webnovel

Cara yang Salah

Seorang pria kini tengah duduk termenung di depan wajah seorang gadis yang tengah terlelap. Sesekali tangannya naik mengusap kepala gadis itu, hingga pada akhirnya ia lelah sendiri dan memilih untuk beranjak pergi menuju meja belajarnya.

Coretan demi coretan tinta hitam mewarnai lembar demi lembar kertas putih.

Coretan tangan pengungkap isi hati yang senagaja ia tulis.

"Aku mencintaimu tanpa tapi Liona, aku mengagumimu tanpa alasan, tapi siapalah aku? Pemuda bau kencur yang ingin meminang, tapi belum memiliki tekad yang kuat."

Tulis Lion dalam lembaran buku yang berisikan beberapa tulisan tangannya akan perasaan hati yang sulit untuk dijelaskan.

Mata Lion kembali menatap penuh pada tubuh Liona yang tengah berbaring di atas tempat tidurnya.

Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk bulan sabit, rasa hangat seketika menjalari hatinya. Dia beruntung bisa bertemu dengan Liona.

Tapi sayangnya pertemuan itu membuat benih-benih cinta tumbuh, benih yang kian hari kian menyiksa.

Ketakutan tak beralasan mulai menerpa hari-hari Lion. Liona terlalu tinggi untuk digapai hanya dengan kesederhanaan.

Mungkin bagi Liona itu bukan masalah, tapi bagi keluarganya itu satu masalah besar yang mati-matian mereka hindari.

Status sosial menjadi landasan utama mengapa Lion sering kali terjebak dilema.

"Aku cemburu saat liat kamu akrab sama Rio, tapi aku bisa apa. Kamu aja gak bisa buat kedua orang tua kamu nyerah, apalagi aku!" gumam Lion.

Liona tampak menggeliat, berguling ke sisi kanan. Lion bergegas menghampiri sebelum Liona jatuh ke lantai.

"Kebiasaan deh kalau tidur!" gerutu Lion.

Kincir angin, gaya tidur Liona. Tidak pernah diam di satu tempat, satu ranjang bisa ia kelilingi dengan mata yang terpejam.

Setelah membenarkan posisi tidur Liona, Lion kembali ke meja belajarnya. Membaca buku yang tempo hari Liona berikan.

Buku yang berisikan catatan-catatan kecil antara dirinya dan Liona.

"Entah hari ke berapa aku menulis hal ini, tapi semuanya tetap sama. Kamu yang selalu aku rindukan kehadirannya."

Tulis Liona membuat hati Lion terenyuh. Keduanya saling mencintai, tapi situasi dan kondisi belum merestui.

"Heii, I Miss you. Aku berharap kamu gak baik-baik aja. Maaf aku egois tapi aku gak suka kamu baik-baik aja tanpa aku di sana. Ihhh! Aku tuh Langen Lion!"

Ditemani semilir angin sore, Lion terus membaca beberapa lembar diary harian Liona itu.

"Kenapa takdir begitu egois? Aku ingin bersamanya, tapi justru sebaliknya. Kenapa? Aku lelah dengan drama memuakan ini. Jika bukan dia orangnya kenapa kami harus bertemu? Jika dari pertemuan itu hanya luka yang kami pelajari, maka untuk apa semua janji manis itu?"

Dalam hati Lion juga mengiyakan apa yang menjadi kekhawatiran Liona. Rasanya pertemuan ini sia-sia jika mereka hanya belajar soal patah hati.

Berbagai tanya jelas menyelimuti hati Lion, seolah api yang diberi bensin, pikiran terus berkelana pada hubungan yang tidak jelas ini.

Kesalahan jelas terletak pada hati keduanya, juga harapan semu yang mereka bangun, tapi jika pergi? Maka keduanya akan mengalami rasa sakit yang teramat perih.

Kepergian hanya membawa luka yang tidak akan pernah bisa sembuh, tapi jika saling berkomunikasi keduanya akan terus terjebak dalam dilema.

"Gue harus apa? Gue harus apa Liona? Disaat umur gue yang masih muda, disaat gue yang belum siap ke arah itu, gue harus apa? Gue gak mau buat lo sakit hati, tapi gue juga gak bisa kehilangan lo. Ngebayanginnya aja ngeri!" gumam Lion.

Angin berhembus semakin kencang, suara gemuruh mulai terdengar. Langit berubah warna, abu-abu dan gelap. Pertanda hujan akan datang.

"Tutup jendelanya Li," ucap seseorang dengan suara baritonnya.

Lion menoleh dan mendapati Ayah tengah bersandar di dekat pintu kamarnya.

Lalu Ayah melangkah mendekati Lion dan menepuk bahu putra semata wayangnya itu. Tersenyum simpul dan berkata,

"Jangan terjebak dengan hasutan dunia. Cinta itu bisa jadi racun kalau kamu meletakkannya di dalam hati, baik itu cinta setelah halal atau sebelum halal. Semua harus diletakkan di kepala, di akal sehat. Jangan pernah mencintai melebihi cintaku pada Tuhan. Jika pada Tuhan saja kamu ingkar apalagi pada mahluk ciptaan-Nya, jadilah pria yang tegas. Berani dan bertanggung jawab akan setiap keputusan yang diambil," ujar Ayah memberi nasihat.

Lion diam mendengarkan dengan hati yang bergemuruh nyeri. Ia tahu apa yang ia ambil memiliki resiko yang besar terutama rasa sakit yang mungkin akan dia berikan pada Liona.

Tanpa sadar dia tengah menimbun luka itu, semua berawal dari sikap tergesa-gesa dalam mengungkapkan cinta.

"Lion harus apa Yah? Lion bingung," cicit Lion. Wajahnya tertunduk, ia mengakui ia bersalah. Andai saja ia bisa menahan gejolak rasa itu, mungkin Liona tidak akan berharap lebih padanya.

"Semuanya belum terlambat. Kalau kamu belum siap untuk jadi pemimpin dalam kehidupan Liona, maka kamu harus mampu dan bisa jaga jarak. Jangan beri perhatian yang lebih, cukup sekadarnya saja. Liona gadis yang rapih Lion, dia akan semakin rapuh jika kehilangan kamu, apa kamu udah bicara soal hati kamu?" tanya Ayah.

Lion balas menggelengkan kepalanya lemah. Soal itu dia belum berani, dia ingin menyimpan rapat-rapat. Mungkin nanti setelah semuanya semakin rumit Lion akan mengatakan segalanya.

"Keputusan ada di tangan kamu, kita gak tahu siapa sebenarnya jodoh kita. Apa itu manusia atau kematian, tapi yang jelas itu kematian. Dia dekat, tapi sering dilupakan. Sekarang lebih baik kamu turun ke bawah. Ada Bagas di bawah, Liona biar jadi urusan Bunda," saran Ayah sambil menepuk kembali bahu Lion.

Lion balas tersenyum tipis, mengangguk lalu bangkit dan berjalan bersama menuju lantai satu.

Ternyata benar, Bagas ada di sana tengah menikmati secangkir teh dengan beberapa kue kering buatan Bunda.

"Udah lama Gas?" tanya Lion.

Bagas yang tengah asik menonton televisi menoleh, lalu menggeleng tipis dan kembali fokus menatap pertandingan bola di layar tipis itu.

"Udah satu kosong aja," celetuk Ayah.

"Ayah sih kelamaan ke atasnya," jawab Bagas.

"Ya maaf Gas,"

Lion hanya diam menyaksikan berdebatan singkat itu. Ia masih memikirkan cara untuk menghindari Liona atau meminimalisir kemungkinan buruk itu.

Mungkin tindakannya terlambat, tapi lebih baik mencoba dari pada tidak sama sekali bukan?

Penyesalan yang sebenarnya bukan karena kita gagal dalam mencoba, tapi karena kita tidak pernah mencoba.

Kita memiliki waktu dua puluh empat  jam, untuk bisa terbuka dan mencoba sesuatu yang baru, tapi keegoisan justru membuat kita terjebak dalam benang merah yang kusut.

Sebagian dari kita terlalu fokus pada apa yang kita anggap salah, tidak baik dan tidak sesuai. Padahal semua itu hanya standar kita sebagai manusia.

"Liona mana?" tanya Bagas membuat lamunan Lion buyar seketika.

"Ada di kamar gue. Lagi tidur, kenapa? Tumben nanyain Liona," balas Lion.

"Penasaran aja," satu kata singkat yang mulai membuat hubungan persahabatan keduanya diselimuti kebohongan.