webnovel

Revenge Of The Black Hare

Kehadirannya selalu membuat nyawa melayang layaknya sesosok malaikat pencabut nyawa. Padahal sosok hanyalah seekor kelinci. Lebih tepatnya 2 ekor kalau melihatnya dengan indra keenam. Warna hitam dengan nampak yang mengerikan hanya bisa ditangkap mata itu. Pertumpahan darah di mana-mana menyambut kedatangan mereka. Tapi ini bukan perang. Kelinci hitam itu bukan dari dunia nyata. Itu perwujudan sebuah balas dendam seorang gadis yang bernama Lizzie dari masa lalu. Balas dendam yang benar-benar susah untuk dihilangkan dan melakukan berbagai cara supaya dendamnya terpenuhi. Sedangkan kelinci yang dapat dilihat tanpa indra keenam merupakan perwujudan seorang anak laki-laki bernama Thomas dengan tujuan yang sama dengan Lizzie. Ia juga ingin mengetahui keberadaan adiknya yang saat ini sedang tinggal bersama orang yang sudah membunuhnya dengan kejam. Ya, Lizzie dan Thomas sudah mati, dan salah satu diantarnya beruntung bisa berenkarnasi. Akankah mereka bisa memenuhi hasrat dendamnya untuk membunuh orang itu? Atau sebaliknya? Apa mereka akan pergi dengan damai, agar tidak makan korban lagi karena 'kejahilan' kelinci itu? Siapa sebenarnya Lizzie dan Thomas?

tahraanisa · Terror
Classificações insuficientes
277 Chs

Just Can't Control

Kimberly masih menangis dalam gelapnya malam. Meringkuk ke kiri, kanan, terlentang dan tengkurap. Ia tidak bisa tidur, terlalu cemas memikirkan kondisi mamanya yang mudah stres. Ia berusaha berhenti sesenggukan dan menghapus air matanya. Lalu, ia memutuskan untuk mengecek Nataline di kamarnya setelah melihat Thomas yang sudah terlelap. Ia yakin kalau Nataline tidak akan menyakitinya lagi.

Pintu itu tampak sedikit terbuka dan terdengar pula sedikit kegaduhan dari dalam. "Mama?" kata Kimberly pelan sambil melongokkan kepala ke dalam.

Nataline sedang menyisir rambutnya. Ia berhenti dan menoleh ke arah pintu. "Oh sayang, ada apa? Ayo masuk."

Kimberly pun masuk sambil melihat keadaan kamar yang setengah rapi itu.

"Apa Mama baik-baik saja?"

Nataline langsung mengelus rambut anaknya saat ia sudah di hadapannya. "Iya," jawabnya. Lalu ia berlutut supaya tingginya sama. "Mama minta maaf ya. Aku sangat-sangat menyesal sudah menyakiti kalian," ujarnya lirih.

Kimberly tersenyum tipis. Ia tak sengaja melihat sebuah tabung kecil kosong berada di atas meja hias di belakang Nataline. "Apa obat penenang Mama sudah habis?" tanya Kimberly.

Ia mengikuti pandangan Kimberly, menoleh ke belakangnya sekilas. "Iya," jawabnya sedih.

"Apa perlu aku beli?" tawarnya.

Ia menggeleng. "Besok saja biar Mama yang beli. Kamu mau tidur di sini, apa--"

"Memang Papa belum pulang?" selanya sambil melihat sekitar kamar yang sangat berantakan. Nataline menggeleng. "Baiklah, setelah aku membantu Mama, aku ingin tidur di sini," jawab Kimberly sambil tersenyum.

Nataline tersenyum miris saat mendengar jawaban itu. "Apa kamu berani tidur dengan monster seperti Mama?"

"Monster?" bingung Kimberly. Sampai ia baru teringat dengan kejadian 3 jam yang lalu saat Thomas mencap Nataline sebagai monster. "Mama bukan monster. Mama itu Mamamnya Kimberly dan Thomas," ujarnya polos. "Thomas hanya belum mengerti keadaan Mama yang sebenarnya. Aku yakin, dia pasti tidak sungguh-sungguh mengatakan Mama monster." Kali ini Kimberly menunjukkan senyum manisnya.

Nataline juga tersenyum. Lalu ia mengelus kembali rambut anaknya. "Rambutmu indah ya. Warna cokelat alami," gumamnya. Cukup membuat Kimberly tersipu. "Kamu juga anak yang cerdas dan mengerti dengan keadaan," tambahnya. Tiba-tiba senyumnya memudar. "Tapi matamu hitam bening. Sama seperti kakakmu."

"Memang kenapa, Ma?"

"Bukan apa-apa," jawabnya cepat. "Ayo bantu Mama sebentar."

"Iya." Lalu mereka pun segera membereskan kamar yang luas itu. Setelahnya mereka bisa tidur.

•••

Besok pagi, Daryl baru sampai di rumahnya. Dengan penampilan kusut dan wajah ditekuk, ia berjalan gontai masuk ke rumah. Tidak mempedulikan sambutan dari penjaga gerbang rumahnya.

"Papa! Tolong jelaskan sejelas-jelasnya!" sahut Nataline yang sudah menunggunya di aula. Daryl masih tampak lesu, merunduk menatap lantai. Tiba-tiba kedua tangan Nataline menangkup wajah suaminya. Memaksanya untuk memperhatikan mata cokelatnya yang mulai berkaca-kaca.

Daryl tertegun. Ia baru teringat kalau istrinya itu sangat mudah stres jika mendengar keluarganya akan jatuh miskin. Ya, entah kenapa Nataline paling tidak suka hidup sederhana.

"Daryl Flawnsen," panggil Nataline pelan. "Bagaimana perusahaanmu bisa bangkrut? Kita tidak akan miskin, kan? Harta warisan orang tuamu masih banyak, kan? Kita tidak akan mengenakan pakaian compang-camping, kan?" Semakin lama nadanya semakin tinggi dan terdengar cemas.

Beberapa saat Daryl terdiam. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu sambil memandang mata cokelat istrinya yang mulai kemerahan. Ia tidak mungkin berkata jujur kepadanya. Ia tidak mungkin berkata kalau perusahaan warisan orangtuanya itu sudah habis seluruhnya. Dicuri oleh rekan kerjanya yang terlihat setia, pada kenyataannya menusuk dari belakang dan mengambil sahamnya sampai tak tersisa. Ia tidak bisa menuntutnya karena dengan liciknya rubah itu menyembunyikan bukti yang ada.

Seandainya Daryl berkata sejujurnya, keluarganya akan dalam bahaya.

"Tentu saja orang tuaku masih ada harta kekayaan! Saham Sarah masih ada di tanganku. Mungkin saja kita jadi miskin seandainya dia masih hidup," kata Daryl dengan ekspresi yang meyakinkan. "Jadi, kamu tidak perlu khawatir lagi, ya?" ujarnya sambil menghapus air mata yang mulai mengalir dari mata cokelat istri tercintanya. Ya, Daryl masih mencintai Nataline walau ia tahu kalau ada yang tidak beres dengannya.

Senyum Nataline mengembang. "Aku sangat menyesal atas kematian kakakmu itu, sekaligus berterima kasih pada orang gila yang sudah membunuhnya," ucap Nataline.

Daryl bergidik ngeri mendengar ucapan Nataline yang sebenarnya mengarah pada Nataline sendiri. Kemudian ia menghela napas. Ia tidak ingin mengingat kejadian itu. Sangat tidak ingin.

"Sebaiknya aku pergi dulu dan mengambil beberapa berkas saham kita," kata Daryl.

"Mama bantu." Nataline mengikuti Daryl menuju kamar mereka.

Daryl bernapas lega bisa melihat senyuman itu. Walau dengan sebuah kebohongan yang membuatnya bisa tersenyum kembali.

Dalam waktu kira-kira sejam, semua sudah siap dengan kemeja rapi dan tas koper berisi berkas-berkas untuk melamar pekerjaan--tanpa sepengetahuan Nataline.

•••

"Papa baru pulang, kan? Kenapa malah pergi lagi?" ujar Thomas.

"Jadi--"

"Sudah Pa. Kerja saja," potong Nataline sambil mendorongnya keluar rumah. Thomas dan Kimberly mengikuti dari belakang sampai beranda rumah "Tommy, Kimmy, Papa baru pulang tadi pagi. Sekarang Papa akan bekerja lagi dengan perusahaan barunya," jelas Nataline singkat.

"Papa pergi dulu!" Daryl berpamitan, melambaikan tangan ke arah keluarga kecilnya.

"Bye-bye Papa!" balas Kimberly sambil melambai balik.

Lalu Daryl langsung menuju garasi dan segera mengendarai mobilnya. Tujuannya sekarang adalah, mencari pekerjaan. Tidak akan pulang sebelum mendapat pekerjaan dan kembali bersandiwara di depan Nataline tentang sisa saham warisan orang tuanya yang sebenarnya tidak pernah ada.

"Tommy," panggil Nataline. "Maafkan Mama ya. Saat kemarin malam," ujarnya lirih.

Thomas memandang mata cokelat itu. Ia mencari keseriusan dan ketulusan dibaliknya.

"Maafkan saja, Thomas," kata Kimberly sambil menyikunya. "Aku saja sudah memaafkannya."

"Baiklah, aku maafkan," ucap Thomas setelah melewati perdebatan kecil di pikirannya.

"Tapi, jawab satu hal. Apa yang menyebabkan Mama emosi kemarin malam?"

Nataline menghela napas. "Perusahaan Papamu bangkrut," ucapnya.

"Papa bangkrut?!" sahut kakak-beradik itu bersamaan.

"Tapi tenang saja. Papamu masih mempunyai satu saham lagi dan ia bisa bekerja kembali," kata Nataline sambil menggerak-gerakkan tangannya.

Lalu, kakak beradik itu menghela napas lega bersamaan.

Ia menghampiri kedua anak angkatnya itu. "Sebaiknya kalian masuk ke kamar dan belajar. Mama tidak suka melihat anak Mama bodoh dan tidak sukses nanti. Terutama kamu, Thomas," ujarnya sambil memegang kedua kepala mereka. "Contoh adikmu yang selalu mendapat juara satu di kelasnya."

Thomas hanya melengos saat Nataline mulai membandingkannya lagi dengan Kimberly. Nataline mulai melangkah masuk ke dalam rumah, disusul dengan Kimberly dan Thomas.

"Apa obatnya sudah diminum, ya?" gumam Kimberly pelan saat mereka berdua sedang menuju kamar mereka.

"Obat apa?" sambar Thomas.

Kimberly tersentak saat ia tahu Thomas mendengar gumamannya. "Bukan apa-apa," timpalnya.

Kedua mata Thomas menyipit pada adiknya. "Kamu tidak bisa membohongiku, Kim," balas Thomas. Saat mereka hampir sampai kamar, Thomas langsung mencegat Kimberly masuk ke kamar mereka dengan berdiri di depan pintu. "Aku tidak akan membiarkanmu lewat kalau tidak berkata jujur padaku," katanya.

Kimberly menghela napas. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk memberitahu Thomas apa yang sebenarnya terjadi pada Nataline. "Baiklah." Ia memulai dan mengambil napas. "Mama kita mudah sekali stres. Hanya dengan masalah sepele saja, dia langsung stres dan bisa menghancurkan benda-benda di sekitarnya atau bahkan melukai diri sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, dia sangat bergantung pada obat penenang itu," jelas Kimberly. "Hal yang membuatnya stres berat adalah jika dia miskin dan hidup sederhana. Itu sebabnya dia kehilangan kendali kemarin malam saat tahu Papa bangkrut. Aku tidak tahu penyakit apa itu, tapi sepertinya penyakit mental itu akan sulit sekali sembuh," Kimberly kembali mengambil napas. "Untung saja Papa masih mempunyai satu saham lagi dan Mama bisa menjadi Mama yang penyayang seperti biasa."

"Kenapa aku tidak tahu hal itu?" heran Thomas. Ia merasa Nataline mulai terlihat tertutup padanya.

"Itu karena aku anak kesayangannya Mama," ucap Kimberly sambil menunjuk dirinya dan tersenyum bangga. "Sudah, kan? Sekarang, biarkan aku masuk dan mengerjakan tugasku dengan tenang."

Thomas mendengus dan ia langsung membuka pintu itu. Ada perasaan sesak saat tahu adiknya lebih mengetahui kondisi Nataline. Seketika ia teringat sebelum mereka berdua diadopsi. Thomas mendengar sedikit kalau Nataline hanya menginginkan Kimberly, namun Kimberly tidak ingin berpisah dari Thomas. Jadi mau tidak mau, ia juga harus ikut dengan mereka.

Tidak ada anak yang ingin mendapat perlakuan pilih kasih dari siapapun, terutama dari orang tua. Thomas hanya bisa menahan perasaan tidak sukanya itu atas perilaku Nataline yang pilih kasih padanya asal adiknya bahagia di tempat ini.

•••

Besok malam, Nataline pergi ke sebuah acara pesta yang cukup mewah tanpa sepengetahuan kedua anaknya. Dan besoknya lagi, ia janjian dengan teman sosialitanya. Juga tanpa sepengetahuan kedua anaknya. Ia cukup muak dengan omelan-omelan Kimberly setiap ia ingin pergi ke sebuah acara yang bisa menghambur-hamburkan uangnya itu. Thomas hanya diam saja karena ia tahu pasti Nataline akan sangat marah jika ditegur olehnya. Menurutnya, teguran dari adiknya itu sudah cukup.

Akibatnya, semakin lama simpanan uangnya semakin habis. Beberapa perabotan rumah dijual untuk mendapatkan uang dan memamerkannya pada teman-temannya. Tidak ada kabar ataupun kiriman uang dari Daryl. Ia sudah mencoba berkali-kali menghubungi Daryl, namun tidak bisa. Membuatnya kehabisan ide untuk memberi alasan kepada Kimberly dan Thomas tentang keberadaan Daryl. Tapi setidaknya, keberadaan makanan yang masih tersedia cukup membuat mereka tenang.

Nataline mulai gusar. Ia sempat melupakan peringatan horoskopnya selama bersenang-senang 5 hari berturut-turut itu. Walau begitu, ia masih mempercayainya. Ia tidak menyalahkan dirinya, ia tidak merasa menyesal karena sudah bersenang-senang. Karena menurutnya, kegiatan itu tidak pernah menyusutkan uangnya. Padahal sebaliknya.

Kamar itu kembali berantakan hanya dalam sekian detik. Ia tidak terima dengan semua ini. Sangat tidak adil baginya untuk merasakan bagaimana rasanya tidur di jalan dan malu di depan teman-temannya. Semua berkelebat di pikirannya yang kusut dan susah diurai kembali. Membuat emosinya memuncak, membuat semua terlihat sangat menyebalkan. Obat penenang yang habis membuatnya semakin tak terkendali.

•••

"Terima kasih, Pak Jay," ucap Thomas pada sopir pribadinya saat ia keluar dari mobil.

Thomas langsung melempar tas ranselnya ke sembarang tempat saat ia sudah berada di ruang keluarga. Ia mendudukkan diri di atas sofa dan bersandar di sana dengan kepala mengarah ke langit-langit rumah.

Sepi dan hening. Itu yang dirasakannya saat ini. Kimberly sedang ada tugas kelompok dan pulangnya akan sedikit terlambat, katanya. Membuat Thomas mati bosan dan tidak tahu ingin melakukan apa di rumah yang besar dan sunyi itu.

Ia kembali berdiri dan melangkah menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mencari minuman favoritnya di sana. Namun, yang ditemukannya malah sebuah kertas dengan tulisan.

"Kalau kau ingin minum soda, cari aku dan temui aku. Aku akan memberimu minuman kesukaanmu itu"

"Kau mulai serius ternyata," gumam Thomas sebal. "Dan lagi-lagi kau berbohong kalau ada tugas kelompok, Kim." Kali ini ia meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia memang sudah berkali-kali ditegur oleh Kimberly untuk mengurangi kebiasaan minum sodanya dan tak lelah menjelaskan dampak buruk soda yang sering dikonsumsi itu padanya. Tapi itu baru sebatas menegur. Tidak sampai melarangnya dan memberi syarat seperti ini. Kemudian, ia mulai melangkahkan kaki. Mencari adiknya dan merebut minumannya kembali.

Ia tidak peduli kalau tulisan itu bertinta merah dengan bentuk tulisan yang terlihat tidak wajar. Ia juga merasa tidak curiga sama sekali terbuat dari apa tinta merah yang hampir berwarna kehitaman itu. Yang ia pedulikan saat ini adalah nafsu akan haus minum sodanya.

Thomas mendengar suara pintu terbuka lalu tertutup yang berasal dari kamarnya. Ia pun langsung menuju sumber suara.

"Dapat kau!" Ia langsung membuka pintu kamarnya. "Kim?" Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. "Aku tahu kamu di sini. Jadi, kembalikan minuman sodaku sekarang, Kim." Thomas mulai melangkah masuk tanpa menutup pintu kamar. Ia mencarinya ke setiap sudut ruangan. Sekalian, ia menyalin seragam sekolahnya dengan pakaian rumah. Kaos lengan pendek, jaket rompi dan celana panjang yang semuanya serba hitam

"Thomas."

Yang namanya dipanggil itu langsung menoleh ke sumber suara saat ia baru keluar dari kamar mandi dan tiba-tiba saja pintu kamarnya tertutup begitu keras.

Thomas langsung menuju pintu kamar dan membukanya. Tapi tidak bisa. Seakan ada seseorang yang menahannya dari luar. "Ayolah Kim! Aku sudah menemukanmu!"

Tidak ada respon. Yang terdengar hanyalah tawa cekikikan dari seorang gadis yang menahan pintu itu. Thomas juga tidak peduli atau merasa aneh kalau tawa itu terasa janggal dan terdengar mengerikan.

Akhirnya pintu itu terbuka juga. Thomas langsung keluar dan melihat gadis berpakaian serba hitam sedang berlari sambil tertawa dari arah kanannya. "Kimberly?" Ia yakin kalau seragam Kimberly tidak mungkin berwarna hitam. Namun Thomas tetap mengejarnya karena penasaran. Gadis itu menghilang di tikungan koridor rumah. Thomas berhenti mendadak tepat saat mengambil belokan di koridor.

Sosok itu, berpakaian gotik serba hitam dengan rambut panjang cokelat gelapnya, terus berlari masuk ke koridor dengan cahaya remang yang tidak pernah Thomas lihat sebelumnya. Sosok itu berhenti beberapa langkah di depan Thomas dan masih membelakanginya.

Ia mendengar suara rintihan dari ujung koridor yang gelap itu, tepat di depan gadis itu. Rintihan dari orang yang sangat kesakitan. Juga suara dari orang yang sedang menusuk-nusuk sesuatu yang lunak, seperti daging. Tiba-tiba muncul seorang wanita yang tertatih-tatih menyeret tubuhnya keluar dari daerah gelap itu. Hanya setengah tubuhnya, setengahnya lagi berada di daerah gelap. Tangan dan wajah pucat wanita itu penuh dengan darah.

Thomas bisa melihat kalau tubuh gadis di depannya ini bergetar hebat. "I-ibu.."

"PERGI DARI SINI LIZZIE!!"

Wusshhh...

Sebuah ayunan kapak yang sangat cepat sukses memutuskan kepala wanita itu saat ia sedang memperingati anaknya. Darah segar mengalir deras dari leher tanpa kepala itu.

"IBU!!!" Gadis itu memekik saat ibunya dibunuh tepat di hadapannya oleh seseorang yang mulai menampakkan diri.

Seorang wanita dengan tampilan kusut dan acak-acakan. Garis hitam tebal menghiasi kedua matanya yang terus melotot dan terlihat kemerahan dengan sorotan gilanya.

"Di-dia..." Thomas merasa kenal dengan wajah wanita gila yang kini mulai menghampiri gadis itu.

Gadis itu segera berbalik badan dan hendak berlari ke arah Thomas. Tapi tiba-tiba saja berhenti. Gadis itu lagi-lagi terbelalak saat melihat sesuatu di belakang Thomas. Mata hitamnya menyiratkan ketakutan yang sangat hebat. Thomas ingin berbalik badan dan melihat siapa yang sudah berdiri di belakangnya saat ini, tapi ia masih terpaku dengan sosok wanita gila yang bersiap-siap melemparkan sebuah pisau ke arah gadis itu.

"AAGHH!!" Gadis itu mengerang kesakitan saat sebuah pisau berhasil menembus telapak tangan kanannya. Ia berlutut dan mulai menangis sambil berusaha mencabut pisau itu.

Saat berada tepat di belakangnya, wanita itu langsung menjenggut keras rambutnya dan memaksa kepalanya untuk mengadah ke atas.

"Thomas...," gadis itu menatap nanar ke arah Thomas di depannya, "TINGGALKAN RUMAH INI SEKARANG!!"

Sebuah kapak langsung dilontarkan oleh wanita yang mulai menyadari keberadaan Thomas. Kapak berlumuran darah itu melayang ke arahnya dengan sangat cepat.

Thomas reflek melindungi kepalanya dan melangkah mundur. Tapi ia menabrak seseorang di belakangnya. Seseorang yang membuat gadis tadi ketakutan. Thomas langsung berbalik badan dan melihat siapa orang itu.

"Ma-Mama?" kaget Thomas. Ia mundur ke belakang sambil menghadap ke arah Nataline. "A-apa Mama ba-baik saja?" Tidak bisa dipungkiri kalau saat ini Thomas benar-benar ketakutan melihat penampilan Nataline yang sangat berantakan itu dengan garis hitam di bawah matanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Nataline dingin dengan tatapan tajam.

Thomas kembali ingat dengan kejadian tadi. Ia pun berbalik badan. Tidak ada apa-apa di belakangnya kecuali sebuah cermin besar berukuran setinggi koridor dan menampilkan bayangan dari mereka berdua. Tidak ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa. Hanya cermin besar.

Ia melihat bayangan Nataline dari cermin. Nataline benar-benar terlihat seperti wanita gila tadi dengan tampilannya yang acak-acakan seperti itu. Ia tersadar, kalau wanita tadi sudah dipastikan Nataline. Wanita gila tadi adalah Nataline.

Keselamatan Thomas mulai terancam. Ia perlahan berbalik kembali menghadap Nataline.

"Kau dapat dari mana pakaian itu?" tanya Nataline. "Aku tidak pernah memberimu pakaian serba hitam seperti itu."

"Ini milikku. Aku me-membawanya dari panti," jawab Thomas. Mata hitamnya masih tertuju pada tangan kanan Nataline yang disembunyikan di belakang.

"Kau tahu Thomas, aku sangat membenci warna hitam. Warna hitam itu selalu membawa kesialan bagi kehidupanku." Nataline mulai melangkah perlahan ke arah Thomas, "oleh sebab itu...," sedangkan Thomas mundur ke belakang sampai benar-benar menempel di cermin. "AKU AKAN MEMBUNUHMU!!"

Thomas langsung menghindar saat Nataline menyodorkan sesuatu ke arahnya. Ia sudah menduga hal itu. Bukan pisau atau benda tajam lainnya yang ia sodorkan, melainkan sebuah sapu tangan.

Thomas segera berlari dari kejaran Nataline yang mulai menggila itu. Ia menuruni tangga dan berlari menuju pintu depan untuk meminta bantuan dari penjaga rumah. Saat ia sampai di depan pintu, ia lantas membuka pintu itu. Tapi...

Pintu itu terkunci. Nataline sudah merencanakan segalanya untuk membunuhnya.

Kali ini Thomas tidak bisa menghindar lagi. Saat ia berbalik badan, Nataline langsung mendorongnya kuat dan memojokannya ke pintu. Thomas meringis saat punggungnya menghantam pintu begitu keras. Sapu tangan yang sedari tadi digenggam Nataline, dengan cepat menutup mulut dan hidungnya. Thomas sempat berusaha mendorong sapu tangan itu dari wajahnya, sebelum ia mulai merasa sangat lemas dan sedikit mati rasa. Sampai akhirnya tak sadarkan diri karena menghirup obat dari sapu tangan itu.

"Haha..hahaha...haha" Nataline mulai tertawa saat melihat anak lelaki di depannya sudah tak sadarkan diri. Pikirannya kian kacau dan matanya mulai gelap. Rencana-rencana jahat mulai menyelimuti benaknya. Sisi iblisnya terbangun setelah sekian lama tertidur. Semuanya terasa terulang kembali. Semuanya seperti 9 tahun lalu, saat ia berambisi untuk mengambil seluruh kekayaan keluarga Flawnsen.

Nataline tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Akalnya mulai hilang dan hatinya terasa mati.

Hanya saja yang membedakan, Nataline merasakan ada 'sosok' yang mencoba untuk melakukan sesuatu padanya, bermaksud mengendalikannya.

Lizzie...