webnovel

Tsabitha Penyihir Berdarah Campuran

12 tahun yang lalu seperti mimpi buruk seumur hidupku. Meski sudah begitu lama, bayangan itu masih sangat jelas. Tepat saat peluru menembus kepala temanku, lalu dia terjatuh di depanku. Bingung, takut, dan entah perasaan apa lagi yang bercampur aduk di kepalaku. Aku tidak tahu harus bagaimana saat itu, hanya menangis. Setelah 12 tahun kejadian itu berlalu, setiap kali bayangan itu muncul, perasaan yang sama masih aku rasakan. Aku seolah tidak bisa mengubah apa pun, meskipun kejadian itu berulang kali terjadi di depanku. . . Aku menyusuri jalan setapak menuju bagian ujung. Dingin dan gelap tanpa penerangan, ditambah dinding kayu yang dibuat mengitari tempat ini menghalangi cahaya luar yang masuk. Sesampainya di satu bagian aku meletakkan buket lily putih yang sudah aku bawa, tepat di atas sebuah batu marmer putih bertuliskan nama ‘Zie’. “Aku pulang,” lirihku. Aku duduk di sampingnya, mengeluarkan beberapa kue dan dua buah susu kotak kesukaan kami. “Bagaimana keadaanmu di sana? Apa kamu baik? Apa kamu makan teratur?” aku mengusap nisan itu lembut. “Tunggu aku,” bisikku. ____________________________ Tsabitha And The Naughty Cat ************************ Updates at 08.00, 11.00 dan 20.00 WIB ************************ #Meet me on instragram: bluehadyan

dewisetyaningrat · Fantasia
Classificações insuficientes
401 Chs

Bunyi Langkah Yang Aneh

Usai mengirimkan revisi program yang aku buat, aku memikirkan kembali perkataan Emma tadi pagi. Banyak pertanyaan memenuhi kepalaku. Aku ingin menghubunginya, tapi menurutku ada orang lain yang mungkin lebih tahu mengenai yang aku alami hari ini. Ku ambil ponselku dan mulai mengirim pesan.

"Ery, apa kamu tahu tentang anjing putih?," aku memilih menghubungi Erick. Aku mengirim pesan singkat padanya, menanyakan anjing putih yang sering aku lihat. Ada hal aneh mengenai anjing itu, firasatku berkata demikian.

"Anjing apa?," balas Erick.

"Kamu ingat, waktu kamu ajak aku ke rumah Tuan Stone?. Saat itu, aku melihat anjing putih di sana. Lalu paginya—saat aku pergi ke pasar, aku melihat anjing yang sama. Emma melihat juga di rumahku, pagi ini. Aku merasa itu adalah anjing yang sama. Tapi sedikit mustahil, kan?. Dari rumah lama kesini, butuh waktu 2 jam naik bus. Bagaimana mungkin seekor anjing bisa sampai secepat itu dengan berjalan kaki?," jelasku.

"Seperti apa?," balas Erick, singkat.

Aku mengerutkan dahi, "Apa?," balasku. Bingung.

"Anjingnya. Memang apa lagi?," Erick terlihat jengkel.

"Santai, bos! Jangan marah-marah," timpalku. Aku terkekeh sejenak, sebelum kembali mengirim balasan, "Yang kulihat, bulunya putih, matanya biru. Emma juga melihat anjing dengan ciri-ciri yang sama pagi ini," jelasku.

Tak ada balasan Erick cukup lama, hingga akhirnya aku kembali mengirim pesan, "Ery?,".

"Sorry, aku lagi kerja soalnya," dia mengirim pesan kedua, "Tha, pernah dengar tentang cerita ruh anak-anak yang meninggal?,".

"Tidak tahu" balasku cepat.

"Orang-orang percaya, jika seorang anak meninggal, ruh mereka tidak akan diadili untuk semua tindakannya selama hidup. Mereka yang ruhnya masih suci, akan dibimbing seekor anjing putih menuju akhirat. Intinya, mereka masih murni. Jadi, mereka tidak akan menerima hukuman seperti orang yang sudah dewasa. Aku tidak ingat cerita lengkapnya. Tapi secara garis besar, anjing putih adalah pembimbing ruh anak-anak yang telah meninggal menuju akhirat," Jelas Erick.

Jujur, aku bingung membaca pesan Erick, "Lalu, apa hubungannya dengan yang kualami?," tanyaku bingung.

"Tidak perlu terlalu dipikirkan. Anggap saja, apa yang kamu alami itu sebagai kebetulan. Bisa saja 'kan, itu anjing yang berbeda, tapi mereka sangat mirip? Itu bisa saja terjadi bukan?," balasan Erick tak mengurangi rasa bingungku.

Aku menghela nafas panjang. Kubaca kembali satu-persatu pesan dari Erick, dan itu sama sekali tidak membantuku. Aku memang tidak berpikir bahwa anjing itu memiliki maksud yang jahat. Hanya saja, aku merasa anjing itu terus membuntutiku.

Emma meneleponku. Dia mengatakan melihat anjing itu lagi di depan rumahku. Aku yang saat itu berada di kampus dan berniat untuk pulang, segera mempercepat laju sepedaku. Benar saja, wanita itu sedang ada di halaman rumahku, memberi makan anjing itu.

"Dia jinak sekali" ucapnya, sambil mengelus kepala anjing putih itu.

Aku memperhatikan anjing itu dengan seksama. Setelah puas, kutarik lengan Emma untuk segera masuk ke rumahku, sementara anjing itu masih saja asyik memakan makanan yang diberikan sahabatku.

"Em, aku mau tanya, tapi tolong jangan tertawa, " Emma memberikan isyarat mempersilahkan, "Apa anjing bisa naik bus?," tanyaku.

Kedua alis Emma tertekuk, sepertinya dia tidak memahami maksudku, "Bisa," jawabnya yakin, "Itu tergantung pemiliknya. Jangankan naik bus, naik pesawat pun bisa, jika pemiliknya mengajaknya".

Rasanya begitu jengkel mendengar jawaban Emma. Sepertinya, dia berusaha mempermainkanku di saat aku sedang serius.

"Bukan itu maksudku, Emm," Ucapku jengkel, "Dia naik sendiri tanpa pemiliknya," jelasku.

Menekan setiap suku kata, "Anjing itu, aku yakin adalah anjing yang sama dengan yang kulihat waktu di pasar. Ketika aku di rumah lama, dia juga ada di kediaman Tuan Stone. Kamu bayangkan, perjalanan dari tempat tinggal lamaku kesini itu membutuhkan waktu 2 jam naik bis, akan sangat lama jika anjing itu jalan kaki. Tapi hari ini, dia sampai di sini sendiri. Dia seperti membuntutiku," aku benar-benar frustasi menjelaskan maksudku,

"Sebenarnya, alasanku pulang bukan hanya karena rumah lamaku membuatku mengingat semua kejadian itu. Jujur, aku sering sekali mendengar bunyi ketukan-ketukan yang aneh. Aku merasa ada yang terus mengikutiku dan termasuk, aku berkali-kali melihat anjing itu,".

Aku melihat keluar melalui jendela di ruang tamu dan aku masih mendapati anjing putih itu menatap lurus ke arah pintu rumahku, "Ada yang aneh dengan makhluk itu," lirih ku.

Aku menatap Emma dengan tatapan memohon, "Em, apa aku boleh menginap di tempatmu semalam saja?," aku mendapati dia terkejut dengan permohonanku, "Malam ini saja," aku memasang wajah memelas, "Ada itu," tanganku menunjuk keluar, memberikan isyarat anjing yang ada di luar, "Dia terus saja menatap ke arah pintu dengan pandangan yang aneh," aku benar-benar berharap dia memahami maksudku.

"Kamu sudah 27 tahun, Tha. Kenapa takut dengan hal seperti itu?. Halloo! Hantu itu tidak ada" ucapnya ketus, sambil berkacak pinggang.

"Sekali saja, Em. Aku merasa tidak nyaman," aku mendekat ke arah Emma, "Seperti ada yang sedang mengikutiku," bisikku, "Aku terus saja mendengar bunyi ketukan, itu yang menyebabkan aku pulang. Tadi, di lab komputer, aku juga melihat jejak darah di meja yang ada di sampingku. Seperti bentuk jejak kaki kucing atau anak anjing, karena kecil" kujelaskan lebih detail tentang keresahanku padanya, berharap dia memahami.

Setelah mengalami perdebatan cukup lama, akhirnya Emma mengalah. Dia memilih menginap di rumahku, selepas menitipkan putrinya ke rumah ibunya. Wanita itu sampai di tempat tinggalku pada jam 10 malam. Dia mengeluh banyaknya pembeli hari ini, lalu berbaring di sofa ruang tamu. Aku yang saat itu baru saja pulang belanja mengatakan bahwa akan membantunya besok, karena program yang aku buat sudah selesai.

Emma memandangiku menyelidik, "Kamu berani belanja keluar, tapi takut di rumah sendirian?," ucapnya sedikit ketus.

Aku hanya mendengus kesal dengan orang satu ini. Aku tidak berani di rumah. Karena itu, aku keluar dan berkerumun dengan banyak orang, itu membuatku merasa aman.

"Apa kamu melihat anjing itu di luar, saat datang kesini?," tanyaku ingin tahu.

"Tidak," jawabnya acuh, sambil mengotak-atik ponselnya, " Tapi, tadi aku melihat seseorang berdiri di depan pintu, sepertinya dia ingin bertamu. Saat aku memanggilnya, dia justru pergi,".

"Apa?," tanyaku kaget. Aku mendekat ke arah Emma, "Seperti apa?," aku ingin tahu.

"Laki-laki, mungkin usianya 20 an, tinggi dan memakai kemeja hitam," Jelasnya sambil mengingat-ingat, "Kulitnya agak pucat dan cara berjalannya sedikit aneh, menurutku,".

"Siapa, ya?" aku berusaha mengingat teman-temanku yang mengetahui alamat rumahku, "Setahuku, kebanyakan adalah perempuan yang mengetahui alamatku. Dan, jika laki-laki, maka hanya ada 2 orang, kakakku dan Erick. Aku yakin itu bukan kakak, karena orang itu tinggi, " tinggi badanku dan kakakku tidak jauh berbeda, aku 160 cm dan dia 168 cm.

"Aku yakin itu bukan kakakmu. Dia tinggi, Tha. Mungkin 180 an," Emma diam sejenak, "Tapi jujur, dia memiliki bunyi langkah kaki yang aneh," jelasnya.