16 Come to me

"Jane, buatkan aku kopi."

Jane memutar matanya malas. Ia berdiri tak jauh dari Steve saat ini. Tak berjarak jauh, hanya sekitar seratus meter dari Steve duduk, jalan ke arah selatan, dia sudah menemukan pantry yang dikhususkan untuk petinggi seperti dia.

"Kau punya dua kaki, dua tangan, dua mata dan kepala untuk mengingat. Oh, apa kau tak tahu cara menggunakannya?" Jane berkacak pinggang. Rambutnya yang tebal ia kibaskan. Hari ini ia memakai rok pendek dengan belahan belakang yang cukup mengundang mata dan kepala berpikir liar. Jane tampak sexy dengan rok itu.

Steve menaikkan kepalanya, menatap Jane yang masih berdiri di tempatnya. Ia menaruh pena, mengusap pelan rambutnya.

"Kau mau menggodaku dengan rok pendek itu?" tunjuk Steve. Jane mengangkat bahunya. Tak ada aturan yang menyebutkan bahwa di kantor kepolisian harus memakai rok atau celana panjang.

"Pembicaraanmu tak menarik."

"Ah, Jane. Malam minggu kau ada acara?" tiba-tiba saja Steve bertanya. Jane mengernyitkan dahi. Berpikir keras, apa yang akan direncanakan pria di hadapannya ini.

"Tidak. Aku berencana tidur seharian. Ada apa?" ketus Jane.

"Kiehl ingin bertemu. Ehmm..sekaligus aku ingin memperkenalkan seseorang padamu." Steve mengerling nakal. Jane terdiam. Apa yang harus ia katakan?.

"Siapa?"

"Amanda, kekasihku. Kau boleh ajak tunanganmu juga," tawar Steve. Tatapan Steve sungguh membuat Jane kesal. Ia seperti mengejek.

"Ronald tak terbiasa pesta rumahan."

"Ya sudah, kau ajak Bee atau Lucas. Pergilah, kerjakan tugasmu." Steve mengibas tangannya. Jane meremat tangannya, ingin sekali ia menjejalkan kertas yang berserakan di meja dan memasukkannya ke mulut Steve. "Apalagi yang kau pikirkan? Cepat pergi."

"Terserah kau, jangan memanggilku lagi."

Brakk...

Jane membanting kasar pintu ruangan Steve hingga terdengar getaran. Steve mengusap dadanya, baru kali ini ia merasa dilecehkan oleh anak buah.

****

Dawny, si gadis kecil pemalu keluar dari gerbang sekolahnya dengan keadaan tergesa-gesa. Ia melirik ke arah kanan dan kiri seolah sedang mencari sesuatu. Tangannya menggenggam ponsel sambil terus menghubungi seseorang.

"Daddy, kau tak menjemputku? Bagaimana caranya aku pulang?" Dawny menggerutu. Rupanya sang ayah tak bisa menjemputnya siang ini.

Klekk...

Dawny mendongak. Tepat di hadapannya berdiri seorang wanita dengan pakaian kerjanya menyilangkan tangan di dada.

"Apa kau yang bernama Dawny?"

Gadis kecil itu mengangguk. Si wanita berjongkok menyamakan tingginya, ia membuka tangan dan memberikan beberapa butir permen untuknya.

"Ikut denganku. Paman Ronald menunggumu di rumah," lanjutnya. Tangannya menarik pelan si gadis kecil namun ditepis kasar.

"Kau siapa?" tunjuk si gadis.

Wanita itu tertawa, lalu tersenyum sejenak. "Kau lupa padaku?" Gadis itu mengangguk lagi. "Aku Jane."

"Oh, aku mengenalmu. Kau tunangan paman Ronald bukan?"

"Iya, ayo pulang."

Si gadis kecil mengangguk lagi. Ia mengikuti langkah Jane menuju sedan mewah yang terparkir tak jauh dari gerbang sekolah. Rencananya Jane akan membawanya ke rumah Ronald, atas perintahnya beberapa jam yang lalu.

Ronald tak pernah bisa ditolak keinginannya, apapun itu. Seperti tadi pagi saat Jane baru saja tiba. Ia menghubungi dan memintanya menjemput keponakan kesayangan, Dawny. Jane bersikeras tak bisa, namun ancaman selalu dilontarkan oleh Ronald pada Jane.

"Kau mau rencana pertunangan kita batal, lalu ibumu semakin kritis karena mendengarnya? Perhatikan apa yang akan aku lakukan pada Steve nantinya," ancam Ronald. Jane tak berkutik. Ia menghela napas panjang dan akhirnya menyetujui permintaan paksa oleh Ronald.

"Baiklah. Aku akan menjemputnya."

Di satu sisi, seorang pria tiga puluhan meremat tangannya dan mengumpat dengan segala sumpah serapahnya. Niatnya gagal lagi kali ini.

"Polisi itu main-main denganku."

****

"Jane...." Steve berteriak lagi dari dalam ruangannya. Tak sabaran, ia pun membuka pintu dan melongokkan kepalanya keluar. "Mana Jane?"

"Ah, Jane sedang keluar. Dia izin ada urusan mendadak katanya. Ada yang bisa aku bantu untukmu, Steve?" Bibi Claire mendekat.

"Bawakan aku minuman dingin. Suruh yang lain saja, Bibi."

"Tidak apa, biar Bibi ambilkan."

Selepas Bibi Claire, Steve sempat mendecih pelan sampai akhirnya sosok yang ia cari datang dengan tergesa-gesa.

"Kau darimana?"

"Aku dari..."

"Ah, Steve ini minumannya." Bibi Claire membawa masuk gelas berisi rootbeer dingin kesukaan Steve.

"Bawa masuk, Bi."

Steve menunjuk Jane tanpa suara lalu menyuruhnya masuk. Setelah Bibi Claire keluar, dengan langkah berat akhirnya Jane masuk ke ruangan Steve.

"Steve, maaf. Aku tak memberitahumu sebelumnya. Ini amat sangat mendadak. Ronald menyuruhku untuk menjemput keponakannya, setelah itu aku secepatnya kembali kesini," jelas Jane. Steve tak berkata apapun. Ia hanya diam mengetuk penanya sambil memandangi berapa butir es batu yang Bibi Claire masukkan kedalam gelas.

"Kukira kau sudah mengerti peraturan disini. Kau ini senior, sama denganku. Tugasmu menyusun bukti laporan dan melaporkannya padaku. Kalaupun kau izin keluar, bukankah ada interphone disini?" Steve menunjuk gagang telepon, mengangkat dan membantingnya.

Brakk

Jane terkejut. Ia kembali menunduk meminta maaf dan janji tak akan mengulanginya. "Maaf."

"Baiklah, kali ini aku maafkan. Aku tadi memanggilmu atas suatu yang janggal atas laporan Bee minggu lalu." Steve membuka sebuah kertas terlipat yang kemudian ia arahkan pada Jane untuk membacanya.

Jane membacanya dengan teliti. Ia tak menemukan kejanggalan satupun. Ia mengernyitkan dahi, matanya mengatakan 'apa yang salah' saat menatap Steve.

"Aku tak menemukan kejanggalan."

"Sudah kuduga. Kalian tidak peka dalam membaca kronologis. Bee menyimpulkan pembunuhnya satu orang karena dia menarik garis korban yang mempunyai nama sama dan pekerjaannya. Tapi, apakah kau tak berpikir secara irasional bahwa ini adalah kasus yang berbeda." Steve mengetuk penanya. Jane membaca lagi kronologis yang dibuat oleh Bee.

"Dua orang?" Steve mengangguk. "Mengapa bisa kau sebut pelakunya dua orang, sedangkan korban yang diincar memang benar....."

Jane terdiam. Ia ingat sekali pernah menyimpulkan dua kejadian pembunuhan di waktu yang berdekatan. Ada suatu tanda yang berbeda dari tanda sebelumnya yang ia temukan.

"Kau juga merasakannya bukan? Kau yang datang ke tempat kejadian, seharusnya kau lebih sadar." Steve mengangkat kedua tangannya lalu meletakkan di belakang kepala. Ia bergoyang santai di atas kursinya lalu memejamkan matanya sejenak.

"Ah, sayangnya bukti itu sudah dibawa oleh pihak forensik," sesal Jane.

"Tidak bisa diminta lagi?"

Jane menggeleng. Dagunya diusap perlahan, sambil memikirkan sesuatu yang mungkin bisa ia jadikan bukti tambahan. Ia amat sangat penasaran dengan kasus ini.

"Aku akan kembali meneliti tempat kejadian."

Brakk

Steve menggebrak meja kerjanya. Jane hampir terhuyung ke belakang karena keterkejutannya. Kalau saja Steve bukan atasannya, sudah ia lempar asbak sejak tadi.

"Kau gila. Tempat itu sudah ditutup."

"Bisa aku urus."

Jane balik kanan meninggalkan ruangan Steve, namun secepat kilat tangannya ditahan oleh atasannya itu.

Jane melirik pelan tangan Steve, tiba-tiba saja memori itu kembali menguar di kepalanya. Memori saat ia dan Steve masih remaja. Steve yang kala itu ingin sekali masuk ke ruangan kepala sekolah saat malam hari, namun Jane mencegahnya.

"Jangan Steve, nanti kita dalam bahaya."

"Kau mau terus menerus difitnah?"

"Tapi Steve...."

"Ayo...."

Saat Steve akan membongkar kunci ruangan kepala sekolah, tiba-tiba ada suara ketukan sepatu dari arah belakang. Lalu suara itu mendekat membuat Jane ketakutan. Steve sesekali menoleh ke belakang.

"Hei siapa disitu?"

Steve menarik tubuh Jane dan bersembunyi di salah satu lorong gelap di ujung ruangan. Mereka saling menggenggam, mengurangi ketakutan.

Mereka berdua terdiam sejenak, sama mengingat kembali masa itu. "Ah, maaf.Kalau kau ingin kesana, aku ikut."

"Baiklah, kita kesana."

****

avataravatar
Próximo capítulo