Vino malam ini sendiri, semua temannya tidak menemaninya di sana. Ocehan itu membuat Vino tidak ingin ambil pusing, dia menegaskan untuk jangan dulu menghubunginya hingga keadaan kembali dingin. Dia memilih untuk meluangkan waktu hingga semuanya redam.
Vino memijat pangkal hidungnya. Masalah temannya harus dia lupakan sekejap, untuk sekarang sepertinya Vino harus mencari tahu siapa orang yang berani menerornya saat di jalan kemarin. Dia harus bertindak lebih tegas, Vino sejenak melupakan takutnya yang hanya bisa membuat orang yang merencakananya senang.
"Gue ... bakal bunuh orang itu." kedua tangannya mengepal kuat, Vino bersila tepat di atas kasur big size nya. Dia menatap lurus, kaca yang berada jauh d depannya menyiratkan aura hitam. Vino sedang tidak terkendali, dia menyembunyikan dari semua temannya. Vino adalah sosok hitam yang sesungguhnya, dia tidak akan membiarkan teror itu kian menakuti para sahabat terbaiknya.
Pandangan Vino semakin lama tanpa ada kedipan. Cowok itu seolah sedang memindai dirinya yang nampak berbeda dari segi manapun, dia tidak aneh juga heran. Vino biasa dengan wajahnya yang sekarang nampak seram, hanya dia yang mengetahui. Vino tidak tahu raut marah bagaimana saat dia berada di kelompok temannya. Namun yang dia hapal, hanya saat ini lah sosok jati dirinya yang benar.
Vino harap, sih semua temannya tidak akan pernah melihat. Namun tergantung mereka yang menilai, Vino yang baik dan menjadi pelindung, atau mungkin .... Vino dengan wajah pucat dan kedua bola mata yang hitam.
Dia menghela napas halus, mengalihkan pandangan ke arah sisi lain. Vino harus beristirahat, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Besok dia harus kembali sekolah seperti biasanya, walau dia yang meminta waktu pada temannya namun Vino juga harus melaksanakan kegiatannya yang menjadi seorang pelajar.
Vino butuh strategi untuk menjalaninya sendiri. Sesekali dia bertanya pada dirinya, apakah bisa untuk berjalan di atas ketakutan? Rasa takut yang mulai kembali Vino rasakan setelah terjadinya kecelakaan, walau saat dia berusia satu tahun. Tidak ingat memang, namun Vino pernah mimpi buruk saat Mama nya bercerita tentang terjadinya mobil mereka yang terpental karena ada sebuah truk yang melaju kencang. Beruntung semuanya selamat dan Jenifer bersyukur, putera satu-satunya masih bisa dia peluk dan lindungi hingga sekarang.
"VINO ... TOLONGG!!!"
Cowok itu mendadak tremor tatkala mendengar teriakan yang memanggil namanya. Vino baru saja masuk alam bawah sadar, namun di kejutkan oleh suara itu menjadikannya terbangun dan beringsut duduk dengan kilat.
Napasnya memburu di sertai keringat dingin yang bercucuran dari pelipisnya, Vino berusaha menetralkan sambil melirik setiap sudut kamarnya yang luas. Vino menelan ludah kasar, mengusap wajahnya sekilas.
"Mimpi buruk itu lagi. Siapa yang teriak dengan lantunan yang sama? Apa .... gue sendiri?"
*****
David menghampiri Vino yang terlihat sedang meminum jus semangka di kantin sekolahnya, dia menepuk bahu cowok itu dengan semangat sambil menyapa, "Woy, Bro!"
Vino hampir saja tersedak kalau dia tidak bisa menahan di mulutnya. "Apaan." ketusnya menjauhkan sedikit jus itu.
"Hehe, maaf. Gue ga sengaja, Vin. Lo masih marah? Masih ga mood?" David seolah mengerti, bahkan Vino menghindar dari semua temannya yang saat ini mereka pun berada di ruangan yang sama. Vino cukup sadar diri, semua terjadi pun karena olehnya. Vino tidak menyalahkan Boby yang keras kepala. Di banding dengan itu semua mungkin lebih baik Vino diam seorang diri, dia tidak ingin keributan kemarin itu kembali mengahncurkan harinya.
"Engga."
"Ga perlu nyangkal. Boby, minta maaf banget. Dia tahu dia yang salah disini, lo cuma mau yang terbaik buat yang lainnya."
Vino sebenarnya tidak marah juga pada cowok itu. Dia memang hanya ingin sendiri, menyegarkan pikiran yang dua hari belakangan ini terasa penuh dengan hal mistis. Jika Boby dan Geri sudah termasuk, Vino yang sudah duluan mengalaminya.
"Gue juga minta maaf." Vino bukan cowok yang egois, terkadang memang emosinya tidak terkendali sampai harus membalas dengan otot. Vino sama dengan yang lainnya, namun dia paling sabar dan bisa meredakan darah yang mengalir cepat.
David menepuk bahu Vino tiga kali. "Lo emang yang terbaik bagi gue." ucapnya.
Vino tersenyum tipis, dia mengangguk samar. Mungkin David yang kini meluluhkan hati Vino, dia juga tidak bisa melihat Vino berjalan sendirian tanpa ada mereka yang selalu ada di sampingnya. David kasihan, dia paling tidak tega di antara semua temannya. Karena David juga dekat dengan Vino selain Geri.
Mereka semua dekat, namun tidak begitu melekat seperti dua cowok itu. Vino bukannya menghindar atau tidak ingin dekat dengan sisa temannya, dia tidak mempermasalahkan hal itu. Vino menganggap semuanya sama. Sandy, Boby maupun Tama, semuanya tidak ada yang Vino bandingkan. Mereka akan tetap menjadi teman dan sahabat yang akan menemaninya selama hidup.
Merasa David mengobrol lama, teman yang lain kini menghampiri dua cowok di sana.
"Hello, Bro." Geri mengapungkan kepalan tangannya yang di balas segera oleh Vino, tos ala mereka saat awal bertemu. Boby ayng melihat itu menghela napas dalam, dia kembali mengingat sikapnya saat kemarin pada Vino.
"Lo ga pa-pa 'kan, Bob?" Vino merasa ada yang aneh, Boby menatap sambil menggeleng cepat. Cowok itu mendekat dan duduk di sebelah Vino.
"Maafin keegoisan gue, Vin." ucap Boby, Vino memeluk cowok itu sedikit menepuk punggung Boby pelan, dia berusaha untuk tidak membuat cowok itu bersedih.
"Maafin gue, Vin. Lo boleh apain gue asalkan ga lagi menyendiri kayak tadi." Boby terisak, Vino tidak sangka cowok itu menangis sekarang. Apa Vino kemarin sudah keterlaluan padanya? Karena Vino sedang emosi menyebabkan Boby menjadi salah?
"Sebelum lo gini juga gue udah maafin. Ini murni bukan kesalahan dari lo, Bob. Tapi gue sendiri. Gue juga minta maaf." dia melepaskan pelukannya, sebelah tangan kanannya mengusap kepala Boby gemas. "Udah. Ga usah mewek, kayak cewek aja." kelakarnya.
Boby langsung saja menepis tangan Vino, dia sedikit cemberut. "Gue emang kalo jadi cewek pasti naksir lo. Sayang tapi lo ga mau ama cewek-cewek yang udah nembak lo ratusan kali."
"Bukan tipe gue."
Geri tersenyum lebar. "Tipe kamu kayak aku 'kan, Mas?" dia belaga seperti perempuan centil, tangan lentik yang mengibas angin sambil kedua matanya yang berkedip beberapa kali.
Tama yang berada di sebelahnya menatap jijik. "Najis yang ada!"
Semuanya tertawa hingga membuat telinga murid yang sedang berada di kantin terasa sakit, beruntungnya mereka mempunyai teman seperti Vino. Bagaimana pun kesalahannya jika ada satu temannya itu pasti tidak akan pernah menjadi masalah.
"Eh, iya. Gue sebenernya mau cerita soal mimpi ... tapi ada takutnya karena itu mimpi buruk." ucap Sandy yang terlihat resah.
Vino mengernyit. "Coba aja cerita, lagian ga mungkin terjadi juga 'kan?"
Tama mengangguk. "Hooh, soal apa emang?"
Sandy menggigit kecil bibir bawahnya, dia nampak masih ragu untuk berterus terang.
"Ga pa-pa. Kita dengerin." sahut Vino yang penasaran.
Sandy menghembuskan napasnya halus sebelum menjawab, "Ini soal lo, Vin."
Semua menatap Vino bersamaan. Sandy sedikit menunduk saat mulutnya tidak bisa mengontrol, apa sekarang dia yang akan di jauhi?
"Gue kenapa, San?"
Sandy menelan ludahnya kasar dan menetralkan rasa takutnya. "Di mimpi itu gue lagi cari lo, dan saat gue masuk ke kamar lo yang gue lihat itu hanya .... kepala lo yang di gantung tanpa tubuh."