Bertempat di sebuah rumah sakit yang berafiliasi dengan Universitas Aksara yang ada di Kota Waringin.
Di dalam salah satu kamar VIP, seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan sejarah tengah terbaring di sofa besar nan empuk yang diperuntukkan untuk pendamping atau keluarga pasien.
Mahasiswi dengan rambut lurus hitam yang terurai menutupi leher, dengan poni halus yang menutupi satu matanya, tertidur pulas di sofa empuk tersebut.
Tampak wajah perempuan tersebut telah kehilangan sedikit warna keceriaan. Agak pucat dengan kantung mata yang telah menghitam.
Tidak jauh di depan sofa, terdapat sebuah meja yang telah dipenuhi oleh buku-buku sejarah dan teori. Termasuk sebuah laptop yang masih menyala, menunjukkan sebuah halaman dokumen yang belum diselesaikan.
Selain itu terdapat pula beberapa kaleng kopi dan nasi kotak yang masing-masing masih banyak sisa.
Waktu sekitar jam dua dini hari. Perempuan tersebut baru saja menutup matanya sekitar tiga puluh menit sebelum. Kelelahan seperti menemani tubuhnya. Suara rintih dan erangan terdengar keluar dari mulut manis perempuan tersebut.
Wajahnya mulai berkeringat dengan dahi dan alis yang mengkerut. Suara rintihannya semakin keras, yang kali ini bercampur sendu.
Suara perempuan yang mulai mengeras tersebut nyatanya tidak mempengaruhi pasien yang berada dalam ruangan. Pasien seorang lelaki yang merupakan adik kandung dari si perempuan itu sendiri. Pasien itu tetap memejamkan matanya, tanpa ada tanda-tanda akan bangun sama sekali.
Umur keduanya hanya berjarak satu tahun. Dan pasangan adik kakak ini pun berkuliah di universitas yang sama. Hanya saja berbeda jurusan. Sang adik merupakan mahasiswa dari jurusan ilmu komunikasi Semester yang akan dimulai merupakan awal dari tahun keempatnya.
Namun sayang, untuk semester ganjil kali ini. Sang adik tidak akan mampu melanjutkan studi. Sudah hampir tiga bulan, lelaki tersebut tidak membuka matanya.
Dokter menyatakan kalau lelaki itu telah mengalami situasi yang biasa disebut mati suri. Dan hidupnya kini hanya bergantung pada jarum dan infus yang terhubung kepadanya.
Para ahli medis tidak dapat membangunkan si adik. Sebelum mengetahui cara menyembuhkan, mereka harus tahu dulu alasan kondisi tersebut terjadi. Namun ayal, tidak ada yang tahu.
Para dokter telah menyerah. Orang tua pasien bahkan telah mengundang salah satu dokter spesialis saraf dan lain sebagainya. Namun tiada hasil. Semuanya hanya bisa mengatakan kalau hanya waktulah satu-satunya obat bagi lelaki tersebut.
Obat atau racun. Waktu akan menentukan kehidupan dan kematian mahasiswa malang tersebut.
Menit demi menit terus berlalu. Suara erangan semakin menjadi, bahkan raut perempuan tersebut mulai tampak melukiskan suatu derita.
Pada saat seperti ini, pintu kamar terbuka. Seorang perawat yang baru saja melangkahkan kaki masuk seketika berhenti sejenak.
Perasaannya berubah tidak enak. Dia melihat ke seluruh ruangan. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya satu pasien yang belum bangun dan seorang perempuan yang terlelap tidur.
Perawat tersebut memandangi sosok perempuan itu dengan seksama. Melihat wajah dari perempuan tersebut tampak berkilau karena keringat. Pandangannya lalu berubah menuju termometer ruangan.
Dengan AC yang menyala. Suhu dalam ruangan tersebut tidak seharusnya membuat wanita itu berkeringat sampai wajahnya basah.
Cemas perempuan itu sakit, perawat pun mendekat lalu hendak menempelkan tangannya untuk merasakan suhu badan keluarga pasien tersebut.
Namun sebelum tangannya sampai, baru saja dia sedikit membungkuk. Kedua mata perempuan di sofa seketika terbuka lebar.
"Whoa!"
Perawat sontak kaget. Dia melihat perempuan di depannya melototi tanpa berkedip. Satu detik... dua detik... tiga detik... empat detik... lima detik... keheningan berada di antara mereka.
Bagi perawat, waktu lima detik itu bagai lima menit. Jantungnya serta merta berdetak tak karuan, melihat mata yang tidak berkedip di depannya.
Gulp.
Menelan ludah, mengurangi rasa gundah, perawat itu mulai bertanya dengan bibir yang bergetar.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Tanya yang memecah suasana hening. Membuat perempuan di sofa seketika memejamkan matanya secara perlahan. Dalam beberapa detik kemudian, perempuan itu tampak kembali ke dunia mimpi. Namun, tidak lama, mata itu kembali terbuka.
Hanya saja tidak langsung melotot seperti sebelumnya. Sepasang mata itu terbuka perlahan, tampak sangat berat dan lelah.
Raut wanita tidak sekaku sebelumnya, kini lebih terlihat ada pergerakan di otot wajahnya. Yang kemudian, perempuan itu mengucek matanya yang masih panas karena kekurangan tidur, dia agak tertegun melihat seorang perawat sedang memandanginya.
"Umm... a-ada apa suster?"
"..."
Perawat itu terdiam sementara lalu melepaskan napas panjang. Kembali menanyakan kondisi keluarga pasien tersebut sekaligus menyinggung tentang keringat berlebihan di wajah dan juga lehernya. Bahkan mungkin badan perempuan itu sudah basah oleh keringat. Hanya saja tidak tampak.
Perempuan itu memeriksa tubuhnya. Menyadari kalau tubuhnya memang basah oleh keringat. Dia mengatakan kepada si perawat kalau dirinya tidak apa-apa, dengan alasan...
"Mungkin hanya kecapean."
Perawat itu memicing sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Dia seraya melanjutkan tugas yang semestinya dilakukan. Mencatat serta merekam perkembangan pasien di kamar tersebut, lalu mengganti infus, membuang hasil ekskresi dan lain sebagainya, sebelum akhirnya pamit setelah semuanya selesai.
Tinggalah perempuan itu kembali seorang diri bersama adiknya yang hanyut di dunia mimpi. Dia beranjak dari sofa lalu berdiri di ujung ranjang pasien. Memandangi sang adik yang masih juga tidak menunjukkan tanda-tanda mau bangun.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kakak tidak tahu harus apa lagi. Please, bangun, Dion..."
Lirih perempuan tersebut terhadap adiknya. Orang tuanya sudah melakukan berbagai cara untuk menyembuhkan Dion. Dan perempuan itu sendiri berusaha dengan caranya sendiri. Menyelidiki sendiri hal yang mungkin menjadi penyebab kondisi adiknya itu.
Selama tiga bulan, dia menyelidiki berbagai hal. Tanpa bantuan siapapun. Dia bahkan harus mengorbankan penulisan skripsinya, menunda sidang sarjana yang sudah direncanakannya. Namun perempuan itu sama sekali tidak mendapatkan sesuatu yang konkrit.
Dari cerita orang-orang yang kala itu bersama Dion, kemping di salah satu kaki gunung yang berada di Kota Mindi, kota yang tidak terpaut jauh dari Kota Waringin, perempuan itu mendengar kalau adiknya itu tiba-tiba saja tidak bisa dibangunkan pada pagi hari.
Perempuan itu tentu merasa janggal, karena tidak mungkin ada hasil tanpa sebab. Bagaimana mungkin adiknya tiba-tiba mati suri?
Namun hal yang didengarnya dari para teman-teman kemping adiknya itu merupakan hal yang absurd. Mereka mengatakan kalau kondisi tersebut mungkin disebabkan adanya pengaruh hal mistis.
Hal ini dikarenakan pada malam hari sebelum Dion tidur tak bangun, semua orang di sana mengalami kejadian yang menakutkan. Bahkan ada beberapa yang bersaksi kalau mereka melihat penampakan.
Perempuan itu bisa dibilang percaya tidak percaya. Namun bila hal supranatural penyebabnya, maka dia akan berusaha menyembuhkan adiknya dengan cara supranatural juga. Memanggil ahli agama hingga dukun.
Mereka yang dipanggil pun bahkan orang-orang yang sudah punya nama. Mau itu di publik hingga kalangan konglomerat.
Hasilnya... nihil.
Tidak ada yang bisa menjelaskan. Dari segi medis, nol. Dari segi supranatural, nol.
Perempuan itu sudah tidak tahu harus melakukan apa lagi. Ada sedikit dalam benaknya untuk menyerah, namun perasaan itu masih bisa ditekannya oleh kasih sayang seorang kakak.
Tetapi... harapan mana yang harus diraihnya? Jalan di depannya berubah gelap. Apakah tinggal doa saja yang bisa dilakukan? Doa tanpa usaha?
Perempuan itu meyakini adanya Tuhan dan keajaiban-Nya. Hanya saja, apakah dirinya pantas mendapatkan keajaiban tersebut? Perempuan itu bukanlah orang yang rajin beribadah. Dia bukanlah orang yang ingat Tuhan ketika hari-hari dipenuhi keceriaan.
Apakah dia pantas meminta kasih sayang ketika ingat Sang Pencipta pada saat putus asa saja? Perempuan itu merasa tidak pantas. Itulah mengapa, dia lebih ingin mencari jalannya sendiri. Berusaha dengan kaki dan tangannya sendiri.
Tapi... apa yang harus dilakukannya sekarang?
Perempuan itu menunduk dengan wajah sendu. Kakinya seraya berjalan keluar kamar. Membawa badannya yang lesu dan putus asa untuk menghirup udara segar.