orang bisa melihat betapa masuk akalnya dansa itu? “Kennard tidak senang melepaskanmu di bawah pengawasanku,” kata Mr. Coventry saat bisa melakukannya. “Kalau dia meminta Lady Weatherby berdansa, itu hanya pembalasan dendam.” Tapi itu bukan cara George. Humornya mungkin licik, tapi sikapnya tidak. Dia tidak akan meminta seorang wanita berdansa hanya untuk membuat wanita lain cemburu. Dia mungkin jengkel, mungkin marah dengan Billie karena mempermalukan dirinya di depan teman-temannya, tapi kalau pria itu berdansa dengan Lady Weatherby, itu karena dia menginginkannya. Billie tiba-tiba mual. Seharusnya ia tidak mencoba memanipulasi situasi, mengatakan dengan lancang sebaiknya ia berdansa dengan Mr. Coventry. Tapi ia begitu frustrasi. Malam itu awalnya berjalan baik. Ketika pertama kali melihat George, tampak gemerlap dalam setelan malamnya, Billie hampir berhenti bernapas. Ia mencoba mengatakan pada diri sendiri itu pria yang sama dengan yang ia kenal di Kent, mengenakan jas dan sepatu yang sama, tapi di sini di London, di antara orang-orang yang menjalankan negara dan mungkin dunia, George terlihat berbeda. George terlihat pantas berada di sini. Ada aura memukau di sekelilingnya, kepercayaan diri yang tenang dan keyakinan tentang posisinya. George memiliki seluruh hidupnya yang tidak Billie ketahui, hidup dengan pesta dan dansa serta pertemuan di White’s. Pada akhirnya dia akan menempati posisinya di parlemen, dan Billie masih akan menjadi Billie Bridgerton yang nekat. Hanya dalam waktu beberapa tahun nekat akan berubah menjadi eksentrik. Dan setelah itu semuanya turun ke gila. Tidak, pikir Billie tegas. Bukan itu yang akan terjadi. George menyukainya. Bahkan mungkin pria itu sedikit mencintainya. Ia telah melihatnya di mata pria itu, dan ia merasakannya dalam ciumannya. Lady Weatherby tidak akan bisa— Mata Billie membelalak. Di mana Lady Weatherby? Dan lebih penting lagi, di mana George? . LIMA JAM KEMUDIAN George akhirnya berjingkat-jingkat melewati pintu depan Manston House, lelah, frustrasi, dan di atas semuanya, siap mencekik Lord Arbuthnot. Ketika sang jenderal memintanya mengantarkan pesan, George berpikir—Betapa sederhananya. Ia sudah berencana menghadiri Pesta Dansa Wintour, dan Robert Tallywhite jenis orang yang tepat untuk mungkin ia ajak bercakap-cakap ringan. Setelah dipikirkan, itu akan menghabiskan sepuluh menit dari harinya, dan ia akan bisa membaringkan kepala malam itu mengetahui ia telah melakukan sesuatu untuk Raja dan negara. George tidak mengantisipasi malamnya akan melibatkan mengikuti Sally Weatherby ke The Swan With No Neck, kedai minum bereputasi buruk setengah jalan ke seberang kota. Di sana ia akhirnya menemukan Robert Tallywhite, yang tampak bersenang-senang dengan melempar anak panah ke topi segitiga yang dipaku dengan cukup mengerikan ke dinding. Dengan mata ditutup. George menyampaikan pesan, yang isinya sepertinya sama sekali tidak membuat Tallywhite terkejut, tapi saat berusaha pergi, ia dipaksa tetap tinggal untuk menikmati segelas ale. Dan dipaksa yang ia maksud adalah dipaksa, didorong ke kursi oleh dua pria bertubuh sangat besar, salah satunya memiliki lebam mata paling jelas yang pernah George lihat. Memar seperti itu mengindikasikan toleransi yang menakjubkan untuk rasa sakit, dan George khawatir ini mungkin berhubungan dengan kemampuan mengantarkan sakit yang menakjubkan. Jadi ketika Mata Ungu tua menyuruhnya duduk dan minum, George menurut. Ia kemudian menghabiskan dua jam berikut dengan percakapan yang begitu kusut dan kosong bersama Tallywhite dan anteknya. (Sally menghilang segera setelah mengantarnya ke Swan.) Mereka mendiskusikan cuaca dan aturan permainan kriket serta kelebihan Trinity College melawan Trinity Hall di Cambridge. Mereka kemudian pindah ke manfaat air asin untuk kesehatan, kesulitan mendapatkan es yang enak di musim panas, dan apakah harga nanas yang tinggi akan memengaruhi kepopuleran jeruk dan lemon. Pada pukul satu pagi, George curiga Robert Tallywhite tidak sepenuhnya waras, dan pada pukul dua ia yakin tentang itu. Pukul tiga, ia akhirnya berhasil pergi, tapi tidak sebelum “tanpa sengaja” menyikut rusuk salah satu kawan bertubuh besar Tallywhite. Juga ada goresan di tulang pipi kirinya, yang asalnya tidak bisa George ingat dengan pasti. Yang terburuk dari semua, pikirnya sambil menaiki anak tangga Manston House dengan susah payah, ia meninggalkan Billie. Ia tahu malam ini penting untuk gadis itu. Sialan, malam ini penting untuknya. Hanya Tuhan yang tahu apa pendapat Billie tentang sikapnya. “George.” George terhuyung kaget saat memasuki kamarnya. Billie berdiri tepat di tengah-tengah ruangan dalam mantel tidur. Mantel tidur. Mantel itu diikat longgar, dan George bisa melihat sutra persik halus gaun tidurnya mengintip dari balik mantel. Gaun itu tampak sangat tipis, nyaris tembus pandang. Seorang pria bisa melarikan kedua tangannya di atas sutra seperti itu dan merasakan panas kulit menembus keluar. Seorang pria mungkin berpikir ia memiliki hak untuk melakukannya, dengan Billie berdiri hanya satu setengah meter dari tempat tidurnya. “Apa yang kaulakukan di sini?” tuntutnya. Sudut-sudut bibir Billie menegang. Dia marah. Bahkan, mungkin George akan mengatakan dia tampak murka dan memesona. “Aku menunggumu,” kata gadis itu. “Aku sudah menduga,” George menarik cravat-nya. Kalau melepas pakaian di depan Billie membuat gadis itu terganggu, itu masalah Billie, George memutuskan. Gadis itu yang memasuki kamar tidurnya. “Apa yang terjadi denganmu?” tuntut Billie. “Sesaat kau memaksakan diriku pada Mr. Coventry yang malang—” “Aku tidak akan terlalu mengasihaninya,” omel George. “Dia mendapatkan dansaku.” “Kau memberinya dansamu.” George terus berusaha membuka cravat-nya, akhirnya menariknya lepas dengan satu sentakan terakhir. “Aku tidak melihat bahwa aku punya banyak pilihan,” ia melempar sepotong kain linen yang kini terkulai lemas ke kursi. “Apa maksudmu?” George berhenti, senang karena saat itu ia memunggungi Billie. Ia memikirkan Lord Arbuthnot, tapi tentu saja Billie tidak tahu—dan tidak boleh tahu—tentang urusan mereka. “Aku tak bisa melakukan yang sebaliknya,” ia terus mengarahkan mata ke titik acak di dinding, “mengingat kau yang memintanya berdansa.” “Aku tidak secara persis memintanya.” George menoleh ke belakang. “Tak ada bedanya, Billie.” “Baiklah,” Billie bersedekap, “tapi aku juga tidak melihat bahwa aku punya banyak pilihan. Musik sudah mulai dimainkan dan kau hanya berdiri di sana.” Tidak ada yang bisa didapatkan dari mengingatkan bahwa ia sudah akan menuntun gadis itu ke lantai dansa ketika Lord Arbuthnot tiba, jadi George menahan diri. Mereka saling memandangi untuk waktu yang lama dan menegangkan. “Seharusnya kau tidak di sini,” akhirnya George berkata. Ia duduk dan melepas sepatu botnya. “Aku tidak tahu harus ke mana lagi.” George mengamati Billie dengan tajam, dengan tegas. Apa yang maksud gadis itu? “Aku mencemaskanmu,” kata Billie. “Aku bisa mengurus diriku sendiri.” “Aku juga,” balas Billie. George mengangguk menerima balasan itu, kemudian mengalihkan perhatian ke mansetnya, mendorong renda halus Belgia ke belakang sehingga jemarinya bisa mendorong kancing-kancing melewati lubangnya. “Apa yang terjadi malam ini?” ia mendengar Billie bertanya. George memejamkan mata, menyadari Billie tidak bisa melihat ekspresinya. Itu satu-satunya alasan ia membiarkan dirinya mendesah lelah. “Aku bahkan tidak tahu harus memulai dari mana.” “Dari awal sudah cukup.” George menoleh ke arah Billie, tak bisa menghentikan senyuman masam yang melintas di bibirnya. Benar-benar khas Billie mengeluarkan pernyataan seperti itu. Namun ia hanya menggeleng dan berkata dengan nada lelah, “Tidak malam ini.” Billie bersedekap. “Demi Tuhan, Billie, aku lelah.” “Aku tak peduli.” Itu membuat George tersentak, dan sejenak ia hanya bisa tertegun, mengerjap-ngerjap seperti burung hantu tolol. “Di mana kau tadi?” tuntut Billie. Dan karena kebenaran selalu yang terbaik bila keadaan memungkinkan, George memberitahunya, “Di kedai minum.” Kepala Billie tersentak ke belakang dengan kaget, tapi suaranya terdengar dingin saat berkata, “Baumu memang seperti itu.” Itu membuat George tertawa muram. “Benar, bukan?” “Kenapa kau berada di kedai minum? Apa yang mungkin kaulakukan di sana yang lebih penting daripada—” Billie menghentikan dirinya dengan terkesiap ngeri, membekap mulut dengan sebelah tangan. George tidak bisa menjawab, jadi ia tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada satu hal pun di dunia yang lebih penting daripada Billie. Tapi memang ada hal-hal yang lebih penting daripada berdansa dengan gadis itu, tak peduli betapa George menginginkannya. Adiknya hilang. Mungkin tugas tak masuk akal malam ini tidak ada hubungannya dengan Edward. Sial, George yakin tidak ada. Bagaimana mungkin? Edward menghilang di daerah liar Connecticut, dan ia berada di London, membawakan sajak kanak-kanak untuk orang gila. Tapi ia diminta oleh pemerintahnya untuk menjalankan tugas tersebut, dan lebih penting lagi, ia sudah berjanji akan melaksanakannya. George tidak merasakan penyesalan dalam menolak Lord Arbuthnot bila pria itu datang lagi dengan tugas bodoh lain. Ia tidak memiliki watak yang tepat untuk mengikuti perintah dengan membabi buta. Tapi ia menyetujuinya kali ini, dan ia telah melaksanakannya. Keheningan di kamar semakin berat, kemudian Billie, yang berbalik memunggungi George, memeluk dirinya sendiri dan berkata dengan suara yang sangat lirih. “Sebaiknya aku tidur.” “Apa kau menangis?” George cepat-cepat berdiri. “Tidak,” jawab Billie terlalu cepat. George tidak bisa menahannya. Ia melangkah maju bahkan tanpa menyadarinya. “Jangan menangis,” katanya. “Aku tidak menangis!” Billie tersedak. “Tidak,” katanya lembut. “Tentu saja tidak.” Billie menyeret punggung tangannya dengan tidak elegan ke hidung. “Aku tidak menangis,” dia memprotes, “dan aku jelas tidak menangis karenamu.” “Billie,” kata George, dan sebelum ia sadar gadis itu telah berada dalam pelukannya. Ia mendekap Billie ke jantungnya, dan membelai punggung Billie sementara satu demi satu air mata gadis itu jatuh dari kedua mata. Billie menangis tanpa suara, yang sepertinya entah mengapa tak terduga. Billie tak pernah melakukan apa pun setengah-setengah, dan kalau dia akan menangis. George mengira gadis itu akan melakukannya dengan sedu sedan keras. Dan saat itulah George menyadari—Billie mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak pernah menangis. George telah mengenal Billie selama 23 tahun, dan George tak pernah melihatnya menitikkan air mata. Bahkan saat pergelangan kakinya terkilir dan harus memanjat menuruni tangga sendiri, dia tidak menangis. Sejenak dia terlihat seolah mungkin akan menangis, tapi kemudian dia menegakkan bahu dan menelan rasa sakitnya, lalu melanjutkan hidup. Tapi sekarang dia menangis. George-lah yang membuatnya menangis. “Aku benar-benar minta maaf,” gumamnya ke rambut gadis itu. Ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan secara berbeda, tapi sepertinya tidak penting. Billie menangis, dan setiap sedu sedannya berisi suara hati George yang patah. “Tolong jangan menangis,” katanya, karena ia tidak tahu harus berkata apa lagi. “Semua akan baik-baik saja. Aku berjanji, semua akan baik-baik saja.” George merasakan Billie mengangguk ke dadanya, gerakan kecil, tapi entah bagaimana cukup untuk memberitahu George gadis itu telah melewati titik kritis. “Kau lihat,” ia menyentuh dagu Billie dan tersenyum saat akhirnya gadis itu mendongak. “Sudah kubilang, semua baik-baik saja.” Billie menarik napas gemetar. “Aku mengkhawatirkan keadaanmu.” “Kau khawatir?” George tidak bermaksud terdengar senang, tapi ia tak bisa menahannya. “Dan marah,” lanjut Billie. “Aku tahu.” “Kau pergi,” kata Billie lantang. “Aku tahu.” George takkan membuat alasan. Billie berhak mendapatkan lebih baik daripada itu. “Kenapa?” gadis itu bertanya. Dan ketika George tidak menjawab Billie keluar dari pelukannya dan mengatakannya lagi. “Kenapa kau pergi?” “Aku tak bisa memberitahumu,” katanya menyesal. “Apa kau bersama wanita itu?” George tidak pura-pura tidak mengerti. “Hanya sebentar.” Hanya ada satu tempat lilin bercabang tiga di kamar, namun ada cukup cahaya sehingga George bisa melihat rasa sakit melintas di wajah Billie. Gadis itu menelan ludah, gerakannya bergetar melewati lehernya. Dari caranya berdiri, dengan kedua lengan memeluk pinggang dengan sikap protektif… Billie mungkin sedang mengenakan baju zirah. “Aku tidak akan berbohong padamu,” kata George pelan. “Aku mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, tapi aku tidak akan berbohong.” Ia melangkah maju, tatapannya menusuk mata Billie sementara ia bersumpah. “Apa kau mengerti? Aku tidak akan pernah membohongimu.” Billie mengangguk, dan George melihat sesuatu berubah di wajah Billie. Sorot mata gadis itu melembut, lebih cemas. “Kau terluka,” katanya. “Tidak terlalu parah.” “Tapi tetap saja…” Billie mengulurkan tangan ke wajah George, tangannya berhenti beberapa senti dari tujuannya. “Apa seseorang memukulmu?” George menggeleng. Mungkin ia mendapatkan goresan itu saat dibujuk untuk menikmati segelas bir dengan Tallywhite. “Aku tidak ingat, sungguh,” katanya. “Ini malam yang sangat aneh.” Bibir Billie terbuka, dan George bisa melihat gadis itu ingin bertanya lebih lanjut, tapi sebaliknya dia berkata dengan sangat lembut, “Kau tak pernah berdansa denganku.” Mata George menatap matanya. “Aku menyesalinya.” “Aku ingin… aku berharap…” Bibir Billie dirapatkan saat menelan ludah, dan George menyadari ia menahan napas, menunggu gadis itu melanjutkan. “Kurasa tidak…” Apa pun itu, Billie tidak bisa memberanikan diri mengatakannya, dan George menyadari ia harus bersikap seberani gadis itu. “Rasanya menyakitkan,” bisik George lirih. Billie mendongak, kaget. George mengambil tangan Billie dan mengecup telapak tangannya. “Apa kau tahu betapa beratnya memberitahu Freddie Coventry untuk berdansa denganmu? Seperti apa rasanya melihatnya memegang tanganmu dan berbisik di telingamu seolah dia memiliki hak untuk berada di dekatmu?” “Ya,” sahut Billie lembut. “Aku tahu persis.” Kemudian, saat itu, semua menjadi jelas. Hanya ada satu hal yang bisa George lakukan. Ia melakukan satu-satunya hal yang ia bisa. Ia mencium Billie. Bagikan ini: TwitterFacebookWhatsAppLinkedInSurat elektronik 3 April 2020 in Adult, Because of Miss Bridgerton, Historical Romance, Julia Quinn, Romance, Terjemahan. Pos-pos Terkait Because of Miss Bridgerton (Bab 15) Because of Miss Bridgerton (Bab 13) Because of Miss Bridgerton (Bab 14) Navigasi tulisan← Because of Miss Bridgerton (Bab 21)Because of Miss Bridgerton (Bab 23) → Satu pemikiran pada “Because of Miss Bridgerton (Bab 22)” Ping balik: Because of Miss Bridgerton | BACA NOVEL ONLINE Tinggalkan Balasan Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai * Komentar Nama * Email * Situs Web Beri tahu saya komentar baru melalui email. Beritahu saya pos-pos baru lewat surat elektronik. ATTENTION Mohon Maaf,,, Tidak menerima permintaan pdf untuk cerita apa pun yang sudah di up di blog ini. Terima kasih ^^ Cari Cari … You can contact me via e-mail = idanoor91@yahoo.co.id DM instagram = @tokobukuida Pembayaran via BCA / OVO Statistik Blog 15.043.494 gomawo ^^ Halaman ABOUT ME! DAFTAR ISI FREE DOWNLOAD EPUB ENGLISH FREE DOWNLOAD KOMIK HQ TERJEMAHAN Ikuti Blog melalui Email Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang pos baru melalui surat elektronik. Bergabunglah dengan 2.627 pengikut lainnya Masukkan alamat email Anda Ikuti Me on instagram, for more ebook ^^ Arsip Arsip Tulisan Terakhir After Ever Happy (After #4) – Anna Todd HIATUS Because of Miss Bridgerton (Epilog [End]) Because of Miss Bridgerton (Bab 24) Because of Miss Bridgerton (Bab 23) Komentar Terbaru DyaNi pada Mirror Image Megaria tondano pada After Ever Happy (After #4) –… Utami pada Fifty Shades of Grey (Bab 1) Yohan pada Kiro’s Emily (Rosemary B… Mimi pada Mirror Image (Epilog [End]) 1Night Stand Abbi Glines Adult After After Ever Happy After Series After We Collided After We Fell Anna Todd Author A Whole New Light A Will and A Way Bachelor Blogs Bared to You BDSM Beautiful Beautiful Bastard Beautiful Beginning Beautiful Bitch Beautiful Bombshell Beautiful Boss Beautiful Player Beautiful Secret Beautiful Stanger Because of Miss Bridgerton Bedded by The Boss Bittersweet Rain Captivated by You Carly Phillips Chance Christina Lauren Colleen Hoover Come Lie with Me Contemporary Romance Crossfire Dan Brown Deception Point E. L. James Emma Darcy Entwined with You Erotis Event Fade Fade into Always Fade into Me Fade into you Fallen Too Far Fifty Shades Fifty Shades Darker Fifty Shades Darker as Told by Christian Fifty Shades Freed Fifty Shades of Grey Fifty Shades of Grey as Told by Christian Forever Too Far Frederica Georgette Heyer Girl in a Vintage Dress Giveaway Harder We Fade Harlequin Historical Romance Johanna Lindsey Julia Quinn Kate Dawes Kate Richards Katie Ashley Kiro's Emily Kiss Me if You Can Linda Howard Long Time Coming Louisiana Liaisons Love Me if You Dare Low Pressure Lynda Chance Madame Eve's Gift Malory Family Manhattan Merger Michelle Reid Mira Lyn Kelly Mirror Image Monica Murphy Mystery Never Too Far Nicola Marsh Nora Roberts November 9 One More Chance One Night Stand One Week Girlfriend One with You Open Order Opini PDF Perfection Rebecca Winters Reflected in You Romance Rosemary Beach Rush Too Far Sandra Brown Sandra Marton Second Chance Boyfried Series Simple Perfection Sunny Chandler's Return Sylvia Day Tak Berkategori Take a Chance Terjemahan Terri Anne Browning The Brazilian's Blackmailed Bride The Convenient Marriage The Disobedient Virgin The Mister The Party The Proposal The Proposition The Ramirez Bride The Rocker The Rocker That Holds Me The Rocker That Savors Me The S Before EX The Virgin and The Playboy Three Broken Promises Thriller Too Far Twisted Perfection Ugly Love Up In Flames You Were Mine Blog di WordPress.com. Tema: Expound oleh Konstantin Kovshenin.