webnovel

3. Other side

"Nal kamu dimana? Rapat lima menit lagi mulai tuh."

"Tunggu, bentar lagi aku nyampek," sambungan telepon ditutup secara sepihak. Aku sibuk memarkirkan mobil lalu bergegas ke ruang rapat di lantai tiga, rapat peluncuran karya baru dari penulis tetap perusahaan.

Rizal sudah menungguku di depan pintu ruangan, "Ngapain aja sih lo bisa telat gini?" Pertanyaannya tak ku pedulikan, aku lebih memilih melangkah masuk ke ruangan dan segera memulai rapat karena aku yang memimpin. Sambutan sebentar kepada karyawan dan meminta maaf atas keterlambatanku datang dilanjut rapat acara launching karya baru itu. Sebuah novel romansa islami yang kami minta akhirnya terbit juga walau sedikit terburu-buru dalam pengeditan, karena sudah mengantri karya-karya lain yang harus terbit tahun ini juga. Alhamdulillah, semua berjalan dengan baik.

"Tadi lo belum cerita kenapa bisa telat lima menit, nggak biasanya lo bro?" Rizal mengajakku ngopi di kafe sebelah kantor, tempat langganan kami. Aku mendesah sebentar sebelum memulai.

"Di jalan ketemu cewek sialan," jawabku singkat. Rizal menatap heran.

"Cuma itu?"

"Tadi kita hampir tabrakan, dia pake motor sambil bawa anak kecil mungkin adiknya, gue nggak tahu. Eh, tahu-tahunya dia nyalahin gue, dan... terjadilah cekcok selama lima menit deh, selesai,"

"Lo nggak minta maaf gitu sama cewek itu?"

"Ha? Minta maaf? Gue suruh dia berlutut dulu baru gue mau minta maaf," jawabku sinis lalu menyesap segelas kopi hitam tanpa gula milikku.

"Sadis banget lo jadi cowok, makanya nggak jodoh-jodoh," aku terdiam dengan ejekannya. Suasana jalanan terlalu ramai untuk siang hari, oto-oto besar berlalu lalang memenuhi jalanan yang tak selebar pacuan pesawat membuat sedikit kemacetan di satu sisi jalan.

"Lo kayaknya harus belajar banyak tentang cewek deh, nggak bisa lo dapetin cewek dengan cara sadis lo kek gitu. Nih aku ada satu buku buat lo, terserah lo mau baca atau nggak suatu saat lo pasti butuh ini," Rizal menyodorkan buku tebal bercover coklat keemasan, "Calon Suami Ala Rasulullah," aku mengerutkan kening menatapnya.

"Kenapa calon suami?"

"Sebelum lo jadi suami beneran, lo harus banyak baca tuh buku. Pada hakikatnya cowok itu pemimpin Nal, jadi lo harus tahu betul tugas-tugas pemimpin. Jangan samain peran suami dengan bos perusahaan, beda jauh. Apalagi masalah rumah tangga, itu berat bagi laki-laki, ya bayangin aja lo suruh ngasuh anak orang seumur hidup lo yang lo tu nggak pernah tahu dan seluruh kehidupannya tergantung sama lo, perumpamaannya kek gitu," aku semakin tak mengerti pembicaraan Rizal. 

Selama ini wanita yang tinggal di hatiku hanya satu, Diana, wanita cantik nan menawan, ia seorang dokter perinatologi di rumah sakit tempat ayahku bertugas. Aku mengenalnya ketika berkunjung ke rumah sakit untuk mengantar satu buku pesanan ayah. Ia kenal baik dengan ayah, Dokter Rais spesialis anak, karena ketika magang ayahku lah yang menjadi dokter residennya. 

Hanya pertemuan beberapa kali dengannya sudah membuat hatiku terpaut, entah bagaimana dengan hatinya ketika itu. Aku juga lebih sering berkunjung ke rumah sakit karena ayah selalu memintaku mengantar modul untuk para koasnya, dengan alasan lain aku bisa bertemu dengan dokter cantik itu hingga aku mengetahui letak ruangannya. Sampai saat ini ia masih menjadi milikku. Takdir yang akan menentukan kedepannya nanti.

"Oh iya Zal, gimana rencana pernikahanmu? Gue ditinggalin aja sih," aku mengalihkan pembicaraan. Rencananya asistenku itu hendak menikah di bulan ini, bulan lalu ia telah melaksanakan akadnya. Merasa membahas dirinya, ia langsung menengok ke arahku.

"Siap kok bos, tunggu aja dapet undangan sakral dari gue. Makanya baikin dulu tuh diri biar cewek nggak pada takut," ia terkekeh kemudian. Perihal Diana, Rizal memang tak tahu, sengaja aku tak memberinya kabar, belum saatnya. Menelisik dari saran Rizal, benar adanya, aku harus segera meminang Diana. Hubungan ku dengannya sudah satu tahun, lebih tepatnya teman, ia hanya menganggapku teman tak lebih tapi dalam hatiku berbeda. Ia wanita yang sangat menjaga diri, sedang aku sangat sadis pada kaum hawa, cueknya minta ampun.

Próximo capítulo