webnovel

Puja Punggung Kekar

Happy Reading!

***

Dor!

"Astaga! Naia!" keluh Alan menyentuh dadanya yang terasa berdebar kencang usai di kejutkan oleh Naia, ia berbalik dan menatap gadis sepantaran yang kini tersenyum datar. "Naia! Jangan bikin gue mati muda." lanjutnya menegaskan.

Bukan meminta maaf pada sahabatnya karena telah mengejutkan pria itu, Naia justru memeletkan lidahnya jahil. "Wleee, Alan gak bakalan mati muda kok! Gue kan udah ngira-ngira.." kekehnya tak di ladeni Alan.

Meladeni gadis itu hanya akan membuat kepalanya pecah. Dari pada pusing karena celotehan Naia, dia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan berkas Osis di tangannya. Naia yang diabaikan secara terang-terangan tentu saja sebal, tangannya bergerak cepat merebut berkas tersebut dari tangan Alan. "Naia!" tegur Alan memperingatkan.

Tak acuh dengan teguran Alan, Naia asik membaca dan baru menyerahkan ketika selesai. Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku Almameter sekolah. Naia menggerutu. "Lu kenapa jadi Osis, sih? Nyusahin tau, mau aja jadi babu-nya guru!"

Alan menggeleng. Meski menjadi ketua Osis sangat lah berat karena banyak kegiatan, Alan bersyukur. Berkat jabatannya itu dia bisa mendapat banyak teman. Mengingat kepribadiannya yang tertutup lagi dingin, Alan senang karena anggota Osis memiliki selera humor yang receh hingga berhasil membuatnya nyaman.

"Gak Naia.. Coba lu ikutan! Seru kok, kebetulan kursi bendahara kosong. Mau ngisi?" tawar Alan mendapat gelengan tegas. Tangan Naia terangkat hingga terlihat menyilang. Mata cokelatnya terangkat agar bisa menatap Alan sinis. "Non, No, gak, tidak, ogah! Maaf saja, gue bakalan sibuk nyari jodoh. Malesin ikut begituan." jawabnya menolak tawaran tanpa berpikir dua kali.

Tidak suka dengan jawaban Naia, Alan mendelik. Ia berdecak dan mempercepat laju langkah hingga sahabat perempuannya kewalahan sendiri agar bisa mengimbangi. Dengan tinggi 150 cm, Naia bisa apa jika dibandingkan pada kaki panjang Alan? Pria itu memiliki tinggi 195 cm. Tinggi sekali kan? Bahkan Naia kelelahan jika berusaha menatap wajah Alan terus menerus.

Jika bertanya apa yang Naia lihat ketika berbicara berhadapan, maka jawabannya adalah dasi. Jangan heran. Naia sengaja memusatkan mata pada dasi karena tidak ingin berpikiran kotor tentang tubuh tegap dan perut sixpack yang tercetak jelas dari balik seragam ketat Alan.

"Jodoh mulu, baru kelas 11 udah mikirin sampe sono. Ngapain sih?" heran Alan sebal sendiri, bahkan tanpa sadar pria jtu menggenggam berkas di tangannya kasar.

Tak percaya dengan pertanyaan sahabatnya, Naia melototkan mata. Dia membalap Alan agar bisa berdiri di depan lalu menjawab. "Alan, dengerin gue. Kita itu berada di puncak masa remaja! Selama Sma kita harusnya punya pacar yang bisa di ajak uwu-uwuan! Lu paham gak?" pertanyaan sarkas itu tertuju pada Alan, sahabat Naia satu-satunya.

"Paham Naia, tapi gak semua puncak masa remaja harus pacaran dan mesra-mesraan. Sebagian ada kok yang makin giat belajar biar punya pekerjaan hebat di Masa de–"

Belum selesai Alan membalas, kalimat sarkas kembali tertuju pada dirinya. "Iya, kaya elu kan? Atalanta Maydenio, satu-satunya cowo yang gak tertarik menjalin hubungan sama lawan jenis di Sma Djati Wijaya ini! Jangan bilang elu belok?"

Seketika Alan tersentak. Bagaimana bisa sahabat kecilnya itu berpikiran demikian? Segera ia menggeleng dan meremas kepala kecil Naia menggunakan tangan besarnya. "Bego ah! Gue juga pengen punya hubungan serius, sama cewe.. Tapi mau gimana lagi, cewe yang gue suka bloon. Gak peka tingkat dewa, mana pura-pura goblok lagi soal pelajaran." Naia sama sekali tidak mengindahkan penerangan yang Alan berikan, remaja berusia 17 tahun itu hanya bisa terpekik kesakitan karena cengkraman si anak basket di kepalanya.

Rasa-rasanya, sekarang kepala Naia tengah di jadikan bola basket oleh seekor Titan. Dengan mudah Alan meremas kepala mungilnya yang imut itu! Ayolah, Naia cuma punya satu kepala. Jika yang ini pecah dia tak akan bisa hidup lagi, alias meninggoy. "SAKIT WEEEEE! ALAN TITAN! LEPASIN GUEEEE!" mendengar teriakan bak toa masjid, Alan meringis. Mau tak mau tangannya yang asik meremas kepala Naia lepas dari tempat ternyaman-nya.

Setelah terdiam beberapa saat, Naia menoleh. Ia menggunakan effort yang besar agar bisa melihat wajah Alan sekarang. Sahabatnya itu, adalah pria yang dingin. Baru kali ini dia mendengar Alan menyukai seseorang, itu pula pada gadis pura-pura bloon, goblok, dan gak peka. Sungguh malang nasib Alan!

"Kasihan banget sih bestie gue satu ini.. Mau di tolongin gak? Kalau soal masalah bujuk membujuk, gue bisa. Siapa cewenya?" tanya Naia kelebih penasaran.

Menyadari kalau Naia tengah mengeluarkan effort besar untuk menatap wajahnya, Alan balik menatap dalam manik cokelat Naia. "Gausah, mau elu yang bujuk, dia gak bakal paham. Dan lu gak bakal ketemu dia." tolak Alan sama sekali tidak bisa di balas oleh Naia.

'Bukan gimana-gimana, orang cewe yang gue maksud elu. Mana mungkin kan elu ngobrol ama diri sendiri buat bujuk biar dia suka gue balik,' lanjut Alan di dalam hati.

"Hish! Nyebelin ah. Btw, Alan! Kenapa gaada cowo yang deketin gue yak? Kata kakak, gue cantik kok. Terus kenapa gaada yang ngedeket?" heran Naia memutuskan untuk duduk di kursi taman sekolah.

Tahu kalau sahabatnya tengah kelelahan, Alan pun ikut duduk. Dia menatap wajah cantik Naia lekat lantas bergidik, "Kakak lu cuma ngehibur. Cewe jelek kaya Anaia Nadarie, mana mungkin disukain cowo. Terlebih cowo zaman sekarang mentingin good looking." celoteh Alan membuat Naia murung.

Segera saja Alan menarik kepala Naia agar bisa bersandar di bahunya. "Gapapa, lu masih punya gue." bisik Alan seraya menoleh kebelakang.

Mata birunya menatap tajam seorang pria yang sekarang ingin menghampiri keduanya dengan setangkai bunga di tangan. Menggunakan isyarat mata Alan berkata, 'Pergi, Naia gak butuh cowo letoy kaya lu!'.

"Na–"

Tap!

"P.E.R.G.I." suruh Alan pelan kepada pria yang tak kunjung pergi, apa dia tidak memahami maksud Alan?

Jderr!

Mendapat tatapan membunuh dari Alan, pria yang awalnya ingin menghampiri Naia lari dengan panik. Ini lah alasan utama kenapa tidak ada pria yang mendekati gadis itu. Belum sampai saja Alan sudah mengeluarkan ultimatum agar tidak mendekat, kalau berani mendekat entah apa yang akan ketua Osis lakukan.

"Hm? Tumben mau minjemin headphone?" Naia yang terheran-heran sontak bertanya.

Mata cokelat gadis itu menatap sahabatnya polos, tidak ada angin, tidak ada hujan Alan memasangkan headphone yang selalu menggantung di leher pria itu kepada Naia. Lagunya pun terputar dengan keras seolah Alan tengah menyembunyikan sesuatu.

"Alan?" panggil kembali terdengar untuk sahabat Naia ketika tidak ada jawaban yang terdengar.

Sreeek!

"..."

Setelah berdiri dari duduknya, Alan menatap wajah cantik sahabatnya tanpa kata. Gemas rasanya jika harus melihat wajah polos Naia, ini tidak baik bagi kesehatan jantungnya. "Gapapa, headphone-nya pake aja. Gue duluan yah, urusan Osis." ucap Alan pergi setelah menyerahkan ponselnya tanpa membiarkan Naia membalas.

Di kursi taman, gadis itu hanya bisa menggaruk pipinya yang gatal seraya menatap punggung tegap Alan. Kalau di pikir-pikir, tubuh Alan itu kekar. Fisiknya melebihi anak basket lainnya, ah, sepertinya Naia akan mencari pria dengan fisik seperti Alan, tampaknya akan menyenangkan jika memeluk punggung pria kekar.

"Hehehe.."

***

Makasih udah baca, luv yuuu!

Próximo capítulo