webnovel

Satu Hati Dua Wanita

Aku menatap pria ini dengan kesal. Sama sekali tidak ada rasa bersalahnya. Menganggap semua biasa biasa saja, sudah jelas dia memancing pertengkaran kami.

Aku mengaduk mangkuk bubur ini sambil menatapnya prihatin. Tidak seharusnya aku melampiaskan amarahku pada bubur ini. Tetapi harus bagaimana lagi aku sungguh tidak berselera.

Pandangan kami bertemu dengan cepat aku mengalihkan pandanganku. Aku tidak tahu aku mencintai pria ini atau membencinya. Dua hal itu hanya beda tipis, yang mana untuknya bahkan aku belum bisa memutuskan dengan pasti. Yang jelas aku sungguh sebal dengannya.

Dia menyantap sarapannya dengan tenang. Seperti tidak ada apapun diantara kami. Sungguh hati batu. Tidak adil bukan jika hanya aku saja yang merasa bersalah karena kejadian semalam? Itu bukan respon berlebihan, hanya naluri seorang wanita. Tidak ada satupun wanita didunia ini yang ingin dibandingkan.

Dia menyelesaikan makanannya dan mengelap mulutnya dengan serbet yang disediakan. Sungguh pemandangan yang indah. Namun kesadaranku kembali, cukup Alexa jangan lagi.

Dia menatapku, aku hanya menunduk. Menatap keadaan buburku yang sudah tercampur aduk. Tidak tersentuh sedikitpun.

Aku menegakan kepalaku menatapnya sekilas dan mengangkat piring makan kami. Mencucinya sebentar.

Setelah selesai. Aku melihatnya tidak beranjak dimeja makan. Aku diam dia diam. Apa dia berharap aku mulai berbicara padanya? Aku cewek ingin dibujuk. Tapi lupakan aku tidak akan mendapatkan hal seperti itu dari pria ini.

Meninggalkannya dimeja makan. Iya lalu bangkit mengikuti. Benar benar tanpa percakapan. Iya membukakan pintu dengan senyumnya. Aku hanya naik tanpa mempedulikannya.

Setelah sampai sesuatu yang mengejutkan terjadi. Aku menjadi sekretaris Kak Daren! Oh astaga si kala itu mau dimanakan. Apa mau pria arogan itu coba? Menolak, membandingkan, dan membuatku menjadi seketarisnya? Apa dia tidak berpikir sedikitpun ha, jika aku jadi sekretarisnya itu membuatku semakin dekat dengannya bukan?

Aku disuruh menjumpai wanita itu. Sama arogannya dengan pria itu. Jika dilihat lihat mereka serasi dalam bekerja karakter mereka membuat meresa bisa menjadi rekan yang baik. Tetapi lihatla aku dan dirinya sungguh berbeda.

Wanita itu menatapku sinis seakan mengatakan. 'Kamu merebut tempatku' jika saja aku bisa memilih hal lain tentu saja hal lain yang aku pilih tapi lihatlah. "Apa yang harus kukerjakan setelah ini." Tanyaku langsung. Malas berbasa basi.

Dia menatapku intens. Aku tidak mempedulikannya tatapla sepuasmu, jika perlu sampai biji matanya keluarpun aku tidak peduli. "Bagaimana bisa Daren mencintai wanita seperti dirimu ini?" Katanya sambil menatap mataku.

Aku tersenyum. Menatap matanya yang lancang mempertanyakan pertanyaan yang seharusnya tidak iya tanyakan. Iya siapa?Apa katanya? Mencintaiku? Sayangnya bukan aku orangnya. "Urusan pribadi tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Dan kamu begitu lancang." Kataku cukup tegas.

"Kamu tahu, aku bekerja padanya sudah 7 tahun. Mencintainya dari awal kami kuliah. Tidak pernah sekalipun aku melihatnya menggandeng wanita. Dan tiba tiba memperkenalkan wanita seperti dirimu ini istrinya."

"Kamu menyatakan cinta pada istri pria yang kamu suka?" Jawabanku cukup tenang. Terlihat dari ekspresinya yang bertaut. Dia menunggu responku yang seperti apa memang?

"Kamu wanita yang cukup tenang, aku bukan lancang. Aku juga tidak ingin mencari musuh disini. Aku merasa tidak adil dengan semua ini."

"Jika kamu kurang puas kamu bisa menyampaikan argumanmu pada suamiku bukan aku." Kataku acuh.

"Aku tidak bisa." Katanya sambil mengalihkan tatapannya. Dia secinta itu pada Daren? Aku merasa bersalah sekarang. Jangan terlalu lemah Alexa.

"Jika tidak bisa tidak usah katakan. Kenapa memperumitnya? Sudahlah." Dia menahan tanganku. Aku tidak niat marah marah, aku harus mengontrol emosiku. Aku sudah sering meledak beberapa hari terakhir. Jangan lagi. "Apalagi?" Kataku pasrah.

"Aku melihat cinta dimatanya saat mentapmu. Aku bisa membedakan tatapan itu karena aku sudah begitu lama dengannya. Tatapan itu yang kuinginkan darinya tetapi nyatanya aku tidak mendapatkannya."

"Ingin sesuatu kejujuran?" Kataku dengan senyum yang angkuh. Dia penasaran. Hanya diam menunggu ucapanku selanjutnya, kuanggap saja begitu. "Tatapan yang kamu katakan barusan omong kosong. Dia tidak mencintaiku. Kami dijodohkan." Ucapku. Itu tidak sepenuhnya kebohongan bukan? Bukankah jatuhnya seperti perjodohan?

"Kamu bercanda." Katanya disambut ketawa yang jelas dibuat buatnya. Gila ini orang kali ya. "Aku tidak percaya." Katanya sinis.

"Percaya tidaknya aku tidak peduli." Kataku meninggalkannya.

'Tok tok tok' aku mengetuk pintu.

"Masuk." Katanya. Matanya tidak menatapku. Hanya fokus pada berkas yang dimejanya.

"Mengapa menjadikan aku sekretarismu? Kara kan ada. Lagian aku senang berada didevisi pemasaran."

Dia akhirnya menatapku. Tersenyum tipis hanya sebentar itu tidak bisa dihitung senyuman kurasa. "Sangat tenang tanpa emosi. Kamu sulit ditebak."

Jelas bukan itu jawaban yang aku inginkan. Menarik napas dalam. "Apakah aku bisa menolak posisi ini Pak Daren Diwangga?"

Dia menopangkan tangannya didagu. Menatapku dengan tatapan menusuknya. "Jika aku tidak mau bagaimana?"

"Pertanyakannya aku balik. Jika aku tidak mau juga gimana Pak?" Masih dengan jawaban yang tenang.

"Aku tidak menerima bantahan disini Ale. Lakukan saja tugasmu." Putusnya. Lalu lanjut menatap berkas dimejanya. Melawan juga tidak ada gunanya. Berjalan meninggalinya.

"Ale." Panggilnya. Aku menurunkan tanganku dari knop pintu. Menatapnya balik. "Aku minta maaf soal semalam. Sebenarnya tidak ada niatan membandingkan kamu. Sungguh."

"Sudahlah aku tidak ingin mengungkit yang sudah berlalu." Aku mengatakannya dengan serius lalu keluar. Betapa terkejutnya aku wanita ini bahkan tidak beranjak dari tempatnya tadi.

"Sudah selesai? Apa keputusannya?" Tanyanya penasaran. Begitu antusias.

"Keras kepala. Tidak mengubah keputusannya." Kataku jujur. Ekspresinya berubah. Sesedih itukah dirinya? "Kamu masih bisa melihatnya, lagian masih dikantor yang sama." Kataku menyemangatinya. Bukan apa hanya saja gadis yang angkuh itu hilang sekejap seakan keangkuhan itu tidak pernah ada atau ini sisi aslinya?

"Kamu tahu sangat sulit berjumpa dengannya meskipun dikantor yang sama." Katanya pelan tetapi aku mendengarnya. Dia menatap kearahku. "Kamu tidak mencintai Daren?"

Aku terdiam sesaat. Menimbang rasa mana yang berat. "Tidak." Kataku spontan.

Dia tersenyum. "Berarti Daren mencintaimu tetapi kamunya tidak sama sepertiku mencintai Daren tapi dianya tidak mencintaiku. bertepuk sebelah tangan judulnya lebih bagus."

"Kamu sudah seperti pujangga sekarang." Kataku sambil tertawa renyah.

Iya menjulurkan tangannya padaku "Karania dewita. Panggil saja Kara." Aku menerima jabatan tangannya. Ini tidak terlalu buruk.

"Alexa. Kurasa kamu tidak perlu seformal itu padaku."

"Penilaianku tidak seburuk pertama bertemu denganmu. Kamu asik juga orangnya."

"Yasudah. Aku tinggal dulu ya Kala. Ada yang harus kuurusi."

***

Aku berada diruangannya. Mengantarkan berkas yang dia butuhkan. Dia mengambil dan menyilahkan aku duduk. Dia membalik berkasnya dan menandatanganinya.

"Sudah makan siang?" Tanyanya. Tetapi tangan dan matanya tidak beranjak.

"Aku tidak lapar." Kataku. Melirik arloji dipergelangan tangannya lalu meletakkan berkasnya berjalan mendekatiku.

"Kita makan sekarang." Tangannya kusangkal. Aku tidak suka posisi ini. Lalu berdiri.

"Aku tidak lapar. Jangan memaksa."

"Menikah dengan bocah memang bakal begini." Katanya begitu angkuh.

"Dan disayangkan bocah ini nyatanya istrimu. Lagian jika sudah tahu aku seperti bocah ngapain coba dijadikan sekretaris."

"Karena kamu marah padaku."

"Aku tidak marah." Jawabku dengan begitu tenang. Tidak ada perubahan emosi sama sekali.

"Kamu punya tempat dihatiku Ale." Aku menatapnya setelah mendengar kalimatnya. Sunguh mendebarkan. "Begitu juga Alena. Kalian mempunyai tempat dihatiku."

Cih. Sungguh menyebalkan. Dasar laki laki. Bagaimana dengan mudahnya dia memasuki dua wanita dihatinya? "Kakak begitu bangga memosisikan dua wanita di satu hati kakak? Sungguh tidak dipercaya."

"Sama sepertinya kita menyayangi orang tua kita. Mereka punya tempat dihati kita begitu pula..."

"Itu hal yang berbeda tidak bisa disatukan kak. Orang tua orang tua. Cinta ke wanita mana bisa dua." Potongku. Pria yang serakah. "Setelah dipikir, kakak pria bajingan."

Iya emosi? Tidak sepantasnya begitu. Aku mendekatkan diri kepadanya. Menunjuk ke hatinya. "Apakah ini berdebar disaat aku di depan kakak? Apakah rasanya sama saat kak Alena berada didepan kakak seperti ini?"

Dia mendekatkan diriku padanya tidak ada jarak sedikitpun. "Aku berdebar saat bersamamu. Aku selalu ingin membahagiakan dirimu disaat menatap dirimu. Aku suka melihatmu bahagia, aku gak mau kamu sedih."

"Lalu? Saat bersama kak Alena?"

"Tidak seperti ini. Dia Alena wanita pertama yang berani mendekatiku disaat semua orang hanya mengatakan sipria kaku. Dia yang mengajarkan aku tersenyum. Senyum yang selalu tampak diwajahku dia yang menciptakannya. Tetapi sikapmu yang membuat aku ingin menunjukan senyum ini. Dan itu yang membuatku tidak bisa memutuskan Ale. Kamu dan Alena punya posisi masing masing."

"Dan aku adalah wanita yang egois yang menginginkan semuanya. Aku tidak suka berbagi, dalam bentuk apapun. Tetapi yasudahlah tidak ada gunanya memperdebatkan sesuatu dengan kakak."

"Ale, nanti kamu pasti mengerti." Katanya. Sungguh ironi tetapi yasudahlah. "Alena sudah tiada Ale." Katanya pelan. Aku salah dengar kan? Dia becanda?

"Berbohong."

"Alena udah gak ada! Dia dibunuh Ale." Iya berteriak. Terduduk kelantai sambil memegang tanganku. Becandanya gak lucu. Bagaimana orang yang kabur dikatakan udah tidak ada didunia ini. "Kami menutupinya dari kamu."

"Jadi kabur tipuan? Kalian kira aku ini apa ha?" Diriku yang malang. Bertempur dengan orang yang udah enggak ada? Dan mereka menipuku? Orang tuaku juga? Kulepaskan pegangan tangan kak Daren padaku. Keluar dengan banyak tanda tanya yang tersisa. Sungguh Alexa kamu sudah dipermainkan.