Finland kaget saat mengetahui mereka akan ke Madrid dengan menyetir.
"Jaraknya kan lebih dari 600 km dari sini....?" serunya dengan nada bertanya. Ia ingat dulu di Indonesia dari Jakarta ke Jogja yang hanya sekitar 500-an km perlu waktu belasan jam untuk bisa sampai.
"Jalan di Eropa beda dengan jalan di negerimu," kata Caspar seolah membaca pikiran Finland. "Dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam dan beristirahat untuk makan siang di rest area, kita bisa tiba di Madrid dalam waktu kurang dari 7 jam. Kita bisa berangkat pagi dan sampai di Madrid sore, langsung istirahat."
"Kau tidak capek menyetir begitu lama?" tanya Finland lagi.
"Pasti capek, makanya kau perlu memijatku begitu kita sampai di Madrid, jadi kita bagi tugas," jawab Caspar sambil tersenyum jahil.
"Kenapa kita nggak naik kereta seperti orang biasa?" tanya Finland.
"Orang biasa juga banyak yang menyetir seperti ini. Pemandangannya bagus. Lagipula dari Madrid kita bisa lanjut ke Lisbon, Portugis dan dari sana baru pergi ke Paris. Nanti kalau kau mau naik transportasi umum bisa dipuas-puasin dengan Jean saja," komentar Caspar.
Ah ya, dibandingkan dengan Caspar, Jean adalah orang biasa. Tentu bepergian dengannya akan lebih normal, pikir Finland.
Mereka meninggalkan Barcelona sesudah sarapan dan melaju ke arah Madrid, ibukota negara Spanyol. Mereka tiba di Madrid saat hari sudah sore. Lalu lintas bagus dan perjalanan terasa santai. Finland tidak merasa lelah sama sekali. Mereka menginap di sebuah apartemen mewah di pusat kota dan menjelajah kota tua cantik yang dipenuhi bangunan-bangunan kuno itu selama beberapa hari.
Finland terpesona melihat istana kerajaan dan koleksi string kuartet Stradivarius yang ada di dalamnya. Seperti sebelumnya, mereka sangat santai dalam menikmati wisatanya, hanya ke satu tempat dalam satu hari, kecuali di hari terakhir mereka mampir di Retiro Park setelah dari Museum Prado karena letaknya yang sangat berdekatan.
"Spanyol dan Portugis pernah 'menjajah' negeriku," kata Finland. "Rasanya agak aneh datang ke sini dan melihat peninggalan peradaban tua mereka dan membayangkan masa ratusan tahun lalu ketika para pelaut Spanyol dan Portugis melayari lautan keliling dunia untuk mencari pulau rempah-rempah."
"Kau suka Madrid?" tanya Caspar.
"Aku menyukai kotanya, indah sekali. Barcelona juga... Terima kasih telah menunjukkannya kepadaku," jawab Finland.
"Aku senang kau suka."
Waktu berlalu seperti terbang ketika kita bersenang-senang. Seperti itu juga bulan madu yang dirasakan oleh Finland dan Caspar, tanpa terasa waktu dua minggu berlalu bagaikan mimpi. Mereka bersenang-senang di Madrid dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Lisbon di Portugis dan mampir di Sintra. Finland terpesona setiap harinya dengan hal baru yang dilihat dan dialaminya, dan Caspar senang menunjukkan hal-hal menarik dan menjelaskan berbagai hal yang diketahuinya tentang kota-kota yang mereka lewati dan sejarahnya.
Lisbon memiliki kontur berbukit-bukit dengan jalan yang sempit curam. Finland berhasil mengajak Caspar naik trem no. 28 yang legendaris dan beberapa trem lainnya yang melewati beberapa tempat bersejarah. Mereka juga menyempatkan diri makan di pujasera paling terkenal di Lisbon, yaitu Time Out yang berisi berbagai restoran dengan hidangan sangat enak sehingga sangat banyak pengunjung yang mengantri dan mereka terpaksa harus makan sambil berdiri.
"Burger saja bisa enak begini..." kata Finland kagum. Ia tertawa melihat Caspar yang tampak agak cemberut karena tidak berhasil menemukan kursi yang kosong.
Tempat itu ramai sekali. Kalau ia tidak berjanji kepada Finland untuk menjalani dua minggu ini seperti orang biasa, kedua pengawalnya yang mengawasi dari jauh sudah mengosongkan satu meja panjang yang besar hanya untuk mereka, supaya Finland dan Caspar bisa makan dengan tenang... Ugh.
Sejak negara-negara Eropa mengadakan perjanjian kerja sama dalam bentuk Uni Eropa, tidak ada lagi perbatasan di antara negara-negara anggota UE dan semua orang yang sudah masuk ke dalamnya bisa bergerak dengan bebas tanpa harus melewati imigrasi lagi. Itulah sebabnya setelah mendarat di Jerman dua minggu lalu, Finland bisa langsung ikut Caspar ke Spanyol dan kemudian Portugis lewat jalan darat tanpa melewati imigrasi. Semua terasa sangat mudah dan praktis.
Tanggal 14 Januari adalah hari terakhir mereka di Lisbon. Tadinya Finland mengira mereka akan terbang ke Paris pada tanggal 16, sehari setelah ulang tahunnya, tetapi ternyata Caspar memiliki ide lain.
"Aku ingin merayakan ulang tahunmu di kota cinta," kata Caspar saat membantu Finland membereskan koper mereka. "Aku nggak akan membiarkanmu menikmati Paris tanpaku."
Finland menatap Caspar dengan pandangan tidak percaya. Mengapa Caspar selalu seperti bisa membaca pikirannya? Baru minggu lalu Finland merasa sedih karena ia akan berada di Paris bukan dengan suaminya, melainkan dengan Jean.
Dari dulu memang ia bercita-cita bisa pergi ke Paris untuk mengunjungi Jean, tetapi karena sekarang ia telah menikah dan memiliki laki-laki yang dicintainya, hati Finland sedikit berharap ia juga bisa ke Paris bersama Caspar. Waktu Caspar mengatakan bahwa ia akan mengantar Finland, ia mengira mereka akan ke Paris tanggal 16 dan merayakan ulang tahunnya di Lisbon..
Ternyata Caspar membawanya ke Paris dua hari lebih cepat sebelum ia bertemu Jean.
Finland sangat terharu. Ia segera memeluk Caspar dan menciumnya. "Terima kasih!"
"Paris sangat dingin di waktu-waktu sekarang, kita harus kembali di musim semi biar kamu bisa menikmatinya lebih maksimal."
Caspar mengusap-usap rambut Finland dengan penuh kasih sayang. Jangankan berangkat ke Paris dua hari lebih awal, ia akan melakukan hal-hal jauh lebih besar daripada itu demi membuat Finland bahagia.
Ia senang melihat betapa banyak gadis itu telah berubah sejak mereka bertemu pertama kali. Kini Finland lebih banyak tersenyum dan lebih ekspresif dalam mengungkapkan perasaannya. Caspar merasa ia telah berhasil dalam misinya membuat gadis itu tersenyum.
Mereka mendarat di Paris di sore hari dan segera menuju ke pusat kota. Caspar memiliki banyak aset di Paris dan seperti di Singapura ia memilih tinggal di penthouse salah satu hotelnya demi kepraktisan. Finland hampir tak bisa menyembunyikan kekagumannya saat mereka masuk ke dalam penthouse itu untuk pertama kalinya.
Tempat ini jauuuuuh lebih cantik daripada penthouse Caspar di Hotel Continental. Desainnya klasik dengan berbagai ornamen dan perabotan kuno yang membuatnya serasa berada di dalam istana raja-raja Eropa di zaman dulu.
"Ini bagus sekali....!!" seru Finland sambil menekap mulutnya berusaha menahan desahan kagum yang tidak henti-hentinya.
"Kau bisa tinggal di sini selama di Paris," kata Caspar. "Aku akan kembali ke Jerman dan bekerja. Kau bersenang-senang dengan Jean, nanti kujemput tanggal 30."
"Kami tidak hanya akan berada di Paris selama 2 minggu. Jean akan mengajakku ke Belanda, Belgia, dan sekitarnya juga. Jadi aku sebenarnya tidak perlu tempat tinggal di sini." kata Finland.
"Tidak apa-apa, pakailah selama kau perlu." Caspar merentangkan tangan dan memeluk Finland, "Aku tahu sangat penting bagimu untuk melakukannya, agar kau dapat mengucap selamat tinggal dengan baik."
Finland mengangguk sedih.
"Terima kasih karena kau mengerti diriku."
Finland memang sedih karena ia harus berpisah dengan Jean, tetapi setidaknya ia akan memiliki kenangan dari 4,5 tahun persahabatan mereka dan dua minggu ke depan. Sementara Jean tidak akan memiliki apa-apa...
"Hari ini kita akan istirahat dan besok aku akan mengajakmu berjalan-jalan di kota." Caspar yang membaca kesedihan istrinya segera mengalihkan perhatiannya ke arah koper mereka. "Ayo kita keluarkan barang-barangmu dari koper dan atur seperti di rumah sendiri."
Karena Finland akan bepergian dengan Jean selama dua minggu ia hanya akan membawa satu koper kecil agar lebih praktis. Barang-barangnya yang banyak, dibelikan Caspar selama perjalanan mereka ke Jerman, Spanyol, dan Portugis akan disimpan di penthouse sampai nanti ia pulang. Caspar membantunya membereskan barang-barangnya lalu mengajaknya beristirahat di sofa sambil minum segelas port yang mereka bawa dari Lisbon.
Jam 7 malam seorang private chef dan beberapa pelayan naik ke atas dan menyiapkan hidangan makan malam untuk mereka. Jendela ruang makan yang tingginya dari lantai ke langit-langit menampilkan pemandangan menghadap Menara Eiffel yang cantik sekali ketika tirai dibuka ke samping. Lampu-lampu Menara Eiffel yang menyala cantik di hadapan mereka membuat pemandangan tampak sangat ajaib dan lagi-lagi Finland tak dapat menahan desahan kagum. Caspar sangat puas melihat lagi-lagi ia berhasil mengesankan gadis ini.
"Kau sepertinya suka sekali di sini. Apa sebaiknya kita pindah ke Paris saja?" tanya Caspar dengan nada menggoda. Ia dapat melihat wajah Finland yang tampak sangat bersemangat mendengar pertanyaannya, "Kita bisa hidup di sini atau berpindah-pindah keliling dunia. Aku sudah hidup di banyak negara dan semua memiliki pesonanya sendiri."
Finland mengangguk, "Kita punya waktu seumur hidup untuk itu..."
"Maksudmu seumur hidup...?" Caspar menatap Finland dengan pandangan bertanya, "Apakah kau akan memutuskan untuk meminum ramuan abadi itu?"
Finland membalas tatapannya dengan senyuman kecil, "Iya. Tapi tunggu setelah aku meninggalkan Jean dan memastikan dia baik-baik saja."
Caspar tampak sangat terkejut dan bahagia. Ia berharap Finland akan mau hidup abadi bersamanya, tetapi ia tidak menyangka gadis itu akan memutuskan secepat ini. Tadinya ia mengira harus menunggu selama paling tidak satu tahun.
Sebentar lagi Finland akan berulang tahun, tapi ia merasa seolah ialah yang mendapatkan hadiah.
"Aku senang sekali mendengarnya!" Caspar segera bangkit dari kursinya dan memeluk Finland. "Ini kabar bagus."
"Bagaimanapun dua minggu lagi Jean akan melupakanku. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menundanya. Mungkin lebih cepat lebih baik..."
"Aku setuju. Oh... aku sudah tidak sabar menunggu akhir bulan..." Caspar tak henti-hentinya menciumi Finland karena merasa sangat senang.
Beberapa menit kemudian ia baru menguasai diri dan kembali ke kursinya. Mereka melanjutkan makan dengan mood yang jauh lebih senang.
Setelah makan malam keduanya duduk menikmati pemandangan selama setengah jam sambil mengobrol ditemani segelas sampanye, baru kemudian beranjak tidur.
Malam itu Caspar memeluk Finland lebih erat dari biasanya. Ia sangat senang karena Finland sekarang sudah menjadi miliknya seratus persen dengan mengambil keputusan untuk mengikutinya seumur hidup, hidup abadi bersamanya.
Ia tak sabar menantikan masa depan mereka berdua, setiap hari selalu bersama hingga entah kapan.