webnovel

Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu

Dua sejoli baru saja merasakan indahnya cinta yang saling berbalas. Tapi bagaimana jika takdir berkata lain?

Airi_Mitsukuni · Urbano
Classificações insuficientes
49 Chs

Part 26-Kepercayaan

Afnan berusaha mengejar Nazifa yang berlari keluar restoran. Tapi percuma! Ia sudah kehilangan jejak istrinya.

"Aarrgh!" Afnan mengusap wajahnya kasar.

Mencoba menghubungi Nazifa, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Akhirnya Afnan putuskan untuk pulang dan menunggunya di rumah.

Sejam telah berlalu, namun Nazifa belum juga kembali. Afnan gelisah menunggu di rumah. Mondar mandir di ruang keluarga. Sesekali melihat ke luar pintu rumah, mencari sosok istrinya. Namun yang ditunggu belum juga terlihat. Ia mencoba menghubungi kembali nomer Nazifa, tapi tidak aktif. Ia teringat Bara! Dengan cepat ia menghubungi nomer adiknya, tapi hasilnya nihil. Bara tak menjawab panggilannya.

Hampir dua jam Afnan menunggu dengan gelisah, hingga akhirnya sosok yang ditunggu muncul.

"Assalamu'alaikum." Nazifa dan Bara mengucap salam bersamaan.

"Wa'alaikumsalam," jawab Afnan langsung menghampirinya.

"Kamu dari mana aja, Zee? Aku hampir dua jam lho nunggu kamu di sini." Afnan terbawa emosi.

"Lagian tadi kenapa kamu keluar nggak izin dulu sama aku, hah?" tanya Afnan dengan nada penuh penekanan.

"Apa Mas nggak punya hape? Gunanya hape buat apa?" sindir Nazifa.

"Apapun alasannya, aku nggak suka kamu keluar rumah tanpa izin!" ucap Afnan dengan sedikit membentak.

Nazifa menggigit bibir bawah menahan diri agar tak menangis.

Benar. Aku salah karena keluar sebelum mendapat izin darimu, Mas, batinnya.

"Nggak usah marahin, Nazi. Dia nggak salah. Aku yang maksa dia keluar." Bara sedikit maju ke hadapan Afnan membelanya.

"Nggak usah ikut campur." Afnan menatap tajam pada Bara.

Bara tersulut emosi. Ia maju mendekat pada Kakaknya hingga jaraknya hanya tinggal beberapa senti.

"Jangan pernah lupa dengan ucapanku dulu! Karena aku nggak segan-segan ngelakuin itu!" ucap Bara pelan tapi penuh penekanan.

Mata mereka saling menatap tajam untuk beberapa saat.

"Ikut aku! Kita omongin di kamar," ucap Afnan seraya menarik lengan Nazifa.

Nazifa mengikuti langkah lebar Afnan dengan sedikit berlari kecil.

Bara menatap keduanya yang berlalu meninggalkanya seorang diri. Rahangnya mengeras menahan emosi.

Afnan menutup pintu kamar dan mendudukan Nazifa di bibir kasur. Nazifa diam tak bersuara. Afnan mengambil posisi setengah berdiri bertumpu lutut di depannya.

"Zee," panggilnya lembut.

Afnan menggenggam kedua tangannya tapi Nazifa melepaskannya. Tangan kanannya terulur hendak menyentuh wajah Nazifa tapi ia mengelak.

Afnan terlihat menghela nafas panjang.

"Sayang ... Kamu salah paham sama aku. Itu nggak seperti yang kamu lihat," jelas Afnan.

"Salah paham gimana, Mas? Jelas-jelas aku liat kalian berpelukan," ucap Nazifa dengan suara bergetar.

"Itu nggak sengaja, Zee. Christine hampir jatuh dan kakinya terkilir. Aku cuma refleks membantunya," jelasnya lagi.

Nazifa menghela nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Mendongakkan wajahnya ke atas untuk menahan air mata yang hampir terjatuh.

"Sayang ... Tolong percaya sama aku. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Christine," ucap Afnan meyakinkan.

Ia menggenggam lembut tangan istrinya. Nazifa Hendak melepaskan tapi Afnan menahannya.

"Bukannya aku sudah berkali-kali bilang sama Mas, kalau aku tuh nggak suka sama Christine. Aku tau dia  suka sama kamu, Mas. Pasti dia akan cari-cari kesempatan terus untuk deket sama kamu," kata Nazifa dengan air mata yang mulai menetes di pipi.

Gagal sudah pertahanannya untuk tak menangis.

Afnan menarik tubuh Nazifa ke dalam dekapan. Erat sekali.

"Maafin aku, Zee. Tapi aku berani bersumpah, aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia."

Afnan semakin erat memeluk Nazifa. Nazifa membalas pelukannya dalam tangisan.

"Aku percaya sama kamu, Mas. Percaya. Tapi aku juga nggak bisa bohong, Mas. Hatiku ini sakit," kata Nazifa lirih diiringi isakan.

Afnan melepas pelukannya. Mengusap lembut air mata di pipi Nazifa dengan jarinya.

"Maafin aku, sayang. Aku janji. Aku akan berusaha menghindar dari Christine. Jangan nangis lagi, Zee. Aku nggak tahan liat kamu nangis."

Afnan kembali memeluk Nazifa sampai tangisnya mereda.

🌸🌸🌸

Nazifa tertidur karena lelah menangis. Afnan pun turun dari kasur dengan perlahan supaya tidak membangunkannya. Saat ia sedang berjalan menuruni tangga, langkahnya terhenti karena panggilan Bara.

"Bang!" Bara keluar dari kamarnya berjalan ke arah Afnan. "Kita harus bicara."

"Nggak ada yang harus aku bicarain sama kamu."

Bara menahan tangan Afnan. "Tapi aku ada!" tegas Bara.

Mereka saling menatap untuk beberapa saat.

"Jangan di sini. Aku nggak mau Zee kebangun," ucap Afnan kemudian lanjut menuruni tangga yang diikuti Bara.

Mereka berjalan ke halaman belakang. Keduanya berdiri berdampingan dalam diam.

"Siapa tadi?" tanya Bara memulai percakapan.

"Yang tadi yang mana?"

"Cewek yang Bang Afnan peluk di restoran," jawab Bara.

"Bukan siapa-siapa," jawab Afnan singkat.

"Bang Afnan masih inget kan, sama omongan kita di rumah sakit dulu?"

Afnan diam tak menjawab.

"Bang Afnan janji nggak akan pernah nyakitin Nazi. Bang Afnan juga bilang bakal buktiin kalau Nazi nggak akan pernah menyesali keputusannya menikah. Tapi mana buktinya?" Tegas Bara.

"Aku nggak pernah nyakitin dia. Camkan itu, Bara!" sahut Afnan tak terima.

"Lalu apa itu kemarin? Hah! Apa Bang Afnan pikir aku buta?" sewot Bara.

"Itu semua nggak seperti yang kamu liat. Aku cuma nolongin dia," jawab Afnan berusaha tenang.

"Ck. Alasan klasik! Dengerin ini baik-baik! Nazi masih memiliki tempat istimewa di sini." Bara menunjuk Dada sebelah kirinya. "Sekali lagi Bang Afnan nyakitin dia, aku pastikan Nazi akan kembali jadi milikku!" tegas Bara penuh penekanan di setiap katanya.

Afnan tersulut emosi. Ia mencengkeram kerah baju Bara.

"Jaga mulutmu! Zee akan tetap selamanya jadi milikku. Jangan macam-macam kamu, Bara!"

"Ck. Buktiin aja omonganmu, Bang! Nggak cukup cuma kata-kata!" tantang Bara.

Afnan yang sudah tersulut emosinya, hendak melayangkan pukulan ke wajah Bara. Tapi,

"Hentikan! Kalian ini apa-apaan?" Mamanya muncul tepat waktu.

Afnan melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Bara.

"Kalian ini kenapa, sih? Ada masalah apa? Kenapa sampe ribut gini?" tanya Mamanya.

"Mama tanya aja sama Bang Afnan," ucap Bara.

Mamanya menatap bingung kedua putranya.

"Inget, Bang! Untuk kali ini aku akan percaya. Tapi nggak ada lain kali. Ini kesempatan terakhir!" tegas Bara dengan tatapan tajam lalu berlalu pergi meningalkan Mamanya dan Afnan.

"Ada apa sih, Nak? Kalian kenapa?" tanya Mamanya khawatir.

"Nggak ada apa-apa, Ma. Nggak usah khawatir. Ini cuma salah paham," terang Afnan menenangkan Mamanya.

"Tapi, Nak ...." Ucapan Mamanya terpotong Afnan.

"Afnan ke kamar dulu, Ma. Mama nggak usah mikirin ini, ya." ucap Afnan lalu pergi berlalu menuju ke kamarnya.

Mamanya menghela nafas panjang melihat kedua putranya sudah tak seakrab dulu.

Afnan kembali ke kamarnya. Ia perlahan merangkak naik ke kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Nazifa yang tengah tidur membelakangi. Tangannya melingkar erat di perut Nazifa.

Aku nggak mau kehilangan kamu, Zee. Aku nggak akan biarin siapapun ngerebut kamu, termasuk Bara, batinnya.

"Mas," panggil Nazifa saat merasakan pelukan.

"Tidurlah lagi, Zee." Afnan semakin mengeratkan pelukannya.

"Mas, kenapa?" Nazifa membalikkan badan menghadapnya.

"Nggak apa-apa. Aku cuma kangen pengen peluk," jawab Afnan manja.

Nazifa mengulum senyum melihat tingkah manjanya.

"Jangan pernah tinggalin aku, Zee," ucap Afnan lirih dengan wajah sendu menatap Nazifa.

"Nggak, Mas. Aku di sini. Aku nggak akan pernah ninggalin, Mas," jawab Nazifa dengan tersenyum.

🌸🌸🌸

Malam harinya Nazifa hendak menemani Afnan menghadiri acara ulang tahun rekan bisnisnya. Sebenarnya ia enggan untuk ikut, tapi Afnan memaksa.

"Mas ... Aku nggak usah ikut aja, ya," rengeknya.

"Kenapa, sayang? Masa aku dateng ke sana sendiri."

"Tapi ... Aku takut malu-maluin nanti di sana," ucap Nazifa pelan.

Afnan mengangkat wajah Nazifa, mengamati sesaat.

"Apanya yang malu-maluin? Kamu cantik banget, Zee," ucapnya seraya tersenyum manis menatap Nazifa.

Nazifa tersipu malu tapi juga bahagia mendengar pujiannya.

"Ayo. Nanti kita telat," ajaknya lalu menggenggam tangan Nazifa keluar kamar.

Saat Bara hendak pergi ke kamarnya, ia berpapasan dengan Afnan dan Nazifa yang sedang menuruni tangga.

Nazifa melempar senyum padanya. Bara membalas senyumnya dengan perasaan tak karuan. Di satu sisi, ia senang melihat Nazifa baik-baik saja dan tersenyum kembali. Tapi di sisi lain, ia masih merasakan sesak di dadanya.

Allah, kenapa Dada ini tak pernah mau berhenti berdebar setiap melihatnya. Kamu cantik, Nazi, gumam Bara dalam hati.

Nazifa dan Afnan akhirnya tiba di sebuah Villa mewah tempat acara itu diselenggarakan. Afnan meminta Nazifa untuk menggandeng lengannya saat hendak memasuki Villa itu. Langkah Nazifa terhenti saat berada di depan pintu. Genggaman tangannya semakin erat.

"Mas ... Aku pulang lagi aja, ya. Aku ...." kata-katanya terpotong Afnan.

"Zee ... nggak apa-apa. Nggak usah takut. Ada aku di sini. Terus pegangan sama aku aja, ya," ucapnya mencoba menenangkan.

Nazifa menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk menghilangkan kegelisahannya.

"Bismillah," ucap Nazifa pelan sekali.

Mereka melangkah bersama memasuki Villa itu. Nazifa hanya mengikuti ke mana Afnan melangkah. Afnan memperkenalkannya pada sahabat dan rekan-rekan bisnisnya yang belum mengenal Nazifa.

Ternyata mereka semua bersikap ramah. Tak seperti apa yang Nazifa bayangkan. Nazifa hanya menjawab salam dan berbicara seperlunya. Saat Afnan tengah berbincang dengan rekan bisnisnya, Nazifa melihat sosok yang ia tak suka berjalan mendekat.

Christine!

Ia terlihat sexy dan anggun dengan gaun mini yang dikenakannya.

"Mas, di tunggu sama Pak Brian. Ada yang mau dibicarakan," ucap Christine ramah dengan senyuman.

"Tolong sampaikan sama Pak Brian, dibicarainnya nanti aja di kantor." Afnan menolak halus.

Sepertinya Afnan benar-benar ingin menghindari Christine. Ada perasaan bahagia di hati Nazifa karena Afnan menunjukan kesungguhan kata-katanya.

"Tapi Pak Brian bilang, ini masalah penting. Harus dibicarakan sekarang." Christine sedikit memaksa.

Afnan melirik pada Nazifa seperti meminta izin. Nazifa jadi merasa tak enak hati. Ia tak mau ada masalah karenanya.

"Pergilah, Mas. Aku akan nunggu kamu di sini," ucap Nazifa tersenyum.

Afnan membalas senyumnya. "Aku janji nggak akan lama, sayang. Jangan kemana-mana, ya. Tunggu di sini."

"Iya, Mas."

Afnan pergi mengikuti Christine untuk menemui Pak Brian. Karena kebanyakan rekan bisnis dan sahabat Afnan adalah pria, jadi Nazifa memutuskan untuk pamit.

Berpindah mencari area yang lebih terbuka. Ia berjalan ke arah halaman belakang. Luas sekali Villa ini. Kolam renangnya pun begitu panjang dan lebar.

Tapi tanpa Nazifa sadari, seseorang tengah mengamatinya dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Andre!

Dia datang ke pesta untuk mewakili ayahnya yang tak bisa hadir.

"Ada si udik juga ternyata. Pasti dia ikut Bang Afnan," gumam Andre pelan.

Tiba-tiba senyuman tersungging di bibirnya.

Kayaknya seru juga nih, kalau gue kerjain di sini, ucap Andre dalam hati.

Namun belum juga Andre melakukan niat jailnya, ia lebih dulu dikejutkan oleh sesuatu.

Sial! geram batinnya.

★★★