webnovel

Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu

Dua sejoli baru saja merasakan indahnya cinta yang saling berbalas. Tapi bagaimana jika takdir berkata lain?

Airi_Mitsukuni · Urbano
Classificações insuficientes
49 Chs

Part 25-Jebakan

Dua bulan kemudian ...

Afnan benar-benar telah menepati janjinya pada Nazifa. Ia selalu pulang kerja tepat waktu. Meskipun sesekali ia masih pulang telat, tapi ia tak pernah lupa untuk mengabari Nazifa. Setidaknya itu sudah membuat kehawatiran Nazifa berkurang.

Hari ini Nazifa akan menemani Bara ke Rumah Sakit untuk melepas Gips di tangannya. Mama ada pertemuan dengan temannya jadi tidak bisa mengantar Bara. Begitupun dengan Afnan, ia ada meeting penting dengan klien dari Singapura. Pada akhirnya, ia mengizinkan Nazifa menemani Bara ke Rumah Sakit.

"Jangan di pake angkat yang berat-berat dulu ya, tangannya," saran Dokter.

"Iya, Dok. Terima kasih." Bara menyalami Dokter lalu pamit permisi.

Ia menghampiri Nazifa yang tengah duduk menunggu di luar ruangan.

"Udah?" tanya Nazifa saat Bara muncul.

"Hmm."

"Terus kata Dokter, gimana?" tanya Nazifa saat mereka berjalan menuju ke parkiran.

"Jangan di pake buat angkat yang berat-berat dulu. Takutnya cedera lagi," jawab Bara.

Nazifa manggut-manggut mendengar jawabannya.

"Makasih, ya. Udah nganterin." Bara tersenyum.

"Iya. Sama-sama." Nazifa balas tersenyum.

Bara duduk di depan di samping Pak Supri yang menyetir sedangkan Nazifa duduk di tengah. Saat tiba di rumah dan melangkah masuk ke dalam, Andre sudah bertengger di sofa menunggu mereka. Nazifa menghela nafas berat saat melihatnya.

"Kok loe nggak ngasih tau sih, Kalau mau ke Rumah Sakit? Kan bisa gue anterin," ucap Andre seraya menghampiri mereka.

Nazifa sedikit beringsut mundur saat Andre menghampiri Bara.

"Ada Nazi kok, yang nganterin," jawab Bara.

"Aku ke kamar dulu ya, Bar," ucap Nazifa tanpa menoleh ke arah Andre.

"Iya. Makasih, ya," ucap Bara.

"Eh, tunggu!" panggilan Andre menghentikan langkah Nazifa.

"Gimana kalau kita rayain kesembuhan loe ini? Nggak usah jauh-jauh. Kita makan siang bareng aja. Gimana?" tanya Andre antusias.

"Boleh," jawab Bara.

"Eh, Bocah!" panggil Andre pada Nazifa yang langsung mendapat toyoran di kepala oleh Bara.

"Panggil yang bener," ketus Bara.

"Elah! Iya!" sewot Andre ke Bara. "Loe ikut ya, Nazifa," ajak Andre.

"A-aku nggak ikut. Aku makan siang di rumah aja."

"Masa loe jahat, sih! Nggak seneng loe, adik ipar loe sembuh?" sewot Andre.

Bara menoyor kepalanya lagi sambil melotot.

"Kamu ikut ya, Nazi. Kita kan udah lama juga nggak keluar. Lagian nggak bakal lama. Habis makan, kita langsung pulang," bujuk Bara.

Nazifa mengetuk-ngetuk telunjuk ke bibir tanda sedang berpikir lalu mengeluarkan ponsel dari saku gamisnya. Mencoba menghubungi Afnan, tapi tak ada jawaban. Mencoba mengirimnya pesan Wa, tapi belum juga di baca.

Mungkin Mas Afnan masih meeting, batin Nazifa.

"Gimana, Nazi?" tanya Bara.

"Mas Afnan nggak angkat telfon, Bar. Aku takut nanti dia marah. Aku nggak ikut aja, ya."

"Please ...." Bara memohon.

"Elah, buruan! Jadi nggak, sih?" Andre mulai tak sabar.

"Nanti biar aku yang jelasin ke Bang Afnan. ya?" bujuk Bara.

Akhirnya Nazifa pun mengiyakan permintaan Bara. Bara terlihat sumringah. Sedang Andre, ia tersenyum sinis.

"Tapi jangan lama-lama ya, Bar," pinta Nazifa saat hendak masuk mobil.

"Iya," ucap Bara tersenyum.

Andre terlihat sesekali melirik ke arah Nazifa yang duduk di tengah dari spion mobilnya.

"Kenapa loe pake masker segala?" tanya Andre heran.

Nazifa tak menjawab pertanyaannya.

"Nazi suka pusing kalau naik mobil," jelas Bara yang langsung disambut gelak tawa Andre.

Bara melotot ke arah Andre yang sedang menertawakan Nazifa. Tawa Andre langsung terhenti.

Udik beneran ternyata ni cewek. Kok bisa sih, Si Bara sama Kakaknya ampe klepek-klepek sama cewek model begini? batin Andre.

🌸🌸🌸

Afnan tengah makan siang bersama Christine dan Pak Ronald di sebuah resto setelah selesai meeting. Sebenarnya ia sudah menolak, karena ingin makan siang di rumah bersama istrinya. Tapi karena Pak Ronald dan Christine yang sedikit memaksa, akhirnya Afnan pun bersedia. Di tengah makan siang mereka, ponsel Christine bergetar tanda pesan WA masuk. Ia membacanya sekilas lalu tersenyum.

"Saya pamit ke toliet dulu, Pak Afnan," ucap Pak Ronald.

"Iya. Silahkan, Pak."

"Ehm ... Mas. Aku pamit duluan kalau begitu. Soalnya ada hal penting yang harus aku selesaikan." Christine pamit seraya beranjak dari kursi.

Afnan ikut berdiri. Saat Christine berjalan dan berada tepat di samping Afnan, tiba-tiba ia hampir terjatuh. Afnan yang berada di dekatnya refleks menahan tubuh Christine.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Afnan.

"Aduh! Kakiku Mas ... Sakit. Kayaknya terkilir." christine meringis sakit. Matanya sesekali melirik ke arah lain.

"Saya antar kamu ke Dokter kalau begitu," ucap Afnan.

Saat Christine mencoba berjalan lagi, ia kembali hampir terjatuh. Kedua tangannya reflek berpegangan pada leher Afnan. Sedang Afnan menahan tubuh Christine agar tidak terjatuh.

🌸🌸🌸

Nazifa, Bara dan Mas Andre tiba di sebuah restoran. Bara dan Nazifa berjalan di depan, sedangkan Andre mengikuti di belakang. Suasana Resto ini tidak begitu ramai. Mereka berjalan santai memasuki pintu Restoran. Namun tiba-tiba langkah Nazifa terhenti saat matanya melihat sesuatu.

Nazifa melihat Afnan tengah berpelukan dengan seorang wanita.

Dia Christine!

Sakit. Hatinya terasa sakit. Melihat mereka tengah berpelukan, seketika dadanya terasa sesak. Mata Nazifa terasa panas menahan butir air mata yang hampir menetes.

"Mas Afnan," panggil Nazifa pelan dengan suara bergetar.

"Zee," panggil Afnan pelan saat menyadari kehadiran istrinya.

Nazifa tak tahan melihat hal itu dan langsung berlari keluar meninggalkan restoran.

Bara tak kalah terkejut dengan Nazifa. Ia terpaku melihat Kakaknya. Sampai Andre menepuk bahu menyadarkannya.

"Itu kejar!" Andre memberi kode pada Bara agar mengejar Nazifa yang lari.

Bara yang tersadar, langsung berlari cepat menyusul Nazifa.

"Zee!" Teriak Afnan hendak menyusul istrinya tapi tertahan Christine.

"Mas! kakiku sakit," rengeknya.

"Pelayan!" Panggil Afnan dengan nada tinggi.

Seorang pelayan menghampiri dengan terburu-buru.

"Tolong bantu wanita ini," ucap Afnan kemudian langsung berlari keluar restoran.

"Mas Afnan!" teriak Christine.

Senyum tipis tersungging di bibir Christine setelah kepergian Afnan.

Nazifa berlari tak tentu arah dengan derai air mata yang menetes membanjiri pipi. Hatiku sakit Mas! Inikah sebabnya kamu sering pulang telat? Inikah sebabnya kamu selalu sibuk hingga tak sempat mengangkat telfonku? Kamu jahat Mas! Aku benci!

Langkah Nazifa akhirnya terhenti di sebuah taman. Ia terduduk di tanah. Menangis. Perasaan campur aduk terasa di hatinya. Kesal, marah dan sakit. Nazifa menangis dengan tangan meremas kerudungnya kuat-kuat untuk melepaskan amarah di dada. Ponselnya sedari tadi bergetar, tapi sama sekali tak dihiraukan. Tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang.

"Nazi," panggil Bara dengan nafas sedikit tersengal karena berlari.

Nazifa menoleh, menatapnya sekilas kemudian menundukan kembali pandangannya. Segera Nazifa menghapus jejak air mata di pipinya. Bara berjongkok di depannya. Tangannya terulur melepaskan jari Nazifa yang tak henti meremas-remas kerudung karena emosi.

"Pulang, yuk," bujuk Bara.

"Aku nggak mau pulang," ucap Nazifa pelan masih terisak.

Bara mengambil posisi duduk di sampingnya.

"Masalah nggak akan selesai dengan kamu menghindar, Nazi. Setidaknya dengerin dulu penjelasan Bang Afnan. Bisa jadi tadi hanya salah paham," jelas Bara mencoba menenangkannya.

Padahal kenyataannya, dalam hati Bara merasa marah pada Kakaknya. Tapi ia berusaha terlihat tenang.

"Salah paham gimana, Bara? Jelas-jelas aku lihat mereka lagi pelukan. Mas Afnan jahat! Aku benci!" Nazifa mulai menangis lagi.

Ingin sekali rasanya Bara membelai kepala Nazifa, menarik tubuhnya ke dalam dekapan. Tapi apa daya? Semua itu tak mungkin ia lakukan. Bara mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan emosi. Bara menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Mencoba mengontrol emosi. Hatinya ikut sakit saat melihat wanita yang dicintainya menangis. Ia tak rela.

"Kita pulang dulu, ya. Nanti bisa dibicarain baik-baik di rumah. Kamu bisa minta penjelasan sama Bang Afnan," bujuknya lagi.

Nazifa masih terdiam tak menjawab.

"Nazi ... Aku mengenal Bang Afnan. Dia pria yang baik. Dia tidak akan pernah mengkhianatimu. Dia sangat mencintaimu. Hanya kamu satu-satunya wanita yang ada di hatinya. Bahkan dari dulu, Mas Afnan tidak pernah terlihat dekat dengan wanita manapun," ungkap Bara.

Ada rasa ngilu di hati Bara saat mengatakan itu semua. Tapi ia berusaha tenang. Karena baginya, asal senyum Nazifa kembali dan berhenti menangis, ia akan melakukan apapun.

"Tapi ...." Nazifa masih ragu untuk pulang.

"Percaya sama aku, Nazi. Bukannya kamu tau, kalau aku nggak pernah bohong sama kamu?" Bara mencoba meyakinkannya.

Nazifa mengangguk pelan.

"Jadi sekarang kamu mau kan, pulang?" tanya Bara lagi.

"Iya," jawab Nazifa pelan seraya berdiri.

Bara tersenyum lalu ikut berdiri.

"Ayo," ajaknya.

Akhirnya Nazifa menuruti bujukan Bara untuk pulang, berjalan di sampingnya. Bara sesekali melirik ke arah Nazifa.

Kamu udah ingkar janji  Bang Afnan, gumamnya dalam hati.

★★★