webnovel

7 - Pertemuan Pertama dengan Ayah

"Kenapa anda memanggil saya yang mulia?" tanya Claretta sembari menunduk sopan.

"Tunjukkan di mana kamarnya," balas Einhard menatap lurus pada Claretta.

"Tapi yang mulia anda-"

Einhard menyela, ia tidak ingin menerima bantahan lagi, "kalau begitu bicaralah padanya, atau ku bunuh seluruh prajurit yang menjaga."

Mendengar perkataan Einhard membuat Claretta bergidik ngeri, suaminya ini memang tidak main-main. Apa membujuk seorang anak harus dengan cara mengancam?

"Baik yang mulia, saya akan bicara pada tuan putri."

"Dan kau akan membiarkan ku berada di luar?" sahut Einhard merasa terinjak harga dirinya.

Claretta ingin sekali tertawa namun tertahan, jika ia tertawa di sini raja akan langsung memenggal kepalanya. "Saya tidak mengerti harus bagaimana, anda dilarang masuk ke dalam mansion."

"Baiklah, aku tahu, sekarang pergi."

***

"Apa! Yang mulia mengancam akan membunuh prajurit penjaga?" pekik Lavy tak terima mendengar ucapan Claretta pasal ancaman sang ayah. Benar-benar di luar ekspektasi nya, ia sempat berpikir sang ayah memilih untuk meninggalkan mansion usai menerima penghinaan dari nya, namun ternyata pria itu bukan orang yang mudah menyerah.

"Raja yang bengis,” cibirnya dalam hati.

Claretta sedang berusaha saat ini, kedua orang yang dia hadapi sangat mirip. Sama-sama keras kepala. "Putri, cukup temui yang mulia."

"Tidak mau."

Tuhan, mohon sabarkan Claretta. Pasti sedikit lagi bisa dibujuk, ia harus terus berusaha. "Anda ingin anak-anak lain kehilangan ayahnya?"

Perkataan Claretta berhasil menusuk relung hatinya, tidak lupa juga menanamkan rasa iba jauh di dalam sana, mungkin Lavy memang egois? Tapi kenapa hanya Lavy yang harus mengalah?

"Aku.." lirihnya, Lavy tidak berniat seperti itu. Memang dasar ayah kurang ajar!

Akhirnya dengan terpaksa Lavy kembali menimang, memikirkan pasal penawaran yang diberikan oleh Claretta. Siap tidak siap keputusannya mempengaruhi banyak nyawa di luar sana. "Baiklah, hanya sebentar."

"Akhirnya," batin Claretta merasa lega.

Setelah persetujuan Lavy diberikan, prajurit langsung membukakan pintu gerbang dengan lapang. Einhard masuk namun entah kenapa harga dirinya masih terluka, marah pun sepertinya dia akan tetap kalah dengan sang anak.

Lavy tidak menatap wajah Einhard sama sekali, semenjak memasuki ruangan tadi keduanya masih mempertahankan ego masing-masing, tidak berniat membuka percakapan dan berakhir saling mengacuhkan, jika seperti ini untuk apa tadi memaksa masuk sampai-sampai harus mengancam nyawa orang lain?

Biasanya Einhard yang akan bersikap seperti itu pada para pengawalnya, tapi sekarang? Gadis kecil di hadapannya itu sungguh membuatnya geram. "Sampai kapan kau akan diam."

"Sampai anda berbicara," sahutnya dengan nada ketus.

"Kau tidak dibesarkan dengan benar." Lavy merasakan denyutan nyeri dalam hatinya, selama hidup dia memang tidak dirawat dengan benar. Haruskah ia setuju dengan perkataan Einhard? Tapi kenapa rasanya sedikit menyakitkan.

"Karena saya jauh dari anda, benar begitu?" ujar Lavy membalas perkataan Einhard dengan santai, walau pada kenyataannya ingin sekali ia mencabik-cabik mulut pria tersebut.

Terdengar helaan panjang yang keluar dari Einhard, sepertinya sang ayah frustrasi saat ini. Lavy berharap Einhard segera pergi meninggalkan nya sendiri setelah mengalami tekanan berat.

Einhard sebenarnya tidak peduli, dia putrinya atau bukan tidak berarti apa-apa untuknya dan tidak ada juga yang akan berubah. Bahkan pernikahan dengan ibunya pun hanya sebuah pernikahan politik, Lavy tidak seberguna sang kakak. "Hadiah apa yang kau inginkan?"

"Jika saya jawab, apa anda akan memberikannya?"

"Tentu saja," balas Einhard yakin seraya mengangkat satu alisnya dengan percaya diri.

"Lepaskan saya, bebaskan saya." Einhard termangu, mencerna perkataan gadis 15 tahun ternyata cukup sulit dilakukan oleh pria sepertinya.

"Maksudmu?"

Lavy diam sejenak, mendongak menyamakan tatapannya dengan sang raja. "Saya ingin lepas, selamanya."

"Kau puas membuat seorang raja yang telah memerintah selama 22 tahun kebingungan dengan perkataan mu?" Einhard muak sekarang, bocah itu benar-benar menguji kesabarannya.

"Bisakah? Anda pergi?" ucap Lavy datar namun penuh penekanan.

Einhard beranjak cepat dari duduknya berjalan mendekati Lavy dengan tegap hingga membuat gadis itu mundur perlahan. "Kau! Aku sudah sabar dengan datang kesini, Claretta memaksa ku datang karena dia bilang kau merindukanku, tapi seperti dugaan kau memang-"

"Memang?" Lavy menatap gusar netra sang ayah, menerka perkataan yang mungkin saja keluar dari mulut pria itu, Lavy sungguh siap. Dia sudah menata hatinya dari lama, ia mulai terbiasa.

"Tidak punya sopan santun, Claretta tidak pernah gagal dalam apapun tapi sepertinya untuk yang satu ini dia gagal. Aku bahkan ragu apa kau benar adalah keturunan ku," sindirnya berhasil mengintimidasi Lavy.

"Aku juga lupa bertanya pada ibumu darimana kau berasal." Lavy memejamkan mata sembari berusaha memudarkan kata-kata yang dilontarkan oleh ayah kandungnya, menguatkan hati agar terhindar dari luka jangka panjang.

Setelahnya, Einhard pergi meninggalkan Lavy yang masih meredam kesakitan. Langkah Einhard terasa berat, padahal sebelum datang ia berniat untuk menahan amarah. Tapi sepertinya untuk seorang Lavy hal itu tidaklah berhasil ia lakukan.

Pertemuan mereka hanya saling memberi luka juga amarah.

"Perkataannya menyakitkan sekali, mungkin karena aku memang tidak sopan."

"Kupikir dia memintaku datang untuk dibujuk, aku hanya minta kebebasan apa itu salah?"

***

"Pertemuan setelah 14 tahun lamanya … buruk sekali," gumam Einhard, sejak kembali tadi ia tidak berniat keluar dari ruang kerja sama sekali. Perkataan yang ia lontarkan pada Lavy masih berputar dalam pikirannya, ia merasa bersalah dan berpikir perkataan tersebut benar-benar melukai hati Lavy.

"Yang mulia! Anda di dalam?" panggil Belleza tak lepas dari rasa khawatir, sebab usai kembalinya dari mansion tadi sang suami memasang wajah masam dan melewatinya begitu saja.

"Bicaralah padaku," bujuknya sembari terus mengetuk pintu.

Cklekk..

"Ada apa yang mulia?" tanya Belleza menautkan kedua alisnya.

"Tidak ada."

"Apa anak Elvera bersikap tidak sopan? Atau malah merepotkan?" paparnya berharap sang suami sudi menjawab.

"Tidak. Dia masih remaja, jadi wajar kalau cukup merepotkan," dalih Einhard tak ingin memperbesar masalah.

Belleza tersenyum dan bersyukur tentang acara ulang tahun Lavy yang ternyata berjalan lancar, pikirnya. "Aku juga tidak berpikir putri itu merepotkan, Elvera pasti mengajarkan nya menjadi gadis yang baik."

Einhard mengangguk pelan usai mendengar perkataan Belleza. "Kau benar.”