webnovel

Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu

Dua sejoli baru saja merasakan indahnya cinta yang saling berbalas. Tapi bagaimana jika takdir berkata lain?

Airi_Mitsukuni · Urbano
Classificações insuficientes
49 Chs

Part 28-Ungkapan Cinta

Andre pulang dari pesta dalam keadaan basah kuyup. Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia menggerutu kesal. Kedua tangan Andre mencengkeram setir kuat-kuat.

"Sial! Gara-gara si Christine, penampilan gue jadi kacau begini! Semua cewek sama aja! Nyusahin!"

Andre masuk ke rumahnya tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap salam. Ia melangkahkan kakinya lebar-lebar melewati ibunya yang sedang duduk santai di ruang keluarga.

"Ndre! Masuk rumah kok maen nyelonong aja," tegur Mamanya.

Andre mendecak sebal.

"Assalamu'alaikum," ucap Andre dengan nada kesal sambil mencium tangan ibunya.

"Wa'alaikumsalam."

Andre langsung memutar badan melangkah pergi ke kamarnya.

"Eh, Andre! Mama belum selesai ngomong juga! Kamu kenapa basah kuyup begitu?" teriak Mamanya.

"Nolongin kucing kecebur!" sahut Andre tanpa menoleh.

"Dasar nggak sopan!" gerutu Mamanya.

Andre langsung bergegas ke kamar mandi. Tak lama kemudian ia pun selesai dengan ritual membersihkan badannya. Ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Menghela nafas panjang.

"Kayaknya gue harus stop niat gue deh. Nggak ada untungnya juga buat gue, kan? Yang ada gue malah sial." Andre mengoceh sendiri.

Sorry, Bar. Gue nggak jadi pake cara gue buat bantuin loe dapetin lagi si udik.

Andre mencoba menghubungi Christine dua kali tapi tak juga dijawab. Ketiga kalinya barulah telfonnya terjawab.

"Lama banget loe angkat telfon!" sewot Andre.

[...]

"Ada yang perlu gue omongin sama loe."

[...]

"Gue maunya sekarang! Ini tentang perjanjian kita. Gue mau batalin!"

[...]

"Loe berani ngelawan gue? Kalau gue bilang batalin, ya batalin! Nggak usah kebanyakan nanya!"

[...]

"Itu urusan loe! Bukan urusan gue! Loe usaha sendiri buat dapetin Bang Afnan. Itu juga kalau loe mampu!"

[...]

"Nggak usah khawatir. Loe bakal tetep gue bayar sesuai perjanjian. Tapi gue ingetin sama loe! Gue udah lepas tangan sama apapun yang mau loe lakuin. Jangan bawa-bawa nama gue lagi! Atau loe bakal gue bikin nyesel seumur hidup!" ancam Andre dan langsung mengakhiri telfonnya.

Andre menghela nafas panjang. Matanya menerawang memandang langit-langit kamar.

"Boleh kali, kalau gue isengin dikit buat hiburan. Tapi gue heran juga sama tu bocah! Cakep nggak, kenapa bisa disukain sama mereka, ya?" gumamnya pelan.

"Au Ah! Kayak orang gila gue. Ngomong sendiri. Mending tidur," gerutu Andre dan langsung memejamkan matanya.

🌸🌸🌸

Tak seperti Nazifa yang selalu bersemangat saat menyiapkan sarapan. Kali ini ia terlihat lesu, tidak bersemangat. Bahkan tak begitu menikmati sarapannya.

"Kamu kenapa, Zee?" tanya Afnan khawatir.

"Nggak apa-apa, Mas. Zee cuma sedikit pusing," jawab Nazifa.

"Kita ke Dokter, ya," usul Afnan.

Nazifa menggelengkan kepala. "Nggak usah, Mas. Nanti dibawa tidur juga ilang kok."

"Masuk angin barangkali kamu, Zee," ujar Mama.

"Iya, Ma. Kayaknya masuk angin," jawab Nazifa.

"Kalau gitu, hari ini aku nggak masuk kantor dulu aja," ujar Afnan.

"Nggak usah, Mas. Aku baik-baik aja kok. Mas berangkat kerja aja, ya."

"Ya udah. Tapi nanti langsung hubungin aku kalau ada apa-apa. ya?" pinta Afnan.

Nazifa tersenyum menganggukkan kepala.

"Kapan kamu mulai masuk kantor lagi, Bar?" tanya Afnan pada Bara yang sedari tadi makan dalam diam.

"Besok," jawab Bara singkat.

"Kita berangkat bareng aja nanti," usul Afnan.

"Nggak usah. Aku lebih suka naik motor," tolak Bara.

"Tapi Nak, tangan kamu baru sembuh. Nanti kalau ada apa-apa lagi gimana?" Mamanya khawatir.

"Nggak apa-apa, Ma. Bara bakal hati-hati kok," jawab Bara.

Mamanya menghela nafas. "Ya sudah."

Setelah Afnan berangkat ke kantor, Nazifa lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Mama yang khawatir, mencoba mengetuk pintu kamarnya.

"Zee ... Kamu tidur? Ini Mama bawain obat, sayang." Mamanya mengetuk pintu.

Nazifa turun perlahan dari kasur untuk membuka pintu. Ia berjalan terhuyung ke arah pintu.

"Ma," panggil Nazifa lirih saat membuka pintu.

"Ya Allah, Zee! Mukamu merah banget," ucap Mama khawatir.

Ia langsung meraba kening Nazifa.

"Badan kamu panas banget. Mama panggilin Dokter, ya," usul Mama.

Nazifa mengangguk lemah.

"Tunggu, ya. Biar Mama telfon Dokter dulu." Mama memutar balik badan hendak mengambil ponsel di kamarnya.

Bruuk!

Langkah Mama yang belum jauh langsung terhenti mendengar suara terjatuh.

"Astaghfirullah! Zee!" Jerit Mama langsung berlari menghampiri Nazifa yang terbaring di lantai.

"Zee! Zee!" Mama mencoba membangunkannya.

Bara yang sedari tadi duduk di ruang keluarga langsung berlari ke arah suara Mamanya.

"Nazi!" Bara terkejut melihat Nazifa pingsan. "Nazi kenapa, Ma?"

"Badannya panas banget, Bar. Udah cepetan! Kamu bantu bawa ke kasur. Mama mau telfon Dokter dulu."

Tanpa berpikir panjang Bara langsung membopong tubuh Nazifa dan membaringkannya di kasur. Ia berlari keluar kamar lalu kembali dengan membawa saputangan dan baskom air untuk mengompres.

"Nazi ...," panggil Bara lirih seraya mengompres Nazifa.

"Dulu kamu yang membantuku mengompres lebam saat aku berkelahi, sekarang izinkan aku membalasnya," ucap Bara pelan.

Mengapa Takdir begitu kejam padaku? Jika memang aku tidak ditakdirkan bersamamu, harusnya aku bisa dengan mudah melupakanmu, batin Bara.

Tak lama Mama masuk ke dalam kamar.

"Mana Dokternya, Ma?" tanya Bara.

"Masih di jalan. Sebentar lagi juga nyampe," jawab Mamanya.

"Sini, biar Mama aja yang ngompres." Mamanya mengambil alih mengompres Nazifa.

Perlahan Nazifa terlihat mulai membuka matanya yang sayup.

"Zee ... Alhamdulillah kamu udah sadar, sayang," ucap Mama lega.

"Kerudungnya dibuka dulu aja, ya." Tangan Mama terulur hendak membuka kerudung Nazifa tapi tangan lemah Nazifa menahannya.

"Jangan, Ma," ucap Nazifa seraya melirik ke arah Bara.

Bara mengerti apa maksud Nazifa.

"Bara tunggu Dokter di luar ya, Ma," ucap Bara seraya pergi keluar kamar.

Mama membantu membuka kerudung Nazifa perlahan. Ini pun pertama kali Mama melihat rambut menantunya.

"Ya Allah, rambut kamu bagus, sayang," ucap Mama kagum seraya membelai kepala Nazifa.

Tak lama pintu kamar diketuk.

"Ma, Dokternya udah dateng," ucap Bara dari luar kamar.

"Langsung masuk aja, Bar."

"Masuk aja Dok," ucap Bara pada Dokter Silvi.

Dokter Silvi langsung masuk sedangkan Bara kembali menunggu di depan kamar.

Afnan terlihat baru tiba dan langsung melesat berlari ke dalam rumah. Ia langsung buru-buru pulang dari kantor setelah mendapat kabar soal Nazifa dari Mamanya.

"Gimana keadaan Zee, Bara?" tanya Afnan dengan muka cemas saat melihat Adiknya tengah berdiri bersandar tembok.

"Lagi diperiksa Dokter di dalem, Bang," jawab Bara.

"Makasih." Afnan menepuk bahu Adiknya lalu masuk ke dalam kamar.

Bara menghela nafas panjang kemudian kembali berjalan menuruni tangga ke ruang keluarga.

Beberapa menit kemudian, Mama dan Dokter Silvi keluar dari kamar. Mama mengantar Dokter sampai pintu kemudian duduk bersama Bara.

"Apa kata Dokter, Ma?" tanya Bara.

"Alhamdulillah nggak apa-apa. Tadi udah dikasih obat penurun demam sama Dokter. Sekarang Zee lagi tidur," jelas Mama.

"Alhamdulillah," ucap Bara.

"Kamu nggak akan percaya sama yang Mama liat tadi, Bar," ujar Mamanya sambil tersenyum.

"Maksudnya, Ma?" tanya Bara tak mengerti.

"Rambut Nazifa. Tadi pertama kalinya Mama liat rambut dia. Bagus banget!" puji Mamanya.

Bara diam tak merespon Mamanya.

"Mau ke mana, Bara?" tanya Mama saat melihat Bara beranjak pergi dari ruang keluarga.

"Hari ini Bara mulai kuliah lagi, Ma. Bara mau siap-siap," jawab Bara.

"Ooh. Ya sudah."

🌸🌸🌸

Nazifa terbangun dari tidurnya dan melihat Afnan tengah duduk di kursi samping tempat tidur.

"Mas."

Afnan tersenyum lalu meraba kening istrinya. "Alhamdulillah, Panasnya udah turun," ucap Afnan lega.

"Kamu bikin aku khawatir, Zee. Harusnya tadi aku nggak nurutin kamu buat berangkat kerja," ujar Afnan seraya mencolek hidung Nazifa.

"Iya, Mas. Maaf. Tapi tadi pagi Zee emang cuma pusing doang kok."

Afnan mengambil bubur yang disimpan di nakas.

"Makan dulu, ya. Tadi Mama udah bikinin bubur buat kamu." Afnan mulai menyuapi Nazifa.

"Udah, Mas." Nazifa menolak saat Afnan menyuapinya lagi.

"Baru juga berapa suap, Zee."

"Nggak enak, Mas. Lidahnya pait," rengek Nazifa.

"Karena kamu lagi sakit, makanya jadi nggak enak. Dikit lagi aja, ya. Aa ...," bujuk Afnan.

Nazifa pun menuruti bujukan Afnan yang pada akhirnya menghabiskan bubur itu.

"Pinter," ucap Afnan menepuk-nepuk kepala Nazifa.

"Mas ... Emangnya Zee anak kecil," ucap Nazifa cemberut.

Afnan tertawa. "Aku simpen mangkok ke dapur dulu, ya."

Nazifa mengangguk.

Tak lama kemudian, Afnan kembali ke kamar lalu merangkak naik ke kasur ikut membaringkan tubuh di samping istrinya.

"Kemarilah." Afnan merangkul Nazifa.

"Aku khawatir banget tadi, Zee. Langsung panik pas denger kabar dari Mama," ungkap Afnan semakin mengeratkan pelukannya.

Nazifa membalas pelukan erat suaminya. Betapa bahagia hati Nazifa memiliki suami seperti dirinya. Ternyata apa yang dikatakan orangtuanya dulu itu benar adanya. Senyum bahagia terpancar dari wajah Nazifa.

"Aku cinta kamu, Mas," gumam Nazifa setengah berbisik namun masih bisa didengar Afnan.

"Kamu bilang apa barusan, Zee?" Afnan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"Nggak. Aku nggak ngomong apa-apa kok." Nazifa malu.

"Sekali lagi. Ucapin sekali lagi, sayang," pinta Afnan seraya mengangkat wajah Nazifa yang sudah merona.

"Ih, Mas ... Zee malu," ucapnya pelan seraya menundukan kembali pandangannya.

"Zee," panggil Afnan lembut seraya menatap penuh harap.

Nazifa perlahan mengangkat wajahnya, menatap mata indah suaminya. Senyum indah merekah di wajah Nazifa.

"Aku cinta kamu, Mas," ucap Nazifa dengan jelas seraya mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir suaminya.

Rona merah jelas tergambar di wajah Nazifa. Afnan tersenyum lebar dengan mata berbinar menatap Nazifa. Memeluk erat istrinya dengan perasaan bahagia. Ini pertama kalinya Nazifa mengucapkan kata cinta dengan jelas.

"Aku cinta kamu, Zee," ucap Afnan seraya mencium pucuk kepala Nazifa.

Keduanya saling berpelukan erat dengan senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mereka.

★★★